Pulang dari dinas di Jakarta selama tiga hari saya dijemput oleh istri dan Tara, di Juanda. Begitu naik mobil Tara langsung cerita bahwa dia kemarin nonton debat presiden. Tumben, pikir saya. Saya pikir dia tidak pernah tertarik pada hal-hal semacam itu. Saya aja gak pernah tertarik nonton debat. Toh besoknya akan banyak teman WAG yang akan menumpahkan pandangan mereka masing-masing tentang debat tersebut. Apalagi di salah satu WAG Pensiunan PTB yang memang kayaknya dedicated to discuss about pilpres. Serang menyerang di WAG ini jauh lebih ganas ketimbang debatnya itu sendiri. Sudah macam jihad fisabilillah aja suasananya. 🤣
Tara kemudian bercerita bahwa dia kasihan dan sedih melihat Prabowo diserang dengan tajam oleh Anies Baswedan. “Aku sampai nangis kasihan sama Prabowo”, katanya. “Haaah…!” sampai segitunya Tara terbawa oleh suasana debat, pikir saya. Tapi saya diam saja.
Istri saya kemudian menimpali bahwa dia penasaran dengan cerita Tara sehingga dia mencari video debatnya dan menontonnya. Istri saya sepakat bahwa Anies Baswedan terlalu bernafsu menyerang Prabowo dan tampak tidak simpatik dalam debat tersebut. Dia heran bahwa Anies Baswedan yang selama ini dia tahu adalah orang yang sangat santun bisa berlaku demikian dalam debat. Saya tetap tidak berkomentar. Tentu saja istri saya ingin mendengar pendapat saya sebagai teman baik Anies Baswedan. 😎
“Ya begitulah suasananya debat. Namanya aja debat. Kalau saling puji dan guyon itu namanya Ngopi Bareng.”jawab saya akhirnya.
“Tapi kan tidak harus sampai segitunya,” jawab istri saya dengan wajah manyun. Rupanya ia masih terbawa oleh suasana debat tersebut.
Kemarin di saat sarapan sebelum rapat di Jakarta kami juga ngobrol soal pilpres dan debat ini. “Saya pingin tahu nih pendapat Pak Satria soal pilpres ini. Kita sebaiknya milih siapa.”kata salah seorang teman. Basa basi tentunya. Saya tertawa. Olaopo soal memilih presiden kok tanya pendapat saya. Kami lalu berdiskusi lumayan seru. Di diskusi ini saya menyampaikan bahwa mayoritas rakyat Indonesia itu lebih memilih berdasarkan perasaan alias emosi dan bukan berdasarkan pertimbangan logika atau rasio. Singkatnya, mayoritas rakyat Indonesia lebih memilih capres yang simpatik dan ‘mesakke’ ketimbang capres dan cawapres yang cerdas. Rakyat yang memilih berdasarkan logika dan rasionya tentu akan memilih capres yang tampak cerdas dan kata-katanya meyakinkan. Tapi rakyat yang memilih berdasarkan emosi dan perasaannya akan lebih memilih capres yang simpatik, tampak sabar, culun, dan bahkan yang tampak ‘dizalimi’. Saya yakin bahwa para konsultan tim capres mana pun tahu soal ini. Tapi soal bagaimana implementasi strategi mereka di lapangan itu bisa berbeda-beda.
SBY dulu bisa menang dari Megawati karena SBY tampil lebih low profile. SBY memang jendral tapi penampilannya tampak sendu dan prihatin dan jelas kalah garang dengan Megawati yang selalu tampil bak singa siap menerkam. Jadi kesannya adalah SBY ‘dizalimi’ meski sebenarnya SBY yang ‘mengkhianati’ Megawati. Tapi Megawati tidak memanfaatkan dengan baik kesan tersebut. Not her type. 😎
Apa yang disampaikan oleh anak dan istri saya mungkin mewakili perasaan mayoritas rakyat Indonesia yang lebih sentimental ketimbang rasional. Mereka gampang terhanyutkan perasaannya oleh situasi dan peristiwa yang mereka lihat. Itu sebabnya drakor dan telenovela yang sentimental dan mengharu biru perasaan sangat laku di Indonesia meski pun kisahnya terlalu dibuat-buat. Penonton Indonesia suka sekali menonton drama keluarga tentang istri yang setia, sibuk banting tulang ngopeni tujuh anaknya, tak punya waktu untuk dirinya sendiri dan tiba-tiba suaminya berubah kelakuannya menjadi kasar dan suka memukul. Usut punya usut ternyata sang suami ketahuan punya istri lagi tidak jauh dari gang rumah mereka. Si istri diceraikan, tapi kemudian dapat suami yang kaya raya dan sangat sayang dengannya meski anake wis pitu. Embuh piye carane olehe ketemu. Sang suami ketabrak tronton, cacat, dan ditinggal sama istri barunya yang matre. Gusti Alah ora sare, demikian pesannya. Film dengan tema ini lebih disukai ketimbang tema tentang seorang anak dari kalangan menengah yang berjuang untuk studinya di luar negeri, berhasil memperoleh karir yang moncer dan juga dapat istri yang cantik. And they live happily ever after. Kisah semacam ini dianggap kurang nyakot dan tidak menghunjam ulu hati. Kurang ngindonesia…. 😁
Surabaya, 11 Januari 2024.
Satria Dharma