Pagi ini saya kembali membaca buku “Mohon Maaf… Masih Compang-Camping” milik Mas Muchlas, sebuah buku yg SANGAT menarik. Pertama, karena buku ini menjelaskan banyak hal yg menjadi pertanyaan banyak teman ttg sikap dan kebijakan yg diambil oleh Mas Muchlas. Mas Muchlas di buku ini menyatakan dirinya hanyalah ‘Rektor Icebreaker’. Apa maksudnya…? Buku ini memang ditulis utk menceritakan dan menjelaskan semua hal yg dialami oleh Mas Muchlas sejak awal mencalonkan diri sebagai rektor dan liku-liku ketika pemilihan, apa yg ia lakukan selama kepemimpinannya selama empat tahun, keputusannya utk tidak mencalonkan lagi sampai akhir kepemimpinannya.
Mas Muchlas memang sempat ragu-ragu ketika didesak utk mencalonkan diri jadi rektor karena pada saat itu beliau sudah jadi Direktur Ketenagaan di Kemdikbud. Jadi rektor itu dianggap ‘turun jabatan’ dan juga ‘jali-jali’, alias ‘pohonnya tinggi buahnya jarang’. 🙂 (lha nek rektor ae buahnya jarang ndahniyo dadhi pembantu rektor. Hehehe…!)
Kedua, buku ini ditulis dengan cara bertutur dengan bahasa yg ringan sehingga seolah kita mendengar langsung kata-kata dari Mas Muchlas. Saya membayangkan duduk berdua dengan beliau, nyruput kopi sambil mendengarkan penuturannya ttg apa yg telah dilakukannya selama empat tahun yg sibuk di Unesa. Saya selalu terkesan dengan senyum Mas Muchlas yg luar biasa tersebut. Ini jenis senyum yg bisa merontokkan hati yg membeku dan mendinginkan emosi yg membara sekali pun.
Satu hal yg saya kagumi dari Mas Muchlas adalah sikap kerendahan hatinya. Judul buku ini pun sama sekali tidak berpretensi utk menunjukkan apa prestasi dan jasa-jasa yg telah dilakukannya selama empat tahun menjabat sbg rektor. Bahkan dengan rendah hati beliau menyatakan bahwa apa yg dilakukannya masih compang-camping, artinya masih belum berbentuk seperti yg bahkan diinginkannya sendiri. ‘I haven’t done anything great yet’, begitu mungkin pesannya, meski kita tahu betapa banyak hal yg telah dilakukannya selama empat tahun ini.
Bukti kerendahhatian lainnya adalah keyakinannya bahwa masih banyak kader di Unesa yg bisa menggantikannya sbg rektor, dan melakukan prestasi lebih besar darinya. Beliau bahkan sudah mempersiapkan diri utk turun tahta jauh hari sebelumnya agar pergantiannya mulus dan tidak menjadi gejolak.
Terus terang saya sendiri sebetulnya termasuk salah seorang yg tidak rela beliau ‘mengundurkan diri’ dg tidak mau mencalonkan diri lagi jadi rektor. Masih banyak yg harus dibenahi di Unesa dan setiap pergantian biasanya selalu diawali dengan dinamika yg kadang tidak selalu positip. Selalu ada tarik-ulur, negosiasi, tawar menawar, dan bahkan konflik yg menghambat kemajuan. Tapi setelah membaca buku ini saya jadi sadar bahwa penilaian saya tentulah tidak ada dasarnya dibandingkan dengan apa yg diyakini oleh Mas Muchlas. He surely knows very well what he was doing.
Ini buku yg luar biasa karena ditulis menjadi semacam ‘pertanggungjawaban moral’ dari seorang mantan rektor mengapa ia bersikap begini dan begitu dan mengapa ia melakukan ini dan itu selama kepemimpinannya. Dengan demikian setiap orang yg ingin menjadi pemimpin sebuah perguruan tinggi besar macam Unesa dapat belajar bagaimana melakukannya dengan mulus.
Saya sangat menikmati buku ini dan belajar banyak dari Mas Muchlas dalam soal kerendahhatian dan sikapnya dalam melihat jabatan. Saya menjadi semakin kagum pada beliau dan berharap bisa belajar lebih banyak dari beliau setelah lengser nanti. Ada lebih banyak waktu bagi beliau utk berkarya di luar Unesa dan saya berharap bisa ikut dalam salah satu perannya tersebut nantinya. Semoga!
Surabaya, 29 Agustur 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com