Beberapa kali saya mendapat kiriman artikel atau video tentang fatwa dari ustad atau ulama soal memilih pemimpin dalam pilpres kita. Dan saya selalu penasaran karena setahu saya TIDAK ADA aturan yang ditetapkan oleh agama dalam memilih pemimpin ini. Sistem pemilihan pemimpin seperti Pemilu seperti yang kita lakukan saat ini sama sekali TIDAK DIKENAL dalam sejarah Islam.
Ketika nabi Muhammad wafat beliau sama sekali tidak pernah berwasiat soal siapa yang harus menggantikan beliau. Tidak pernah menyuruh siapa pun untuk mendirikan khilafah setelah beliau wafat. Tidak meninggalkan wasiat tentang aturan untuk memilih pemimpin setelah beliau. Wafatnya Rasulullah membuat umat Islam shock. Umar sangat terpukul dan tidak bisa menerima kematian beliau dan bahkan mengancam siapa pun yang mengatakan Nabi telah wafat akan dipotong tangan dan kakinya. Barulah setelah Abu Bakar mengingatkan beliau Umar tersadar. Abu Bakar mengatakan pada umat Islam pada saat itu “Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selamanya tak pernah mati.” Kemudian ia membacakan firman Allah: “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.” ( QS Ali ‘Imran : 144).
Wafatnya Nabi Muhammad membuat umat Islam bertikai soal siapa yang selayaknya menggantikan beliau. Jadi perlu dipahami bahwa pertikaian ini terjadi karena memang Nabi TIDAK menunjuk penggantinya dan tidak meninggalkan juklak dan juknis pemilihan pemimpin sebagai penggantinya. Kalau seandainya ada petunjuk dari Nabi soal bagaimana MEMILIH PEMIMPIN maka tentunya mereka akan segera menggunakan petunjuk tersebut tanpa perlu bertikai. Pertikaian yang berlarut-larut ini membuat jasad Nabi tidak dimandikan dan dikuburkan selama dua hari. Setelah berdebat dan bertengkar selama dua hari di Tsaqifah Bani Saidah barulah mereka menghasilkan kesepakatan PENUNJUKAN Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam. Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan SAMPAI SEKARANG. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin karena mereka meyakini bahwa ini adalah keputusan Rasulullah sebelumnya di Ghadir Khum. Sila baca tulisan saya di sini.
Jadi…
Di sini kita ketahui bahwa naiknya Abu Bakar sebagai khalifah adalah sekadar KESEPAKATAN dari para tokoh Anshar dan Muhajirin. Jadi kekhilafahan setelah Nabi adalah IJTIHAD dari para sahabat untuk meneruskan kepemimpinan umat. Dan itu sama sekali BUKAN mandat, amanat, kehendak, petunjuk atau pun keinginan Nabi. Itu sepenuhnya merupakan kesepakatan umat belaka. Rasulullah has nothing to do with it.
Bagaimana dengan Khalifah Umar? Umar menjadi khalifah berikutnya melalui wasiat yang diberikan oleh Khalifah Abu Bakar sebelum meninggal. Abu Bakar memilih Umar dengan tetap meminta pertimbangan kepada para sahabat, seperti Abdurrahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Setelah MUSYAWARAH, semua sahabat sepakat bahwa Umar bin Khattab akan ditunjuk sebagai khalifah selanjutnya, menggantikan Abu Bakar.
Bagaimana dengan terpilihnya Khalifah Usman? Pada saat menjelang kematiannya, Umar bin Khattab menunjuk suatu dewan berisi enam anggota yang diminta untuk memilih salah satu dari dua calon sebagai khalifah berikutnya, yaitu Utsman dan Ali. Abdurrahman bin Auf diangkat sebagai arbitrator untuk memilih antara dua kandidat yang tersisa. Akhirnya, Abdurrahman bin Auf memberi keputusan yang mendukung pemilihan Utsman. Jadi tidak ada pemilihan pemimpin oleh umat Islam tapi pemilihan oleh perwakilan umat Islam yang ditunjuk oleh Umar sendiri.
Setelah Usman wafat karena dibunuh oleh umat Islam yang tidak puas dengan kepemimpinan beliau keadaan semakin kacau. Kaum muslimin mendesak agar Ali r.a. dibaiat sebagai khalifah. Dalam suasana kacau, Ali pun dibaiat. Peristiwa itu berlangsung pada 25 Zulhijah 35 H di Masjid Madinah. Jadi ini juga kesepakatan bersama dalam suasana kacau.
Setelah memimpin sekitar lima tahun Ali bin Abu Thalib, dibunuh oleh seorang khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Anak beliau Hasan bin Ali DIBAIAT oleh umat Islam. Tapi ada kelompok umat Islam lain yang tidak setuju dan tidak puas.
Karena perpecahan dalam tubuh umat Islam semakin meruncing akhirnya beliau mengalah. Beliau kemudian MENYERAHKAN JABATAN kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, tokoh pemberontak di zaman Ali bin Abi Thalib. Saat itu umat Islam sedang terpecah akibat fitnah yang menyebabkan perang saudara. Mereka kemudian mengadakan perjanjian. Khalifah Hasan Ali bersedia turun takhta untuk digantikan oleh Muawiyah. Tapi setelah Muawiyah turun takhta nanti persoalan penggantian kepemimpinan setelahnya akan diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
Tapi Muawiyah berkhianat. Muawiyah melanggar perjanjiannya dengan Hasan bin Ali untuk menyerahkan kekuasaan pada pilihan umat Islam. Sebaliknya ia MENGANGKAT anaknya sendiri Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota. Sejak itu juga kekhalifahan Islam menjadi SISTEM DINASTI, yaitu Dinasti Umayyah. Khalifah berikutnya BERDASARKAN KETURUNAN. Muawiyah menyerahkan kekuasaan dan kepemimpinan umat Islam pada anak dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perang sesama umat Islam beberapa kali yang berkelanjutan dan dibantainya cucu Nabi oleh sesama umat Islam. Dari sinilah sejarah Kaum Syiah dimulai sehingga Islam terbagi menjadi dua kelompok besar Sunni dan Syiah sampai dengan sekarang. Jadi politik kekuasaanlah yang membelah umat Islam. Sila baca di sini.
Saya ulangi lagi…
Naiknya Abu Bakar sebagai khalifah setelah Nabi wafat, yang kemudian digantikan oleh Umar, Usman, Ali, dstnya, BUKAN atas dasar amanat, wasiat, petunjuk, atau dapat mandat dari Nabi untuk itu. Tidak sama sekali… Naiknya mereka sebagai khalifah BUKAN berdasarkan pemilihan oleh umat Islam pada saat itu. Setelah Muawiyah naik maka sistem yang dipakai adalah sistem dinasti yang terus digantikan oleh Dinasti Abbasiyah dan seterusnya. Kapan sistem ini berhenti? Yaitu ketika kekhilafahan Turki jatuh. Jadi jelas sekali bahwa tidak ada aturan atau petunjuk dari Nabi soal bagaimana umat Islam memilih pemimpin (khalifah). Itu semua hanya berdasarkan ijtihad dan kesepakatan di antara umat saja.
Ada yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah ayat 51 adalah petunjuk bagi umat Islam untuk memilih pemimpin. Tentu saja tidak sama sekali. Tidak ada pemilihan pemimpin pada saat itu dan seterusnya. Konteks dari kata ‘awliya’ di ayat tersebut dan di ayat lainnya mengacu pada istilah sekutu yang saling melindungi yang berlaku pada kelompok-kelompok kesukuan yang ada pada zaman itu. Sila baca di sini.
Sebetulnya yang ada hanyalah KEWAJIBAN bagi umat Islam untuk menaati pemimpin (ulil amri) dalam An Nisa ayat 59. Dalam ayat tersebut dijelaskan, muslim berkewajiban untuk menaati aturan yang dibuat oleh ulil amri : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ada hadist yang berbunyi : “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah). Hadist ini berbicara tentang perlunya umat Islam MEMILIKI PEMIMPIN dalam berbagai hal tapi bukan petunjuk tentang bagaimana memilih pemimpin.
Adapun pemilihan umum (pemilu) yang dikenal saat ini di berbagai negara, BUKANLAH bagian dari sistem Islam dalam memilih pimpinan. Kekhalifahan Islam sejak awal sampai berakhir TIDAK PERNAH memiliki sistem pemilu seperti yang kita lakukan saat ini. Jadi mengait-ngaitkan pemilu saat ini dengan ajaran atau tradisi agama Islam dalam memilih pemimpin adalah tidak nyambung sama sekali.
Jakarta, 9 Januari 2024
Satria Dharma
Pemimpin dalam Islam itu ditunjuk, bukan dipilih berdasarkan “demokrasi”. Dapat dilihat secara jelas bagaimana kepemimpinan berlanjut setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua yang dicontohkan nabi junjungan kita.