April 20, 2024

0 thoughts on “KRITIK ATAS PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) DAN USULAN PERBAIKANNYA

  1. sedih ya jadinya baca tulisan yang sangat bagus dan mencerahkan ini….. terima kasih ya Pa…masih ada aja pejabat dengan pejabat satu atap beda persepsinya ya……maju terus pendidikan Indonesia

  2. Apa kabar Pak Satria?

    Menarik tulisan kritis Pak Satria tentang kebijakan SBI. Saya ada alternatif pemikiran untuk menanggapi kritikan Pak Satria. Bisa saya cantumkan di blog ini atau dimana?

    Salam,

    Sopantini

  3. Tanggapan atas Kritikan Kebijakan SBI
    (Sopantini)

    Pertama tama saya sampaikan salut atas pemikiran Pak Satria dan kemampuan menuangkan gagasan seputar SBI/RSBI yang ’bernas’ yang sudah tertuang di blog ini. Berikut ini urun rembug saya, semoga menjadi alternatif berpikir bagi para pembaca yang budiman.
    Saya orang swasta mandiri (bukan orang pemerintah) jadi tidak punya kepentingan untuk membela maupun menjatuhkan pihak manapun. Saya berharap dengan proses ini, terjadi dialog yang berkelanjutan. Namun demikian, saya juga memiliki keterbatasan waktu sehingga belum tentu selalu ’cepat’ atau ’tepat waktu’ untuk melakukan dialog yang berkelanjutan. Untuk keterbatasan waktu ini, mohon dimaklumi.
    Yang tertulis berikut ini (dan mungkin di edisi tanggapan berikutnya) adalah tanggapan saya mengenai kritikan yang ditulis Pak Satria mengenai kebijakan SBI/RSBI. Sekali lagi, secara umum, sumbangan pemikiran Pak Satria merupakan wujut konkret seorang praktisi pendidikan untuk ikut terlibat dalam pembangunan pendidikan di negeri ini. Untuk itu, sewajarnya kita berucap terima-kasih.
    Adapun satu tanggapan saya di kesempatan ini adalah menanyakan rujukan apa yang dipakai oleh Pak Satria ketika mengupas kebijakan SBI/RSBI seperti pada butir-butir kritikan tersebut? Pada pembacaan saya…..
    Pak Satria tidak mengungkapkan secara jelas, payung apa (bidang ilmu apa) yang dia pakai sebagai landasan berpikir dalam mengupas permasalahan seputar kebijakan SBI/RSBI. Dengan tidak menjelaskan bidang ilmu yang dipakai untuk mengupas masalah kebijakan SBI/RSBI ini, kita menjadi bertanya-tanya rujukan apa yang menjadi dasarnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kritikan-kritikan yang dibuat tidak berbobot tetapi saya merasa perlu mengetahui rujukan yang dipakai yang mendasari kupasan tersebut.
    Adanya rujukan (yang sama) akan membuat pembaca bisa dengan jelas menilai ’bobot’ dari setiap kritikan yang ditulis. Menurut saya, menyatakan rujukan itu sangat perlu. Tetapi kalau ternyata kita tidak punya rujukan, adalah penting pula untuk kemudian mengatakannya juga. Kenapa? Supaya, persepsi yang terbentuk di benak pembaca tidak ‘salah’. Sudahkah ada persepsi ‘salah’ (yang terbentuk)? Sudah dan sering. Tetapi dalam hal ini, bukan persepsi tentang Pak Satria. Lalu tentang siapa? Misalnya, persepsi yang dibentuk masyarakat tentang seorang yang katanya ’hebat’ karena dia punya status (pejabat, harta, ketenaran dll.) Bahkan persepsi yang semacam ini juga terbentuk di kalangan masyarakat kita yang terdidik sekalipun.
    Apa contohnya sebuah persepsi ‘salah’ itu? Menurut saya adalah salah persepsi, jika karena kita tidak menyatakan rujukan, kritik kita diterima sebagai sebuah ’kebenaran’ oleh pembaca karena hal-hal lain, misalnya karena ’embel-embel’ yang melekat di diri kita. Dalam hal ini saya juga tidak berpikir kalau Pak Satria menginginkan bahwa apa yang dia kupas tentang SBI/RSBI tersebut merupakan ‘kebenaran’? Semoga demikian adanya yang ada di benak Pak Satria. Mungkin dari sekian banyak yang membaca tulisan Pak Satria, saya termasuk sedikit dari kelompok yang menanyakan apa rujukan yang dipakai. Saya tidak terkejut jika kebanyakan pembaca ’larut’ dalam ’kesan kehebatan’ menikmati kupasan kritikan yang dibuat tetapi lupa menanyakan hebatnya berdasarkan apa.
    Menurut saya, menanyakan apa dasar/rujukan sesuatu itu penting, terutama di tengah-tengah masyarakat kita yang cukup ’patriakis’ dan mudah ’silau’ (baik oleh kedudukan, jabatan, dan simbol-simbol lain) yang belum tentu merupakan representasi yang tepat orang yang memiliki (jabatan, kedudukan, status, dan simbol-simbol) yang dimaksud. Saya agak risau dengan gejala mudah kagum dan lupa menanyakan dasar rujukan yang saya amati. Kalau memang kita bukan ahlinya cukup beralasan kalau kita risau dan merasa kuatir jangan-jangan nanti, kita dianggap ’ahli’-nya’, padahal sebetulnya kita memiliki keahlian dibidang tertentu saja dan bukan dibidang yang sedang kita kupas pada saat itu. Penting untuk saya katakan disini bahwa saya tidak bermaksud menyindir, tetapi menyampaikan pengamatan pribadi, yang tentunya bisa di-dialogkan. Akan menarik untuk mendengar dari sidang pembaca pengamatan mereka terhadap satu hal yang saya sampaikan disini.
    Kembali ke tanggapan saya tentang tulisan Pak Satria.
    Sejauh yang saya ketahui, permasalahan seputar kebijakan SBI/RSBI (dan kebijakan pendidikan lainnya) berikut kritikan-kritikan yang Pak Satria buat, bisa dikategorikan masuk di ranah bidang ilmu sosial, yaitu ilmu kebijakan (policy studies), dimana kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan sub-bidangnya. Dibidang ini dikenal dua tataran, yaitu tataran kebijakan (policy) dan tataran penerapan (practice). Bidang ini sepertinya belum masuk bidang studi di universitas di Indonesian. Ada yang tahu universitas mana yang menawarkan/menjadikan bidang studi ini dalam paket mereka?
    Karena tiadanya tulisan yang menjelaskan rujukan yang dimaksud, kupasan yang ada terbaca tumpang tindih dan campur aduk. Bagaimana campur aduk dan tumpang tindihnya bisa kita bahas di lain waktu.
    Sekian dulu semoga tanggapan diatas bisa memberikan alternatif berpikir termasuk bagi penulis dan sidang pembaca lain yang budiman.
    Pada kesempatan ini pula, saya ucapkan salam kenal bagi para sidang pembaca lainnya. Tetaplah semangat untuk membangun dialog.

  4. kalao SBI dan RSBI sebagai sebuah proses memajukan pendidikan indonesia saya sepakat keberadaannya. namun jika dengan status itu sekolah lebih mengarah agar dapat memungut dana dari orang tua siswa saya tidak sepakat.

  5. lantas , bagaimana menurut sampeyan mas, untuk memajukan pendidikan kita. Saya setuju karena kita memang terlalu suka nyontoh orang n negara lin , padahal kita udah punya akar pendidikan seperti NU, Muhamadiyah, pesantren, taman siswa dll. Merekalah yang punya hasil jelas yakni pahlawan bangsa. saya lama2 sedih juga lho lihat carut marutnya pendidkan kita. lantas apa yg harus sy perbuat ? hik 13x. salam kami. mohon di tanggapi ya mas. jazakumulloh

  6. Salam Pak Satria
    Satu pemerhatian yang menyeluruh dan pandangang kritis yang tepat sekali. Saya secra peribadi tertarik dengan point nombor 10. Sememangnya tanggung jwab yang lebih besar dan amat terpenting adalah dibahu pendidik dan pakar itu sendiri. NO DOUBT ABOUT THAT.

  7. SBI atau RSBI, apa pun namanya itu tidak usah dulu dilihat secara skeptis. Tujuannya utamanya pastilah sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan mutu, meningkatkan daya saing, dan menyiapkan anak-anak dalam menghadapi perubahan abad ke 21. Jika pelaksanaannya terjadi seperti yang kita alami sekarang bukan berarti niat di muka yang salah, tetapi pengelolaannya yang belum baik. Pengelolaan yang belum baik ini bisa disebabkan oleh kapasitas dan mutu pengelolanya (pengambil kebijakan dan pembina pada tingkat kementerian pendidikan, dinas2 pendidikan, kepala sekolah2, dan guru2) belum memadai/masih rendah. Namun kemampuan itu bisa ditingkatkan jika mau belajar (eager to learn) tinggi.

    Sejak reformasi (lebih dari sepuluh tahun terakhir) persoalan mutu/kualitas kepala sekolah dan guru paling sering diabaikan. Padahal dari banyak studi di banyak negara, gabungan kemampuan kepala sekolah dan guru bisa menentukan keberhasilan pembelajaran anak mencapai 70 persen. Mutu guru dan kepala sekolah sejak 15 tahun terakhir grafiknya terlihat menurun, hal diindikasikan dari data ujian PISA dan TIMSS. Jika kita analisis secara detail, laporan teknis dari PISA dan TIMSS, maka akan kita akan sampai pada kesimpulan bahwa mutu pembelajaran yang dilakukan guru2 dibalik ruang kelas tertutup itu, yang selama ini tidak pernah dipantau (dilakukan supervisi dan dampingan) oleh kepala sekolah dan pengawas, masih sangat rendah dan sangat memprihatinkan. Guru2 hanya mengajarkan pengetahuan/kemampuan deklaratif atau rote-learning kepada anak2 (siswa2) kita. Pembelajaran yang membutuhkan complex thinking dikesampingkan. Data TIMSS dan PISA menunjukkan 70 persen anak2 Indonesia pada bidang sains dan matematika hanya mampu menjawab soal2 yang mengukur kemampuan knowledge dan comprehension; dan hanya 20 persen yang hanya mampu menjawab soal2 yang mengukur kemampuan aplication, dan lebih sedikit lagi anak2 kita yang bisa memecahkan soal2 yang menuntut kemampuan analitik dan problem solving. Bandingkan anak2 Thailand, 70 persen dari mereka sudah mampu menjawab soal2 yang menuntut kemampuan application, analitic, dan problem solving.

    Jadi jika kita mengacu pada kurikulum negara OECD bukan berarti hanya penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengolah praktek pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir (thinking skills) dan creativitas, communication skills, collaboraton, dan kemampuan mentransformasikannnya ke dalam kehidupan nyata (authentic teaching and assessment). Di sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum nasional (ktsp) kemampuan di muka tidak diolah secara maksimal karena ujian nasional kita sangat tidak sentisif terhadap proses pembelajaran di kelas. Guru2 hanya mangajar sesuai dengan tuntutan UN yang sudah sangat minimal itu. Jika keadaan ini dibiarkan, bangsa ini akan mengalami degradasi pada banyak sektor kehidupan, ekonomi, demokrasi, sosial-budaya, keagamaan. Tanda2 kearah itu sudah nampak didepan mata. Masyarakat kita kini tumbuh menjadi bangsa yang sudah sangat korup (mereka yang korup itu sudah tidak yakin lagi bahwa kehidupan setiap individu sudah dijamin oleh Tuhan Yanga Maha Esa rejekinya), masyarakat menjadi sangat pemarah dan anarkis (tawuran bulliying, perampokan, penipuan, pencurian sudah menjadi pemandangan kesaharian kita), kemiskinan dan pengangguran semakin melonjak, budaya sopan santun dan pendahulukan kepentingan umum sudah hampir hilang. Lihatlah bagaimana corak lalu lintas kita, sembraut, mau menang sendiri, dst.
    Menurut saya, kita selaku praktisi pendidikan baik itu kepala sekolah, guru, manajemen sekolah dan pemerintahan ikut bertanggung jawab memproduksi kualitas masyarakat seperti yang saya gambarkan di muka. Guru2 dan dosen2 harus diminta pertanggung jawabannya jika meluluskan anak2 yang kualitasnya rendah sehingga mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan membangun kehidupan yang lebih baik ke depan. Dosen IKIP (Pendidikan Guru) harus bertanggung jawab bila meluluskan guru2 yang bermutu rendah dan tidak layak mengajar. IKIP harusnya merekrut dan mendidik calon guru dengan kualitas tinggi. Itu yang dilakukan oleh negara2 OECD, karenanya kita tidak usah malu belajar dari mereka. Lihat kualitas pembelajaran, penilaian yang sudah mereka kerjakan dan terus kembangkan. Datanglah ke sekolah Ghandi School, Tiara Bangsa, Global School, dan sekolah2 lain yang sudah menerapkan kurikulum IB atau Cambridge IGCSE dan A Level. Anda akan banyak belajar dari sana. Jangan bandingkan biayanya, tapi lihatlah bagaimana mereka mengelola pembelajaran, penilaian, membangun interaksi guru-siswa (personalized learning), membangun rasa percaya diri pada siswa, kemampuan risk-taking anak2, toleransi, respect, dan lainnya. Sekolah2 negeri dan swasta kita meskipun sudah diberi lebel RSBI atau SBI belum memperhatikan kualitas semacam itu. Kita harus mau belajar jika tidak mau dikutuk oleh anak2 murid kita nantinya, karena kita (guru2) telah gagal menyiapkan mereka untuk bisa hidup di abad ke 21 ini. Ungkapan klasik China, menyebutkan : “Jangan didik anak2 sekarang seperti kamu dididik dahulu, karena mereka adalah milik generasi mendatang” yang problem dan tantangannya sudah sangat jauh berbeda dari yang kita hadapi/alami sekarang.

    Semoga bisa mencerahkan.

    Wassalam,

    Syamsir Alam,

    Penggiat, CIE- Indonesia Belajar

  8. apalah arti sebuah nama, tif yang baik untuk meningkatkan pendidikan di negeri kita ini cukup mudah, bina aqidah,moral dan akhlak. perbanyak ilmu. dan mari kita tunjukkan jati diri kita tidak usah ikut-ikutan berbaha asing di dalam KANDANG KITA SENDIRI, tidak usah meniru kepada negara-negara maju(BARAT), bukan level kita, bukan panutan kita orang yahudi dan nasrani.kita negara beragama, dengan cita-cita panca sila.dak usah neko-neko KITA HARUS PUNYA PRINSIP.

  9. Setuju banget dgn Paparan Pak Satria…blm lagi beban psikologi/beban modal guru rsbi yg cenderung membiayai peningkatan mutu dari kocek sendiri(yg sedikit);beban administrasi birokrasi (pangkat/sertifikasi dll) yg kecenderungan juga dgn modal Rp.Dengan demikian sangatlah tdk adil bila siapapun selalu mendiskreditkan kwalitas pendidikan pada guru “tidak berkualitas” semoga bangsa ini tidak grusa grusu dlm membuat kebijakan serta yakin bahwa bangsa ini mampu membangun anak negeri dgn rasa Percaya Diri .

  10. Semoga pemerintah mau mendengar dan segera mengevaluasi pelaksanaan RSBI ini. Sebagai guru yang melaksnakan program ini, saya berharap ada perbaikan konsep yg telah dibuat oleh IGI.

    salam
    Omjay

  11. Sebuah usulan yang cerdas, pengalaman sy mengajar di RSBI: pertama, RSBI di daerah membuka peluang perbedaan jurang yang dalam kesejahteraan antara guru biasa dengan guru yang menjabat sbg kepsek-wakasek-staf; kedua, penggunaan bahasa inggris yang dipaksakan bukan menambah pintar siswa malah menambah semakin bingung pemahaman thd subtsansi materi yang disampaikan; ketiga, terbuka lebar peluang kecurangan penggunaan anggaran RSBI. terima kasih

  12. Saya bukan orang pemerintah, bukan pula siswa RSBI, bukan guru, dan bukan pihak yang berkepentingan dalam pro kontra ini. Saya ingin menyampaikan bahwa tulisan Pak Satria sama sekali tidak melibatkan data dan hanya berbentuk opini dimana opini tanpa data itu tingkat kebenarannya patut dipertanyakan. Apa betul semua RSBI seperti yg Pak Satria sebutkan? Berapa banyak yg seperti itu? Berapa ratio RSBI yg berhasil vs yg gagal? Apa indikator keberhasilan yg Pak Satria sebutkan itu sudah valid? Intinya, mana datanya? Semua orang bisa berbicara dan berpendapat, dan pendapat orang besar dan hebat seperti Pak Satria pun bisa saja salah, karena kita semua sama-sama manusia. Bila Pak Satria mampu menyajikan data, maka akan lebih baik karena kebenaran pendapat Pak Satria adalah empiris, bukan benar karena Pak Satria adalah orang hebat yg ‘dianggap’ benar.

  13. Sebetulnya pertanyaan ini seharusnya ditujukan kepada Kemdiknas dan pra konsultannya yang membuat sebuah program yang bernama (R)SBI dengan biaya trilyunan tapi TANPA menggunakan rujukan akademik dan juga TANPA menggunakan data dan statistik untuk mendukung konsep dan program RSBI tersebut. Anehnya, justru saya yang diminta untuk memberikan data dan statistik! 🙂
    Apa yang disusun oleh Kemdiknas dengan Panduan Pelaksanaan Program SBI-nya hanyalah berupa asumsi-asumsi dan tidak menggunakan rujukan akademik. Merekalah yang seharusnya ditanyai mengapa membuat program besar tanpa menggunakna kajian akademik.

    Apakah saya tidak punya data…?!
    Check this out. https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=explorer&chrome=true&srcid=0B-pXbcM8cTV_ZTlkODEyMmYtYTc1OC00N2ZjLWFjNGUtODBiNWNiN2I2MDFj&hl=en

    Paparan ini saya sampaikan pada Simposium ayng diadakan oleh British Council pada tanggal 9-10 Maret 2011 di Hotel Atlet Century.

    Ini juga untuk menjawab Bu Sopantini. Kemdiknas meluncurkan program ini dengan konsep yang hanya berupa asumsi dan bukan berdasarkan kajian akademik. Saya punya kajian akademik untuk membantah semua asumsi tersebut. Kapan saja saya dipertemukan dengan snang hati akan saya tunjukkan kajiannya.

  14. bagus dan salut atas pemikiran pa satria tentang RSBI memang sudah saat IGI memberikan pemikiran dan pencerahan bagi dunia penddikan kita

  15. assalaamu’alaikum sir..
    i agree with your statement..i hope education in indonesia will be Filnlandia applayed..

  16. Siapakah yang pernah menjadi siswa asing di luar negeri semasa SD hingga SMA, juga pernah berkecimpung di Depdikas periode 15 tahun terakhir ini, dan juga pernah menjadi pengajar sekolah Internasional baik di Indonesia maupun di luar negeri?
    Saya akan berdiskusi panjang mengenai topik ini dengannya.
    Saya yang akan mengkontak Anda untuk berbicara lebih mendetil untuk membuat perbaikan ke depan.

    Thx

  17. ibu @nina: sy tunggu kontaknya. sy salah satu pengajar di sekolah internasional di bandung dan juga pengajar di PTN n PTS yg berbahasa pengantar bhs inggris. ditunggu lho..makasih…

  18. Senang sekali membaca dan mengetahui isi tulsan-tulisan anda semua. Benar-benar menambah wawasan saya tentang pendidikan di Indonesia. Btw untuk ibu Nina S dan Rakean Sunu : sudahkah anda berdiskusi ? Kalau sudah, maukah anda share ke kami di sini ? Saya penasaran ingin tau. Terimakasih.

  19. Mantab baca ini, sejak usulan no satu sampai ke tujuh saya membaca masih dari sudut pandang siswanya, bahkan ke delapan dan kesembilan. Akhirnya ke sepuluh keluar juga yang saya tunggu-tunggu. Prespektif dari kemampuan gurunya, menurut saya ini yang banyak dilupakan.
    Hebat.. ini tulisan yang hebat, kenapa gak dikorankan pak?

    salam
    Ardlian

  20. Pak Satria….tulisan dan ulasan yang sangat baik dan informatif bagi pembaca. Mohon bantuannya data atau informasi dari pak Satria, khusus untuk kondisi guru RSBI di Jogja. Saya ingin meneliti tentang “Komparasi Self-Efficacy Guru Sekolah Dasar Sekolah Nasional (SDSN) dan RSBI”. Boleh jadi hasil penelitian nanti, akan saya bagikan pada pak, dan siapa saja yg membutuhkannnya. Kalau ada informasi tentang guru RSBI, khusunya SD se_DIY, mohon kesediaan pak Satrio, mengiirim via emali saya: kristoforusbili@yahoo.co.id. JIka pak Sastiro masih perkenan kita share nomor HP. (No hp saya: 081 339 834 460).

  21. Pak Satria….tulisan dan ulasan yang sangat baik dan informatif bagi pembaca. Mohon bantuan data atau informasi dari pak Satria, khusus untuk kondisi guru RSBI di DIY. Saya ingin meneliti tentang “Komparasi Self-Efficacy Guru Sekolah Dasar Sekolah Nasional (SDSN) dan RSBI”. Boleh jadi hasil penelitian nanti, akan saya share pada pak, dan siapa saja yg membutuhkannnya. Kami meneliti dalam team (masih ada 4 teman. Aspek lain yg diteliti adalah budaya, ekspektasi orang tua, kesiapan sekolah, dan prestasi) Kalau ada informasi tentang guru RSBI, khusunya SD se_DIY, mohon kesediaan pak Satrio, mengiirim via emali saya: kristoforusbili@yahoo.co.id. JIka pak Sastiro masih perkenan kita share nomor HP. (No hp saya: 081 339 834 460). Kalau ada masukan konstruktif untuk penelitian ini, sangat baik. Terima kasih sebelumnya dan salam maju terus….!

  22. Mohon maaf, saya tidak punya data seperti yang dimaksud. Tapi masalah RSBI telah dibahas banyak orang untuk menjadi thesis/disertasi mereka, salah satunya adalah Agustina Kustulasari pengajar Universitas Sanata Darma yang bisa Anda hubungi di agkustulasari@yahoo.com
    Semoga membantu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *