Bahasa Inggris telah menjadi mitos. Kita percaya bahwa menguasai bahasa Inggris adalah suatu keharusan bagi bangsa. Menguasai bahasa Inggris dianggap sebagai suatu keharusan yang akan dapat membuat sebuah bangsa akan mampu maju dan berkembang di era kesejagatan yang kita sebut era globalisasi itu. Pokoknya kalau tidak bisa bahasa Inggris dianggap kurang gaul dan tidak akan mampu berpretasi dalam karirnya. Akibatnya, hampir semua pemimpin daerah memaksa aparat-aparatnya untuk kursus bahasa Inggris. Maka maraklah kursus bahasa Inggris bagi pegawai pemda di hampir semua daerah.
Tapi apa yang terjadi? Setelah belajar bahasa Inggris dan kursus ke berbagai lembaga yang paling top dengan biaya yang paling mahalpun ternyata tidak mampu mendongkrak kemampuan berbahasa Inggris para aparat yang rata-rata memang kemampuan bahasa Inggrisnya payah. Apakah dengan itu berarti para aparat tersebut kinerjanya buruk dan tidak punya masa depan? Tidak. Itu hanya mitos.
Masalah penggunaan bahasa (dan budaya) asing (bahasa Inggris) sebenarnya telah menjadi perdebatan panjang sejak jaman Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 60-an. Kita terombang-ambing antara mengadopsinya menjadi bahasa kedua atau tetap menjadikannya sebagai bahasa asing. Perlakuan atara keduanya tentu berbeda dan dampaknya juga tentu berbeda. Sebagai contoh, beberapa negara tetap mempertahankan bahasa nasionalnya dan bertekad untuk tidak mempopulerkan penggunaan bahasa Inggris. Negara-negara tersebut adalah Jepang, Prancis, Jerman, Italia, dll. Kalau Anda berkunjung kesana jangan harap Anda akan mendapat jawaban jika bertanya dalam bahasa Inggris. Mereka sangat bangga dengan bahasa nasional mereka dan mereka menuntut agar setiap orang yang datang ke negara mereka menggunakan bahasa nasional mereka.
Beberapa negara lain, sebaliknya, beranggapan bahwa hanya dengan menguasai bahasa Inggris secara penuh dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kemajuan bangsa akan diperoleh. Mereka mempopulerkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, seperti India, Singapura, Malaysia, sebagian Kanada, Philipina, dan bahkan menjadikannya sebagai bahasa nasional karena faktor sejarah seperti Australia, New Zealand, dan Amerika. Di negara-negara tersebut Anda dapat dengan mudah menggunakan bahasa Inggris karena bahasa tersebut dipergunakan secara meluas dalam kehidupan sehari-hari.
Malaysia sendiri yang semula ingin mempertahankan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan tidak menggalakkan penggunaan bahasa Inggris kini mulai banting setir setelah melihat bahwa bahasa Melayu is going nowhere karena bangsa penggunanya tidak memiliki pengaruh di dunia internasional dan semakin kecil pengaruhnya. Sebaliknya, bahasa Inggris semakin menampakkan pengaruh kuatnya dalam era kesejagatan ini. Mereka kini mulai mengambil sikap tegas untuk mempopulerkan bahasa Inggris di kelas-kelas mereka sejak sekolah dasar. Di negara tersebut buku-buku Harry Potter tidak diterjemahkan dan jika ingin membacanya silakan baca dalam bahasa aslinya.
Bagaimana dengan bangsa kita? Apakah kita telah mengambil keputusan sejak perdebatan panjang pada jaman Sutan Takdir Alisyahbana yang menguras energi kita tersebut? Dengan segala kerendahan hati saya katakan tidak. Kita tidak pernah menyelesaikan perdebatan tersebut dan tidak pernah berani melangkah dari sekedar berdebat dan mulai mengambil keputusan seperti Jepang mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan bahasa mereka bagi pelajar-pelajar mereka dan lebih memilih untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa ibu mereka. Get the content, leave the language behind adalah prinsip mereka. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa menguasai bahasa Inggris pun mereka akan sanggup menjadi bangsa besar. Budaya bangsa tidak akan mereka kompromikan sedikitpun. Suatu sikap yang sangat heroik.
Orang-orang Jepang memang pada akhirnya tidak mahir berbahasa asing (dibandingkan dengan orang-orang kita, misalnya) tapi mereka tetap memperoleh ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat dengan cara menterjemahkannya. Hampir tidak ada buku-buku penting yang tidak mereka terjemahkan dan terbitkan daam bahasa jepang. Disini berlaku pepatah Siapa melangkah lebih jauh melihat lebih banyak. Bangsa Jepang tetap unggul dan maju meski mereka tidak fasih berbahasa Inggris. Sangat jarang ada orang Jepang yang fasih berbahasa Inggris. Jauh lebih mudah mencari orang yang mengerti bahasa Inggris di Indonesia ketimbang di Jepang. Jepang juga tidak mau repot-repot untuk menginggriskan petunjuk-petunjuk jalan umum mereka. Kalau tidak bisa membaca huruf dan berbahasa Jepang, silakan tersesat!
Sayang sekali karena perdebatan tersebut tidak ditutup dengan suatu kebulatan tekad untuk mengambil sikap akhirnya kita mencari kesimpulan di luar arena diskusi dan berusaha sendiri-sendiri untuk mencari jawaban. Akhirnya tidak terjadi usaha untuk menjawab masalah secara nasional melainkan secara individu. Artinya tidak ada kesepakatan secara nasional dan kita diminta untuk menjawab sendiri kemana kita menuju. Apa dampaknya? Akhirnya permasalahan besar ini tidak pernah ditangani secara nasional dan orang berjuang sendiri-sendiri untuk memecahkannya dan sering terjerumus pada mitos-mitos.
Perlu dipahami bahwa untuk menguasai ketrampilan berbahasa Inggris seperti yang kita idam-idamkan umpamanya : dapat menggunakannya secara fasih dengan orang asing, bisa membaca buku-buku berbahasa Inggris, dapat mendengarkan percakapan berbahasa Inggris di radio dan televisi, membutuhkan proses yang sangat panjang dan rumit. Kalau ada kursus yang berani menjamin Anda akan dapat melakukan itu hanya dalam bilangan bulan, percayalah itu cuma iklan jualan kecap. Kalau tidak percaya tanyalah kepada semua orang yang pernah ikut kursus tersebut apakah mereka telah mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif sesuai dengan promosinya. Tidak ada cara ajaib untuk bisa menguasai bahasa asing.
Jadi bagaimana? Tidak banyak gunanya bagi para aparat kepemerintahan untuk ikut kursus bahasa Inggris dengan tujuan seperti di atas. Pertama, ketrampilan berbahasa Inggris yang mereka butuhkan akan memakan waktu, biaya dan energi yang sangat besar yang mungkin akan lebih bermanfaat jika mereka gunakan untuk mempelajari bidang pekerjaan masing-masing. Kalau ingin menguasai bahasa asing dengan baik mulailah sejak kanak-kanak dan gunakan metode yang benar. Jika sudah tua akan sulit untuk menguasainya. Kedua, tanpa bisa berbahasa Inggris pun kita akan dapat berprestasi dan meningkatkan kinerja dengan baik. Banyak sekali contoh orang-orang hebat dan berprestasi tinggi yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris. Bangsa Jepang, Prancis, Jerman, Italia, dll telah membuktikannya. Jika kita membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris karena banyaknya tamu-tamu asing dan karena kita butuh berkomunikasi dengan dunia internasional kita dapat menyewa penerjemah yang hebat. Itu jauh lebih simpel dan murah. Tak perlu kita malu kalau tidak bisa berbahasa Inggris. Bangsa-bangsa besar lainnya juga tidak. Kita perlu Malu kalau tidak menguasai bidang pekerjaan kita dan tidak mampu mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia. Soal bahasa Inggrisnya serahkan pada ahlinya. Mereka belajar untuk itu.
Satria Dharma
Penggiat Pendidikan
Terlepas dari apakah bahasa inggris merupakan bahasa asing (kebudayaan asing) dan apakah kita harus mengadopsinya atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa platform globalisasi dan tujuan ekopol global tidak harus dikesampingkan dalam menelaah masalah ini. kuatnya mainstream global khususnya USA dan negara-negara eropa barat dengan tujuan-tujuan akumulasi modal dan penguasaan SDA terhadap negara-negara dunia ke-tiga termasuk Indonesia adalah salah satu kunci mengapa pemerintah melalui Depdiknas harus memprogramkan pendidikan bahasa inggris. kita semua baik pemerintah terlalu naif. apakah dengan terkooptasinya kita (indonesia) akibat telikungan perusahaan2 MNC tidak membuat kita jera? iming-iming pertumbuhan lewat investasi lintas negara tidak pernah menyentuh akar kemiskinan, bahkan kita perhadapkan lagi dengan provokasi media dan iklan tentang fantasi globalisasi dan spanduk-spanduknya yang konyol. mulai dari fast food, life style, dst. yang sarat dengan dominasi ekonomi bahkan budaya.
Kawula dereng gadhah komentar babagan menika, Mas Satria Dharma! Menawi sampun gadhah gagasan, kamula badhe nyaosi panjenengan! Matur nuwun saderengipun!
gusbud urun rembug
Nice to meet you mr. satria. I miss you .
Sudah sepatutnya sekolah-sekolah unggulan di kota seperti BPP, Smd, Bontang, menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran walaupun tidak seratus persen. Hal ini akan memberikan motivasi dan tantangan bagi guru non bahasa inggris dan siswa harus belajar bahasa ingris. Kami di SMP Vidatra akan menuju kesana. But, How to begin? Do you have any suggestion? Dalam rangka hardiknas kemarin kami mengadakan story telling contest smp se bontang tetapi sekolah dari luar belum menunjukkan respon yang cukup.
Sorry, I think that’s all
ikut urun rembug ya…
saya kuliah di jurusan FKIP Bahasa Inggris.dengan dosen yang notabene semua lulusan luar negeri.perlahan2 saya rasakan,kebudayaan berbahasa jawa kami makin luntur.seakan2 mau punah saja.orang jawa hilang jawanya…sangat memprihatinkan sebenarnya…
bukannya saya mengambinghitamkan bahasa inggris,tentu saja tidak.tapi hendaknya,pem-blow up-an penggunaan bahasa inggris di bidang akademik misalnya,hendaknya dibarengi dengan usaha pelestarian budaya sendiri.
mungkin seperti itu dari saya,silakan kunjungi blog saya: http://www.diansemangat.blogspot.com
Mas kasih tau donk alamat kursus yang bagus di selangor malaysia?. saya mhs, bhs inggris saya belum bagus.
makasih ya mas?. saya tunggu loh balasan nya?
wassalam
Yth. Pak Satria,
Saya kagum sekali dg ide2 yg Bapak sharing-kan kepada semua warga negara indonesia…
sehingga kami yg jd prajurit perang mrs sll dikuatkan dan disegarkan…
sungguh..rasnya tdk rela jk negeri sekaya indonesia ini harus hancurlebur krn kebijakan2 yg dangkal….
oh ya…
selain itu saya jg mau minta tolong BApak atu teman2 utk membantu saya mendapatkan data statistik kesuksesan pembelajaran bhs inggris di tingkat sekolah menengah (pertama dan atas)…
terimakasih sebelumnya…
ini utk riset studi saya di negeri sakura….
Komentar AWESOMEDONG:
Tulisan yang sangat bagus dari Satria Dharma karena membangunkan kita
kepada sikap ambigu dan ambivalen bangsa Indonesia selama ini terhadap
bahasa asing (khususnya Inggris) dan bahasa Indonesia. Berkaitan
dengan topik yang diangkat di atas, ada beberapa hal yang ingin saya
singgung.
Pertama, memang benar bahwa ada kecenderungan pemakaian bahasa Inggris
di kalangan masyarakat tertentu sarat dengan motivasi untuk pamer
diri, supaya terlihat “keren.” Namun demikian, harus diakui bahwa
fakta *keterbatasan kosa kata* bahasa Indonesia juga mendorong orang
untuk merasa lebih nyaman memakai bahasa Inggris.
Masalah keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia bisa dilihat,
misalnya, dari belum pernah adanya *thesaurus* bahasa Indonesia
sebagaimana berbagai versi (Roget’s, Merriam Webster’s, dll) yang
telah berhasil dipublikasikan oleh negara-negara berbahasa-utama-
Inggris (khususnya Britania Raya dan AS).
Belum lagi kalau kita bicara soal dunia perkamusan bahasa Indonesia.
Berbagai kamus Inggris-Inggris ternama oleh Oxford, Merriam Webster,
dll, telah berhasil mengeluarkan berbagai macam kamus dan edisi
revisinya dari waktu ke waktu dengan mengikuti dinamika perkembangan
bahasa, mulai dari ukuran kompak (saku) sampai dengan edisi unabridged
(atau multi-volume).
Bagaimana dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)? Tidak banyak
perubahan yang bisa ditemukan dalam edisi lama ke edisi berikutnya
([ter-]baru). Tidak cuma itu saja, tingkat keseriusan dan energi yang
tertuang dalam penyusunan KBBI tidak bisa dibandingkan dengan hal yang
sama dalam penyusunan kamus-kamus tebal seperti Oxford atau Merriam
Webster. Miskinnya informasi etimologis tiap entri (kata) dan contoh-
contoh kalimat untuk memperjelaskan penggunaan kata menjadi salah satu
tolok ukur rendahnya keseriusan dan tingkat kesarjanaan KBBI bila
dibandingkan dengan kedua kamus asing di atas.
Ini padahal adalah KBBI, yang notabene adalah kamus “resmi” dan
otoritatifnya bangsa Indonesia dan yang boleh dibilang representatif
akan bobot kesarjanaan ahli-ahli bahasa top kita. Kita tidak usah
bicara kamus-kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, edisi kertas
koran yang banyak diterbitkan oleh penerbit kelas gurem, di mana klaim-
klaim jumlah kata yang dimuatnya bisa membuat orang yang mengerti bisa
tertawa terpingkal-pingkal (mis. “Kamus Inggris-Indonesia *150 Juta* Kata”).
Di satu sisi, terbitnya kamus-kamus kelas ecek-ecek ini membawa berkah
bagi lapisan masyarakat kelas bawah karena harganya yang murah–ya
gimana gak murah lah, wong bikinnya saja asal-asalan! Namun, di sisi
lain, kehadiran kamus-kamus ini juga menimbulkan *penyesatan ilmu
pengetahuan* dengan berbagai kesalahannya (mulai dari kesalahan cetak
s/d kesalahan definisi kata) dan juga sekaligus menenggelamkan kaliber
kesarjanaan bahasa secara kolektif di Indonesia.
Kedua, penyikapan yang ambigu terhadap bahasa asing (Inggris) bisa
menghasilkan penguasaan yang setengah-setengah. Dan jika begitu banyak
waktu yang dituangkan untuk mempelajari suatu bahasa asing sementara
pemakaiannya minim dalam kehidupan sehari-hari, maka memang benar
untuk apa buang-buang waktu dan energi mempelajari bahasa asing.
Kenapa tidak meniru bangsa Jepang saja yang bisa bangkit dan maju
dengan tetap bersikap tegar dan bangga terhadap pemakaian bahasa ibu
sendiri? Argumen dengan memakai contoh Jepang ini menjadi atraktif
apabila ditopang oleh asumsi bahwa kekayaan bahasa Indonesia (dari
segi kosa kata, gramatika, dll) adalah sedemikian rupa sehingga bisa
menyaingi bahasa Inggris, misalnya. Akan tetapi, kenyataannya ialah
bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang miskin–setidaknya tidak ada
usaha serius ke arah *pengayaan* bahasa Indonesia, baik oleh para
pakar bahasa maupun masyarakat umum. Belum lagi ditambah dengan
kehadiran indoktrinasi–“mitos”–yang gencar didengungkan bahwa tanpa
penguasaan bahasa asing di era globalisasi ini seseorang tidak akan
bisa sukses. Jadi, lengkap sudah keterpurukan bahasa Indonesia dalam
bersaing dengan bahasa Inggris.
Ada lagi fenomena di masyarakat Indonesia, di mana iklim kondusif bagi
kebanggaan dan keseriusan dalam memiliki serta menguasai bahasa
Indonesia semakin tergerus. Saya bicara fenomena menjamurnya sekolah-
sekolah nasional plus yang lebih mengedepankan fitur pembelajaran dan
komunikasi menggunakan bahasa asing (terutama Inggris dan Mandarin).
Anak kecil sejak usia playgroup dan TK sudah dicekoki dengan bahasa
asing. Secara pedagogis pembelajaran bahasa asing sejak usia dini
mungkin tepat sasaran. Yang jadi masalah, trend ini turut membantu
semakin terpinggirkannya eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional.
Saya pribadi tidak pernah silau atau terkesima dengan program
pembelajaran bahasa asing di usia dini yang ditampilkan sebagai satu
fitur utama sekolah-sekolah plus ini. Ada kecenderungan untuk melihat
penguasaan bahasa (asing) sebagai *tujuan akhir* (ultimat) dari proses
edukasi dan pembelajaran seseorang. Padahal, bagi saya, bahasa tidak
lebih dari sekedar *alat* (sarana) untuk mencapai tujuan yang lebih
besar. Apa tujuan yang lebih besar itu? Apalagi kalau bukan *ide* yang
terbungkus dalam bahasa tsb. Jadi, kalaupun seseorang berusaha mati-
matian untuk menguasai suatu bahasa asing, maka seyogianya usaha keras
tsb dilakukan bukan untuk sekedar menguasai bahasa asing tsb *sebagai
tujuan akhir* melainkan untuk memuaskan keingintahuan dan perburuannya
terhadap *the universe of ideas* yang terbungkus dan tersembunyi dalam
(setiap) bahasa asing yang hendak dikuasainya.
Oleh sebab itu pula, mungkin kita pernah menjumpai orang, khususnya
penghobi dalam bidang bahasa (guru atau ahli bahasa [asing], misalnya)
yang level intelektualnya terkesan “begitu-begitu” saja meskipun (a)
usia sudah cukup uzur (veteran) dan (b) sudah berpuluh-puluh tahun
bergelut dalam penguasaan dan pengajaran bahasa. Kenapa wawasan
intelektualnya tidak pernah beranjak atau berubah secara dinamis dan
signifikan? Ini semua karena pendekatan–keasyikan, obsesi, linguistic
hair-splitting–terhadap bahasa dengan segala pernak-perniknya
(gramatika, fonetika, dll) sebagai tujuan akhir, tanpa pernah tertarik
untuk mendalami ide-ide (besar) di balik bahasa yang dipelajari dan
ditelitinya dari sejak usia muda.
Akhir kata, saya sependapat dengan apa yang Satria Dharma ungkapkan
sebagai pendekatan bangsa Jepang terhadap invasi bahasa asing–
i.e. “pentingkan ide di balik bahasa asing tsb dan tanggal-/tinggalkan
kulitnya (bahasanya)”–tetapi ini semua harus ditopang oleh kekayaan
repertoar bahasa ibu (nasional) yang memadai. Tanpa kekayaan ini–dan
usaha ke arah itu–jangan harap bahasa Indonesia bisa bertahan di
tengah badai serbuan budaya dan bahasa asing. Pengayaan bahasa
Indonesia harus dilakukan secara terus-menerus lewat adopsi dan
asimilasi dengan kata-kata asing/daerah, misalnya, sama seperti yang
selama ini dialami oleh bahasa Inggris sehingga kosa katanya menjadi
begitu amat kaya karena kontribusi dari berbagai unsur asing/daerah
tadi. Tidak perlu ada dikotomi antara serapan “asli” (yang juga
meliputi unsur-unsur daerah) vs “asing” (i.e. dari luar Indonesia), di
mana yang berbau asing harus selalu ditolak. Sikap
provinsialis/sektarian seperti ini merupakan manifestasi nasionalisme
yang sempit, salah-kaprah, dan tidak bisa dipertahankan di jaman
modern sekarang.
Longdong