
Seorang teman menelpon saya dan menyatakan bahwa ia salut pada saya karena tetap bersikap tenang dan sama sekali tidak emosional ketika menghadapi kasus salah paspor waktu mau ke Malaysia kapan hari. Katanya kalau itu terjadi pada dirinya maka ia akan panik dan setelah itu tidak bisa tidur dua hari dua malam dan mungkin masih akan marah pada istrinya berhari-hari karena ceroboh keliru membawa paspor. Kisahnya bisa dilihat di sini.
Tentu saja saya tertawa mendengarnya dan bilang bahwa saya tidak punya alasan untuk sepanik itu, apalagi sampai marah sekali pada istri. Sudah menjadi sikap saya dalam menghadapi masalah adalah langsung mencari solusinya dan fokus pada upaya mencari solusi terbaik dalam menghadapinya. Jadi saya tidak akan buang-buang waktu merenungi masalah dan kesalahan, dan apalagi mencari orang untuk pelampiasan rasa marah dan kecewa saya. Ada yang lebih penting ketimbang bersikap panik dan melampiaskan rasa kecewa dan marah, yaitu mencari solusi dan berfokus pada tindakan. Saya juga tidak bisa marah pada istri karena sebenarnya ya salah saya sendiri tidak mau tahu apakah paspor yang saya bawa benar paspor saya atau bukan. Itu harga yang harus saya bayar jika terlalu menggantungkan segalanya pada istri. Lha wong urusan paspor sendiri saja kok ya harus diopeni sama istri. 😁 Istri sudah melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan but shits always happen (onok telek nang endi-endi, jare Mukidi). Selalu saja ada kemungkinan terjadi kesalahan dan kekurangan dalam segala hal. Itu sudah jadi hukum. Namanya Murphy’s Law. Anything that can go wrong, will go wrong.
Ada beberapa alasan mengapa saya tidak perlu panik. Pertama, pergi tour ke Malaysia dan Thailand itu bukan hal yang penting dan mendesak. Nothing important and emergency in it. Gak berangkat juga gak apa-apa. Been there many times. Kedua, meski pun istri saya berangkat sendiri juga no problem lha wong dia pergi bersama rombongan kampus saya. Jelas aman, damai, dan sentosa. Ketiga, saya sendiri juga aman, damai, dan sentosa meski sendirian di Bali. Bali is like second home for me. Saya juga bisa langsung balik ke Surabaya kalau mau. Keempat, ada beberapa solusi agar saya bisa menyusul rombongan ke Kuala Lumpur. Lha wong Kuala Lumpur itu ya gak jauh-jauh amat. Masalah saya ini akhirnya terselesaikan dengan mudah lha wong solusinya ada di depan mata kok. Sila baca kisahnya di sini.
Kemarin saya mulai mengajak Yubi anak saya untuk ikut melakukan supervisi ke beberapa divisi di yayasan kami di Bali. Sekarang Yubi sudah masuk sebagai anggota yayasan di bagian Pengawas di bawah saya. Sebagai pengawas di yayasan salah satu tugas saya adalah melakukan supervisi ke semua divisi lembaga paling tidak ya tiga bulan sekali (tapi jarang saya lakukan). Tapi pandemi membuat saya tidak bisa melakukan tugas saya dan baru kemarin saya mulai lagi tugas saya tersebut. Kalau mau menuruti perasaan sih saya sebenarnya sudah malas mengerjakan tugas ini. Yayasan juga sebenarnya tidak peduli apakah saya mau melakukan tugas supervisi ini atau tidak. Kalau mau berangkat nanti akan disediakan dana dan fasilitasnya tapi kalau tidak ya no problem. Toh kami punya rapat yayasan baik yang rutin mau pun yang insidentil. Tugas saya sebagai Pengawas sih sekedar menanyakan bagaimana semua divisi melaksanakan rencana tahunan yang sudah kami rapatkan sebelumnya dalam rakor, apa kendala yang mereka hadapi, bagaimana mencari solusinya, dan bagaimana kami di yayasan bisa membantu mereka. Intinya adalah menunjukkan pada semua divisi bahwa we are here to help you and let’s do our job the best we can. Sekedar info, ada 19 divisi yang ada di yayasan kami di Bali saja. Too many actually. Belum termasuk yang di Bandung.
Hal pertama yang saya sampaikan pada Yubi adalah bahwa we come to help and to serve. To serve ya Nak. Not to act as a boss. Kita tidak datang untuk mencari kesalahan mereka. Kalau kita datang untuk mencari kesalahan maka kita PASTI akan mendapatkan kesalahan-kesalahan dan itu akan membuat kita uring-uringan. Hubungan kita dengan mereka akhirnya akan jadi buruk padahal belum tentu akan ada solusi dari masalah dan kesalahan yang kita temukan tersebut. Kita tidak datang sebagai Boss untuk mencari dan menemukan kesalahan (I’m quite a master in it dan saya tidak ingin Yubi mewarisinya) tapi kita datang as a partner to support them. Jadi kita tidak datang sebagai pengawas yang mencari kesalahan tapi sebagai teman yang akan mendengarkan apa kesulitan mereka dalam mencapai target tahunan yang sudah mereka sampaikan pada rakor yang lalu dan bagaimana mereka berusaha untuk mengatasinya. Syukur-syukur kalau kita punya solusi untuk menjawab kesulitan mereka. Kalau pun tidak, ya berilah mereka dukungan dan besarkan hati mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut. Acting bossy is no option. Lha wong sikap mereka pada kami di yayasan saja sudah mundhuk-mundhuk dan takut salah. Apalagi kalau kami datang as a boss and looking for mistakes. Saya sungguh merasa ngeri dan tidak nyaman menghadapi karyawan yang takut dan sangat segan bertemu dengan saya. Wajah saya memang tidak ramah makanya saya selalu berusaha untuk tersenyum (untungnya Yubi punya wajah ramah yang menyenangkan). Tapi posisi sebagai pemilik yayasan yang bisa menentukan nasib orang yang bekerja di situ juga mempengaruhi suasana dan sikap mereka terhadap kami. Saya sudah kenyang diperlakukan sebagai pejabat dan mereka mundhuk-mundhuk pada saya. Saya ingin diperlakukan sebagai teman, sahabat, kakak, ayah, paman, dan mentor saja. Saya juga ingin agar Yubi tidak mengembangkan sikap sebagai pimpinan dan orang penting ketika bertemu dengan mereka. Tanpa bersikap bossy saja mereka akan tetap segan kok. Hirarkinya memang sudah begitu. Tapi ada fakta penting yang ingin saya tekankan pada Yubi, yaitu bahwa faktanya merekalah yang mengerjakan tugas sehari-hari dalam divisi masing-masing. Kita ini cuma pengawas yang kerjanya sesekali saja dan tidak terlalu penting. Jadi kalau yayasan kita ini besar maka sebenarnya MEREKALAH yang membuatnya besar. Kita cuma numpang besar dan jadi beken karenanya. 😎
Semakin hari saya merenung semakin saya merasa bersyukur dan juga semakin takut. Saat ini status saya ini pensiunan dan tidak punya pekerjaan tetap. Dulunya juga saya hanya seorang guru biasa. Tapi kini saya kemana-mana diperlakukan seperti pejabat. Ke mana pun saya pergi di lingkungan yayasan yang saya dirikan dulu, apakah itu ke Balikpapan, Samarinda, Bali, atau pun Bandung, saya diperlakukan sebagai pejabat laiknya. Tiket dibayari, hotel disediakan, mobil dan sopir disiapkan, honor diberi, dan mereka yang bekerja di situ selalu bersikap hormat dan segan terhadap saya. Saya jadi pejabat gak leren-leren. 😁
Di samping bersyukur saya juga merasa takut. Saya takut bahwa kenikmatan hidup yang saya terima ini membuat saya jadi lupa diri dan bersikap pongah terhadap orang lain, utamanya pada mereka yang bekerja di yayasan saya. Saya takut Tuhan marah pada saya karena tidak bisa menjaga diri dengan kemuliaan yang diberikan olehNya lalu saya dihempaskan olehNya. 😥
Tapi teman saya punya resep jitu bagi orang yang lupa diri. “Ya buka saja dompetmu, ambil KTP-mu dan lihat. Nanti kamu akan ingat lagi siapa dirimu.”. Simpel…! 😂
Surabaya, 6 Mei 2023
Satria Dharma
Foto-foto: