Apa yang sedang ‘hit’ di pedalaman Peru? 50 Siswa SD di pedalaman desa di bukit Andean baru saja memperoleh laptop dari proyek OLPC (One Laptop Per Child) delapan bulan yang lalu. Bagi Anda yang belum pernah mendengar OLPC, bisa membacanya diWikipedia
One Laptop Per Child (satu laptop untuk setiap anak) (disingkat OLPC) atau The Children’s Machine atau XO-1 atau Laptop $100 adalah sebuah program penyediaan laptop dengan harga terjangkau untuk anak-anak di seluruh dunia, khususnya anak-anak di negara berkembang dengan harapan agar mereka dapat mengakses pengetahuan dan pendidikan modern.
OLPC adalah ide dari Nicholas Negroponte (1943) seorang ilmuwan komputer yang dikenal sebagai pendiri dan direktur dari Media Lab di MIT (Massachusetts Institute of Technology). Organisasi ini bertugas mendesain , membuat dan mendistribusikan laptop yang dimaksud.
Laptopnya sendiri akan berupa komputer mini yang membutuhkan tenaga sangat minim, menggunakan flash memory sebagai pengganti dari harddisk serta menggunakan Linux sebagai sistem operasinya. Mobile-adhoc networking akan digunakan untuk memungkinkan beberapa laptop dapat mengakses internet secara bersama-sama dari satu akses internet.
Program ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa dua milyar anak di negara-negara sedang berkembang tidak mendapat pendidikan yang memadai, atau bahkan tidak mendapat pendidikan sama sekali. Sepertiga diantaranya bahkan tidak menyelesaikan kelas 5. Hal ini menyebabkan kemiskinan dan keterasingan mereka kelak dari dunia lain yang justru sedang bergerak cepat. Padahal dana pendidikan negara-negara tersebut kadang-kadang kurang dari $20 per siswa/tahun (bandingkan dengan $7500 persiswa di AS).
Pengalaman juga menunjukkan bahwa membangun sekolah, mengontrak guru, membeli buku dan peralatan ternyata tidak mampu menjawab permasalahan pentingnya memberikan pendidikan yang bermakna dan relevan pada siswa. Dibutuhkan sebuah pemikiran, sebuah alat, yang dapat membuat siswa ‘belajar untuk belajar’. XO diciptakan untuk mendorong cara ‘belajar untuk belajar’, sebagai pengalaman pendidikan yang fundamental. XO akan menjadi jendela melihat dunia luar, alat yang bisa diprogram untuk menjelajah dunia tersebut, dan membuat pemecahan masalah dengan menggunakan potensi kreatif dan imajinatif mereka sendiri. OLPC adalah sebuah ide besar untuk memberdayakan anak-anak di bagian dunia mana pun agar dapat berkontribusi pada komunitas dunia yang lebih produktif dengan cara yang lebih baik dan tepat kelak.
Dapatkah anak-anak gunung yang tidak mengenal kehidupan dan budaya kota mendapat keuntungan dan manfaat dari mesin laptop dan internet?
Sejak pagi siswa di desa perbukitan Andean Peru sudah melahap informasi tertulis dari laptop masing-masing. Pagi itu juga mereka langsung menghidupkan program kombinasi library/videocam/audio recorder/music maker/drawing kits yang ada di laptop masing-masing. Mereka asyik bereksplorasi dengan laptop masing-masing. Malam harinya mereka bahkan tertidur disamping laptop mereka tersebut.
“Ini benar-benar seperti yang kita rancang.” Kata Walter Bender, president dari Massachusetts Institute of Technology yang merancangnya semula. Saat ini OLPC telah mendapat banyak saingan proyek yang sama mulai dari Brazilia hingga India… dan dari Intel Corps dengan Classmatenya. Tapi tak ada yang bisa menyaingi XO dalam inovasi. XO bebas hard drive, pakai Linux, dan jaringannya tanpa kabel dengan teknologi ”mesh” yang membuat setiap komputer di desa dapat merelay data satu sama lain.
Peru telah memesan sebesar 272.000 laptop sebagai upayanya dalam mengubah sistem pendidikan dasarnya. Peru berada di peringkat terakhir dari 131 negara yang disurvei oleh World Economic Forum. Diharapkan perubahan ini akan dapat mendongkrak kualitas pendidikan dasar mereka. Laptop XO ini akan dibagikan pada 9000 SD terpencil dimana satu guru mengajar semua tingkat kelas.
Selain Peru, Uruguay juga telah memesan sebanyak 100.000 buah. Sebanyak 150.000 buah lainnya akan dikirim ke Rwanda, Mongolia, Haiti, and Afghanistan pada awal 2008 melalui program “Give One, Get One,” dimana jika kita membeli sepasang laptop seharga $399 dan kemudian mendonasikan salah satu bahkan keduanya.
Anak-anak pedalaman Peru telah membuktikan bahwa kita bisa merevolusi pendidikan dan mendemokratisasikan internet dengan memberi laptop yang sederhana, tahan banting, irit energi, tapi penuh dengan berbagai fitur kepada anak-anak termiskin.
Beberapa anak Peru yang mulai belajar tentang binatang tak bertulang belakang dengan gambar-gambarnya di laptop tersebut kini telah terbuka wawasannya dan sebagian tidak lagi ingin menjadi petani tradisional macam ayah mereka.
Antony, 12, ingin menjadi akuntan.
Alex, 7, berharap jadi ahli hukum.
Kevin, 9, ingin bermain trompet.
Saida, 10, bahkan sudah nampak bakatnya sebagai videographer, dilihat dari karya seninya dalam Fiesta de la Virgen.
Mereka mulai suka merekam dengan kamera ’built-in’ yang ada di laptop. Padahal kamera biasanya mereka lihat jika ada turis yang mengunjungi daerah mereka.
Kepala bidang teknologi pendidikan Peru, Oscar Becerra, yakin bahwa ini merupakan jawaban terbaik dari masalah krisis global dunia pendidikan dimana kurikulum yang diajarkan tidak bermakna karena tidak ada relevansinya dengan kehidupan siswa. “Jika kita bisa membuat pendidikan relevan dengan kehidupan, yang membuat siswa dapat menikmatinya, maka tidak ada bedanya apakah dinding kelasnya terbuat dari jerami ataukah mereka duduk di atas kotak buah.”. Bahkan sejak disampaikan mengenai adanya laptop tersebut 10 keluarga langsung mendaftarkan anaknya untuk bisa ikut bersekolah.
Para guru akan mendapat 2,5 hari pelatihan untuk menggunakan laptop tersebut yang sudah diisi dengan 100 buku bebas lisensi. Laptop tersebut juga akan diberi fasilitas ‘chat’ agar siswa bisa berhubungan dengan anak-anak lain di seluruh dunia melalui internet.
Program ini memang sangat menjanjikan. Tapi apa hambatannya? Pertama adalah kemampuan guru yang rendah, karena pelatihan yang begitu singkat, dalam menangani teknologi yang baru tersebut. Eduardo Villanueva, professor komunikasi di Universitas Katolik Lima menguatirkan adanya ‘gangguan umum pada sistem pendidikan’ dimana siswa justru akan lebih pintar ketimbang gurunya.
Untuk mengatasinya pemerintah Peru menawarkan pinjaman $150 bagi guru yang kompeten untuk membeli laptop konvensional agar guru bisa ‘mengejar’ ketertinggalannya dari siswa.
Masalah kedua adalah perawatan.
Untuk itu pemerintah Peru mencadangkan satu bagian suku cadang dari setiap 100 unit yang dibagikan pada siswa. Tapi tak ada tenaga teknisi untuk itu dan para guru dan siswa harus melakukannya sendiri. ”Siswa diharapkan bisa memperbaiki sendiri kerusakan pada laptopnya.” kata Negroponte yang yakin bahwa hal tersebut justru akan memberikan pelajaran tersendiri yang berharga bagi siswa. Ia bahkan yakin siswa bisa memperbaiki 95% bagian dari laptop tersebut.
Xo tersebut sebenarnya tahan air, tahan banting meski jatuh dari ketinggian 1,5 meter, dan didisain untuk tahan selama 5 tahun. Ia juga didisain tanpa kipas agar tidak menyedot debu dan bisa menerima perubahan naik turunnya aliran listrik.
Bagaimana orang tua siswa menerima komputer tersebut? Mereka sudah mulai bertanya apa manfaat internet bagi mereka. Charito Arrendondo, 39, bahkan meneteskan air mata ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika anak keenamnya, Miluska, memperoleh laptop tersebut. Suaminya telah meninggalkannya dengan enam anak ketika Miluska baru berusia 1 tahun. “Kami tidak pernah membayangkan akan punya komputer.” kata Arrendondo, yang bekerja sebagai seorang koki.
Apakah ia takut menggunakan laptop tersebut, sebagaimana umumnya orang tua Arahuay Peru yang setengah diantaranya adalah buta huruf?
“Tidak. Saya menyukainya. Kadang kalau sendirian dan anak-anak sedang tidak ada saya menghidupkannya dan mencobanya.” Ia suka bermain ‘dam-daman’ di laptop tersebut. “Ada permainan caturnya juga. Dan saya tahu sedikit.” sambungnya menutup pembicaraan.
Balikpapan, 7 Februari, 2008
Satria Dharma
Sumber :
http://www.cnn.com/2007/WORLD/americas/12/24/laptop.village.ap/index.html?iref=mpstoryview
Kalau Malaysia punya Sekolah Bestari atau Smart School, sekolah di Indonesia coba-coba “memasukkan” orang luar dari lembaga kursus komputer untuk ngajari anak-anak agar tidak gaptek. Inilah kenyataannya. Kita belum punya kebijakan yang mantap mengenai TIK ini. Baru wacana dalam RN Pendidikan 2008. Makasih infonya Pak Satria.
Salam,
Suparlan
Kapan kita akan seperti PERU dan URUGUAY yaah??
Sya jg seorang guru SD, 23th (saya sedang menyelesaikan S1 Teknik Informatika dan S1 PGSD. SAya jg ingin membangun pendidikan lewat IT.. tp kembali lagi ke masalah dasar yaitu angggaran.
Mohon coment Bp…
O iya pak..saya senang skali bca artikel Bpk
Mnta info jg, ttg beasiswa utk Guru SD,khususnya status Wiyata Bhakti spt saya.
Dengan menempuh 2 Jurusan sekaligus sya kadang trkendala mslh biaya (honor cm 200rb/bl)
jd kurangnya ya masih minta orang tua…
Mohon saran dan wejangan dari Bapak..
Hebat ya. Kita bisa buat seperti itu juga kan,Pak?