
Kakak saya mengirim sebuah video tentang seorang wanita yang mewakafkan tanahnya yang berharga milyaran kepada sebuah yayasan agar dijadikan sekolah. Ia lalu bertanya apakah wanita itu teman saya SD yang bernama Siti Aisyah. Semula saya ragu dan berkata mungkin bukan karena wanita ini tampak masih muda dan keren dengan kacamata hitamnya. She really looks younger. Tapi adik saya yang berteman dan satu kelas dengan adik Siti Aisyah meyakinkan saya bahwa itu memang teman SD saya. Setelah saya perhatikan videonya dan cari beritanya barulah saya sadar bahwa itu memang Siti Aisyah, atau kami memanggilnya Isa, teman saya SD dulu.
Kami dulu bersekolah di SD TPPNU (Taman Pendidikan Putri Nahdlatul Ulama) di jalan Ahmad Yani, Surabaya. Sekarang sekolah itu berubah namanya menjadi SD Khadijah. Memang semula sekolah putri. Jadi yang bersekolah di sana hanya perempuan. Tapi di tingkat SD masih bisa menerima laki-laki. Di tingkat SMP tidak menerima siswa putra lagi. Tapi tampaknya sekarang sudah berubah. Sudah menerima putra atau pun putri. Entah mengapa ayah kami menyekolahkan kami di sekolah ini. Mungkin ini sekolah terdekat dari jalan Darmokali, di mana kami tinggal waktu itu.
Isa sejak lahir memang sudah kaya. Bukan hanya kaya, tapi kaya raya. Ayahnya Haji Abu Ali adalah kontraktor top zaman itu dan salah seorang sponsor besar organisasi Nahdlatul Ulama. Keluarganya dulu tinggal di jalan Raya Darmo, persis di depan Taman Bungkul. Sekarang kalau tidak salah sudah menjadi kantor bank BJB dan keluarga mereka sudah tidak di situ lagi. Orang Surabaya pasti tahu bahwa Raya Darmo adalah jalan paling prestisius di Surabaya sejak dulu sampai sekarang. Mereka juga punya hotel di jalan Pandegiling. Hotel inilah yang tampaknya diwakafkan ke yayasan pendidikan agar dimanfaatkan.
Sejak dulu Isa dan saudara-saudaranya sudah diantar ke sekolah naik mobil sementara kami jalan kaki. Tapi Isa memang sudah dermawan juga sejak dulu. Kalau istirahat sekolah dan murid-murid berlarian ke kantin untuk belanja saya (dan saudara-saudara saya) tetap berada di kelas karena kami tidak diberi uang saku oleh orang tua kami. Tidak ada uang saku untuk belanja di kantin bagi kami. Isa yang tahu bahwa saya tidak bisa njajan di kantin akan memanggil saya untuk ikut dengannya dan ia akan mentraktir saya. Isa ini punya uang saku yang unlimited karena katanya ia bisa ngambil sendiri uang bapaknya di kasnya. Jadi kadang ia mengambil saja tanpa tahu berapa jumlah uang yang ia ambil. Lagi pula ia memang sangat disayang sama ayahnya sehingga apa pun dan berapa pun uang yang ia minta akan diberi. Melihat saya yang tak mampu beli kue sekedarnya di kantin tentulah terbit rasa kasihannya. Meski semula saya agak malu-malu tapi Isa akan bersikeras untuk mengajak saya ke kantin dan meminta saya untuk mengambil apa saja kue yang saya inginkan. Saya selalu mengambil kue gabin waktu itu. Bagi saya kue gabin waktu itu sungguh enak. Maklumlah anggota kaypang jarang-jarang makan kue kantin. 😁
Ketika lulus SD pada tahun 1970 dan masuk SMP kami berpisah sekolah. Saya DI SMPN 2 dan dia di SMPN 3 (kalau tidak salah). Tapi kami masih sesekali bertemu. Soalnya kalau saya jalan kaki pulang dari sekolah (dari jalan Kepanjen ke Darmokali yang jaraknya 8 km) maka rute saya selalu lewat Raya Darmo alias lewat depan rumahnya. Kalau saya sudah sangat kecapekan berjalan kaki di terik matahari siang yang begitu ganas maka saya akan sempatkan untuk mampir ke rumahnya sekedar untuk mengademkan kaki saya. Tentu saja keluarga Isa kenal saya dan saya diperbolehkan untuk membuka keran air di depan rumahnya untuk saya alirkan ke kaki saya yang sudah menjerit kepanasan. Lha wong saya pakai sepatu karet dan jalan kaki delapan kilometer dari sekolah ke rumah. Jika Isa tahu saya datang maka ia akan meminta saya (she insisted) untuk masuk ke rumahnya dan ia akan memberi saya minum air dingin dari kulkasnya dan kue-kue. Air dingin dari kulkas di siang hari yang terik sungguh terasa nikmat. Tentu saja saya sangat berterima kasih. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Isa teman saya yang sangat dermawan ini. 🙏
Kami pernah bertemu lagi beberapa tahun yang lalu. Isa mengelola sebuah resto Pecel Pincuk Surabaya di jalan Jemursari kala itu (sudah diwakafkan juga). Isa masih tetap ceria dan ramah seperti waktu kami masih anak-anak dulu. Ia bercerita tentang anaknya yang kuliah di ITB tapi kemudian keluar dan berbisnis jilbab yang sangat laris. Berapa pun yang ia produksi akan habis dipesan dalam sekejap. Tentu saja usaha ini membuat anaknya juga kaya raya. Jadi kalau Isa bilang bahwa ia sudah bosan punya uang banyak, meski bergurau, maka itu bukan karena sombong tapi karena memang sejak lahir ia sudah kaya raya dan anaknya pun kaya raya. Itu sama dengan orang miskin yang bilang bahwa ia sudah bosan melarat. Itu bukan karena sombong juga. Itu memang fakta dan orang memang kadang jenuh dengan situasi yang sama terus menerus. 😁
Kalau Anda apakah sudah mulai bosan belanja kesana ke mari atau healang-healing ke mana-mana? 😁
Surabaya, 7 Mei 2023
Satria Dharma