April 19, 2024

0 thoughts on “BAHASA INGGRIS DAN MITOS

  1. Terlepas dari apakah bahasa inggris merupakan bahasa asing (kebudayaan asing) dan apakah kita harus mengadopsinya atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa platform globalisasi dan tujuan ekopol global tidak harus dikesampingkan dalam menelaah masalah ini. kuatnya mainstream global khususnya USA dan negara-negara eropa barat dengan tujuan-tujuan akumulasi modal dan penguasaan SDA terhadap negara-negara dunia ke-tiga termasuk Indonesia adalah salah satu kunci mengapa pemerintah melalui Depdiknas harus memprogramkan pendidikan bahasa inggris. kita semua baik pemerintah terlalu naif. apakah dengan terkooptasinya kita (indonesia) akibat telikungan perusahaan2 MNC tidak membuat kita jera? iming-iming pertumbuhan lewat investasi lintas negara tidak pernah menyentuh akar kemiskinan, bahkan kita perhadapkan lagi dengan provokasi media dan iklan tentang fantasi globalisasi dan spanduk-spanduknya yang konyol. mulai dari fast food, life style, dst. yang sarat dengan dominasi ekonomi bahkan budaya.

  2. Kawula dereng gadhah komentar babagan menika, Mas Satria Dharma! Menawi sampun gadhah gagasan, kamula badhe nyaosi panjenengan! Matur nuwun saderengipun!

  3. gusbud urun rembug

    Nice to meet you mr. satria. I miss you .
    Sudah sepatutnya sekolah-sekolah unggulan di kota seperti BPP, Smd, Bontang, menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran walaupun tidak seratus persen. Hal ini akan memberikan motivasi dan tantangan bagi guru non bahasa inggris dan siswa harus belajar bahasa ingris. Kami di SMP Vidatra akan menuju kesana. But, How to begin? Do you have any suggestion? Dalam rangka hardiknas kemarin kami mengadakan story telling contest smp se bontang tetapi sekolah dari luar belum menunjukkan respon yang cukup.

    Sorry, I think that’s all

  4. ikut urun rembug ya…

    saya kuliah di jurusan FKIP Bahasa Inggris.dengan dosen yang notabene semua lulusan luar negeri.perlahan2 saya rasakan,kebudayaan berbahasa jawa kami makin luntur.seakan2 mau punah saja.orang jawa hilang jawanya…sangat memprihatinkan sebenarnya…
    bukannya saya mengambinghitamkan bahasa inggris,tentu saja tidak.tapi hendaknya,pem-blow up-an penggunaan bahasa inggris di bidang akademik misalnya,hendaknya dibarengi dengan usaha pelestarian budaya sendiri.
    mungkin seperti itu dari saya,silakan kunjungi blog saya: http://www.diansemangat.blogspot.com

  5. Mas kasih tau donk alamat kursus yang bagus di selangor malaysia?. saya mhs, bhs inggris saya belum bagus.

    makasih ya mas?. saya tunggu loh balasan nya?

    wassalam

  6. Yth. Pak Satria,

    Saya kagum sekali dg ide2 yg Bapak sharing-kan kepada semua warga negara indonesia…
    sehingga kami yg jd prajurit perang mrs sll dikuatkan dan disegarkan…
    sungguh..rasnya tdk rela jk negeri sekaya indonesia ini harus hancurlebur krn kebijakan2 yg dangkal….

    oh ya…
    selain itu saya jg mau minta tolong BApak atu teman2 utk membantu saya mendapatkan data statistik kesuksesan pembelajaran bhs inggris di tingkat sekolah menengah (pertama dan atas)…
    terimakasih sebelumnya…
    ini utk riset studi saya di negeri sakura….

  7. Komentar AWESOMEDONG:

    Tulisan yang sangat bagus dari Satria Dharma karena membangunkan kita
    kepada sikap ambigu dan ambivalen bangsa Indonesia selama ini terhadap
    bahasa asing (khususnya Inggris) dan bahasa Indonesia. Berkaitan
    dengan topik yang diangkat di atas, ada beberapa hal yang ingin saya
    singgung.

    Pertama, memang benar bahwa ada kecenderungan pemakaian bahasa Inggris
    di kalangan masyarakat tertentu sarat dengan motivasi untuk pamer
    diri, supaya terlihat “keren.” Namun demikian, harus diakui bahwa
    fakta *keterbatasan kosa kata* bahasa Indonesia juga mendorong orang
    untuk merasa lebih nyaman memakai bahasa Inggris.

    Masalah keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia bisa dilihat,
    misalnya, dari belum pernah adanya *thesaurus* bahasa Indonesia
    sebagaimana berbagai versi (Roget’s, Merriam Webster’s, dll) yang
    telah berhasil dipublikasikan oleh negara-negara berbahasa-utama-
    Inggris (khususnya Britania Raya dan AS).

    Belum lagi kalau kita bicara soal dunia perkamusan bahasa Indonesia.

    Berbagai kamus Inggris-Inggris ternama oleh Oxford, Merriam Webster,
    dll, telah berhasil mengeluarkan berbagai macam kamus dan edisi
    revisinya dari waktu ke waktu dengan mengikuti dinamika perkembangan
    bahasa, mulai dari ukuran kompak (saku) sampai dengan edisi unabridged
    (atau multi-volume).

    Bagaimana dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)? Tidak banyak
    perubahan yang bisa ditemukan dalam edisi lama ke edisi berikutnya
    ([ter-]baru). Tidak cuma itu saja, tingkat keseriusan dan energi yang
    tertuang dalam penyusunan KBBI tidak bisa dibandingkan dengan hal yang
    sama dalam penyusunan kamus-kamus tebal seperti Oxford atau Merriam
    Webster. Miskinnya informasi etimologis tiap entri (kata) dan contoh-
    contoh kalimat untuk memperjelaskan penggunaan kata menjadi salah satu
    tolok ukur rendahnya keseriusan dan tingkat kesarjanaan KBBI bila
    dibandingkan dengan kedua kamus asing di atas.

    Ini padahal adalah KBBI, yang notabene adalah kamus “resmi” dan
    otoritatifnya bangsa Indonesia dan yang boleh dibilang representatif
    akan bobot kesarjanaan ahli-ahli bahasa top kita. Kita tidak usah
    bicara kamus-kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, edisi kertas
    koran yang banyak diterbitkan oleh penerbit kelas gurem, di mana klaim-
    klaim jumlah kata yang dimuatnya bisa membuat orang yang mengerti bisa
    tertawa terpingkal-pingkal (mis. “Kamus Inggris-Indonesia *150 Juta* Kata”).

    Di satu sisi, terbitnya kamus-kamus kelas ecek-ecek ini membawa berkah
    bagi lapisan masyarakat kelas bawah karena harganya yang murah–ya
    gimana gak murah lah, wong bikinnya saja asal-asalan! Namun, di sisi
    lain, kehadiran kamus-kamus ini juga menimbulkan *penyesatan ilmu
    pengetahuan* dengan berbagai kesalahannya (mulai dari kesalahan cetak
    s/d kesalahan definisi kata) dan juga sekaligus menenggelamkan kaliber
    kesarjanaan bahasa secara kolektif di Indonesia.

    Kedua, penyikapan yang ambigu terhadap bahasa asing (Inggris) bisa
    menghasilkan penguasaan yang setengah-setengah. Dan jika begitu banyak
    waktu yang dituangkan untuk mempelajari suatu bahasa asing sementara
    pemakaiannya minim dalam kehidupan sehari-hari, maka memang benar
    untuk apa buang-buang waktu dan energi mempelajari bahasa asing.

    Kenapa tidak meniru bangsa Jepang saja yang bisa bangkit dan maju
    dengan tetap bersikap tegar dan bangga terhadap pemakaian bahasa ibu
    sendiri? Argumen dengan memakai contoh Jepang ini menjadi atraktif
    apabila ditopang oleh asumsi bahwa kekayaan bahasa Indonesia (dari
    segi kosa kata, gramatika, dll) adalah sedemikian rupa sehingga bisa
    menyaingi bahasa Inggris, misalnya. Akan tetapi, kenyataannya ialah
    bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang miskin–setidaknya tidak ada
    usaha serius ke arah *pengayaan* bahasa Indonesia, baik oleh para
    pakar bahasa maupun masyarakat umum. Belum lagi ditambah dengan
    kehadiran indoktrinasi–“mitos”–yang gencar didengungkan bahwa tanpa
    penguasaan bahasa asing di era globalisasi ini seseorang tidak akan
    bisa sukses. Jadi, lengkap sudah keterpurukan bahasa Indonesia dalam
    bersaing dengan bahasa Inggris.

    Ada lagi fenomena di masyarakat Indonesia, di mana iklim kondusif bagi
    kebanggaan dan keseriusan dalam memiliki serta menguasai bahasa
    Indonesia semakin tergerus. Saya bicara fenomena menjamurnya sekolah-
    sekolah nasional plus yang lebih mengedepankan fitur pembelajaran dan
    komunikasi menggunakan bahasa asing (terutama Inggris dan Mandarin).

    Anak kecil sejak usia playgroup dan TK sudah dicekoki dengan bahasa
    asing. Secara pedagogis pembelajaran bahasa asing sejak usia dini
    mungkin tepat sasaran. Yang jadi masalah, trend ini turut membantu
    semakin terpinggirkannya eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa
    nasional.

    Saya pribadi tidak pernah silau atau terkesima dengan program
    pembelajaran bahasa asing di usia dini yang ditampilkan sebagai satu
    fitur utama sekolah-sekolah plus ini. Ada kecenderungan untuk melihat
    penguasaan bahasa (asing) sebagai *tujuan akhir* (ultimat) dari proses
    edukasi dan pembelajaran seseorang. Padahal, bagi saya, bahasa tidak

    lebih dari sekedar *alat* (sarana) untuk mencapai tujuan yang lebih
    besar. Apa tujuan yang lebih besar itu? Apalagi kalau bukan *ide* yang
    terbungkus dalam bahasa tsb. Jadi, kalaupun seseorang berusaha mati-
    matian untuk menguasai suatu bahasa asing, maka seyogianya usaha keras
    tsb dilakukan bukan untuk sekedar menguasai bahasa asing tsb *sebagai
    tujuan akhir* melainkan untuk memuaskan keingintahuan dan perburuannya
    terhadap *the universe of ideas* yang terbungkus dan tersembunyi dalam
    (setiap) bahasa asing yang hendak dikuasainya.

    Oleh sebab itu pula, mungkin kita pernah menjumpai orang, khususnya
    penghobi dalam bidang bahasa (guru atau ahli bahasa [asing], misalnya)
    yang level intelektualnya terkesan “begitu-begitu” saja meskipun (a)
    usia sudah cukup uzur (veteran) dan (b) sudah berpuluh-puluh tahun
    bergelut dalam penguasaan dan pengajaran bahasa. Kenapa wawasan
    intelektualnya tidak pernah beranjak atau berubah secara dinamis dan
    signifikan? Ini semua karena pendekatan–keasyikan, obsesi, linguistic
    hair-splitting–terhadap bahasa dengan segala pernak-perniknya
    (gramatika, fonetika, dll) sebagai tujuan akhir, tanpa pernah tertarik
    untuk mendalami ide-ide (besar) di balik bahasa yang dipelajari dan
    ditelitinya dari sejak usia muda.

    Akhir kata, saya sependapat dengan apa yang Satria Dharma ungkapkan
    sebagai pendekatan bangsa Jepang terhadap invasi bahasa asing–
    i.e. “pentingkan ide di balik bahasa asing tsb dan tanggal-/tinggalkan
    kulitnya (bahasanya)”–tetapi ini semua harus ditopang oleh kekayaan
    repertoar bahasa ibu (nasional) yang memadai. Tanpa kekayaan ini–dan
    usaha ke arah itu–jangan harap bahasa Indonesia bisa bertahan di
    tengah badai serbuan budaya dan bahasa asing. Pengayaan bahasa
    Indonesia harus dilakukan secara terus-menerus lewat adopsi dan
    asimilasi dengan kata-kata asing/daerah, misalnya, sama seperti yang
    selama ini dialami oleh bahasa Inggris sehingga kosa katanya menjadi
    begitu amat kaya karena kontribusi dari berbagai unsur asing/daerah
    tadi. Tidak perlu ada dikotomi antara serapan “asli” (yang juga
    meliputi unsur-unsur daerah) vs “asing” (i.e. dari luar Indonesia), di
    mana yang berbau asing harus selalu ditolak. Sikap
    provinsialis/sektarian seperti ini merupakan manifestasi nasionalisme
    yang sempit, salah-kaprah, dan tidak bisa dipertahankan di jaman
    modern sekarang.

    Longdong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *