Anak : Harga tiket kereta api Surabaya – Jakarta dulu berapa, Pak?
Bapak : Gratis…!
Anak : Gratis…?!
Bapak : Errr… maksudnya Bapak gak pernah bayar.
Anak : Haah…! Kok bisa…? Emang Bapak punya saham di PT Kereta Api?
Perjalanan dengan kereta api saat ini sungguh menyenangkan. Ini benar-benar seperti yang pernah saya impi-impikan pada jaman dulu Sekarang kalau mau pergi ke Madiun, desa kelahiran istri saya, maka kereta api adalah pilihan utama. Saya bahkan tidak pernah lagi bawa mobil sendiri, apalagi naik bis. Hanya kalau benar-benar terpaksa saya baru mau naik mobil sendiri.
Semua trayek dan kelas perjalanan naik kereta api sekarang nyaman. . Tidak ada penjual yang keluar masuk, semua duduk di kursi yang nyaman, dan ada AC-nya. Yang lebih hebat lagi adalah adanya colokan listrik untuk ngecas HP. Itu bahkan tidak pernah saya bayangkan. Tentu saja masih ada kelas ekonomi sangat murah. Duduknya bertiga, kursinya berhadap-hadapan, dan kita harus adu lutut dengan penumpang di depan kita. Tapi, bagaimana pun, kondisinya jauh lebih nyaman dibandingkan dulu. Jaman dulu boro-boro AC, kipas angin saja tidak, ada dan padatnya masya Allah. Jika Anda tidak punya jiwa kaypang karung tiga saya berani taruhan Anda akan membatalkan perjalanan.
Dulu perjalanan kereta api dari Surabaya ke Jakarta ada beberapa kelas. Kalau Anda punya duit dan mau yang nyaman maka naiklah Argo Bromo (naik pesawat pada jaman dulu is unthinkable kagak kebayang deh. Untunglah sekarang kita sudah masuk pada era ‘Now Everybody Can Fly’nya AirAsia). Tapi jika Anda hanya punya uang kadang-kadang, apalagi seperti saya yang untuk berangkat ke sekolah saja mesti numpang teman (Thanks, Imron!), naik kereta Gaya Baru adalah pilihan paling tepat. Kalau naik Gaya Baru saya bisa gratis. Apakah saya punya saham di PJKA (dulu namanya PJKA)…?! Tentu saja tidak. Tapi ‘wong mbambet’ alias orang miskin selalu punya cara untuk mengatasi masalah-masalah sepele semacam ini.
Dulu semua orang bisa naik kereta api meski pun tidak punya karcis sehingga KA Gaya Baru (yang tampaknya memang disediakan bagi warga miskin dan sangat miskin yang sangat banyak itu) selalu sangat berjubel. Orang bahkan duduk dan tidur di lantai sehingga sangat sulit untuk berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain. Hanya kondektur dan polsuska yang mau melakukan hal tersebut. Itu pun dengan susah payah. Tentu saja karena itu tugasnya.
Suatu ketika saya naik KA ini yang bahkan untuk masuk ke gerbong saja susah. Orang berebut masuk dengan mengerahkan segala kekuatan tubuhnya mendorong orang-orang di dalam yang juga sudah tidak bisa lagi masuk lebih dalam. Meski yang di dalam sudah menjerit-jerit penumpang yang belum masuk tidak peduli. Mereka bersikeras harus ikut naik kereta, termasuk saya. Bahkan anak-anak dimasukkan lewat jendela agar bisa masuk. Untuk masuk KA saja sudah sebuah perjuangan yang luar biasa apalagi sepanjang perjalanan selama belasan jam.
Akhirnya saya hanya bisa berdiri berhimpitan dengan penumpang lain di depan pintu masuk. Begitu sesaknya sehingga kita bisa tertidur sambil berdiri karena disangga oleh penumpang lain dari muka-belakang kanan dan kiri. Jangan ditanya bagaimana panasnya berada di KA yang begitu sesak itu. Kita bisa dehidrasi kalau tidak bawa air minum.
Ada beberapa cara untuk bisa naik KA Gaya Baru dengan cara murah sampai dengan gratis. Berikut ini caranya.
BAYAR DI ATAS KERETA
Paling mudah dan murah adalah dengan membayar sekedarnya pada kondektur di atas KA. Meski pun resminya semua penumpang harus punya karcis tapi jaman itu suasananya masih seperti ‘Wild Wild West’ alias kacau dan siapa saja boleh masuk ke stasiun dan naik KA. Tentu saja ada pemeriksaan karcis dan penumpang yang tidak punya karcis bisa diturunkan di station berikutnya. Tapi mereka yang sudah tahu situasi akan pakai cara lain kalau mau lebih ngirit. Kita bisa memberi sedikit uang pada kondektur dan itu akan membuat kondekturnya merasa bahagia dan lupa untuk menurunkan kita di stasiun berikutnya. Tentu saja ini jauh lebih murah ketimbang membeli karcis.
SELALU GRATIS
Ada cara agar selalu gratis dan tidak akan pernah ditanyai karcis oleh kondektur, apalagi diturunkan di stasiun berikutnya. Caranya adalah dengan berpakaian seragam ABRI. Jaman dulu anggota ABRI itu semacam warganegara kelas 1 yang selalu didahulukan. Jaman saya masih SD dulu bahkan ada program nonton gratis bagi anggota ABRI di bioskop-bioskop. Jadi ada jam khusus khusus bagi anggota ABRI untuk nonton gratis. Saya bahkan bisa ikut nonton dengan mengaku sebagai anaknya anggota ABRI. Saya tinggal pegang baju seragam seorang anggota ABRI seolah saya ini anaknya dan saya pun lolos masuk gedung bioskop. Kalau urusan gratisan seperti ini saya memang sudah terlatih sejak SD.
NAIK KE ATAP KERETA API
Cara lain yang mudah adalah dengan naik ke atas atap KA. Jaman dulu atap kereta api tampaknya diperuntukkan khusus bagi mereka yang tidak punya uang tapi punya sedikit nyali. Kita bisa naik ke atap KA melalui sambungan antar gerbong yang terbuka dan bisa dinaiki ke atapnya. Kondektur jelas tidak mau repot-repot mengurusi penumpang golongan pariah macam ini dan lebih hepi mengurusi penumpang yang bayar di gerbong. Saya dan teman sering menggunakan cara ini tapi hanya ketika kondektur bekerja. Begitu kondekturnya selesai ya kami turun lagi.
MASUK KE WC
Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah masuk ke WC ketika kondektur lewat dan baru keluar kalau ia berlalu. Tapi cara ini agak beresiko karena biasanya kondektur juga mengetuk pintu WC dan meminta kita keluar dan menanyai tiket kita. Kita tentu saja bisa berbohong bahwa tiket kita ada sama teman di gerbong berikutnya. Tapi saya memang samasekali tidak pandai berbohong sehingga ekspresi saya akan sangat kelihatan. Bahkan saudara-saudara saya hafal sekali kalau saya bicara bohong atau bahkan kalau ngomong tidak serius. Ujung bibir saya selalu bergerak-gerak kata mereka. Mungkin saya merasa seperti Yudistira dalam cerita Pandawa yang tidak bisa berbohong.
PURA-PURA MABUK
Pura-pura mabuk adalah cara yang digunakan oleh beberapa preman yang selalu mencari tempat di depan pintu masuk dan WC KA. Ketika ngobrol dan mereka tahu bahwa saya selalu lari kalau ada kondektur mereka ketawa. Mereka punya cara lain yang lebih sederhana, yaitu pura-pura mabuk. Jadi mereka akan bawa sebotol minuman keras oplosan yang paling murah dan paling keras aroma alkoholnya. Sebelum kondektur lewat mereka akan berkumur-kumur dengan cukrik tersebut. Ketika kondektur lewat mereka akan pura-pura tertidur sambil memegang botol minuman keras tersebut. Ketika ditanya mana karcisnya mereka akan pura-pura mabuk sambil menghembuskan bau napas mereka ke muka kondektur. Kondektur biasanya tidak akan ambil resiko dan lebih baik meneruskan misinya mencari penumpang baik-baik yang mau bayar di atas KA.
Saya tidak pernah menggunakan cara ini karena saya memang anti alkohol meski cuma untuk kumur-kumur. Mending kumur-kumur pakai es degan atau es cendol. Lagipula saya tidak punya tampang preman yang sangar seperti mereka. Sandiwara saya pasti akan gagal karena tampang saya tidak kompatibel dengan perannya. Kalau peran percintaan atau anak soleh insya Allah tampang saya masih cocok. 🙂
CARA CERDAS ALA SATRIA
Suatu ketika saya sudah tidak tahan lari-lari dan naik ke atas atap kalau ada kondektur. Kami selalu berjaga-jaga kapan akan ada kondektur bertugas memeriksa tiket. Biasanya kami gantian supaya yang lain bisa tidur. Saya akan selalu mematuhi jam jaga saya dan ketika saya melihat kondektur dan polsuska masuk saya akan membangunkan teman-teman agar bersiap untuk naik ke atap atau ke WC. Tapi seringkali teman-teman tidak mematuhi jam kerja yang sudah kami sepakati sehingga mereka juga ikut tidur pada waktu kondektur bertugas. Alhasil kami gelagapan ketika dibangunkan oleh kondektur. Kepergok seperti itu like a nightmare rasanya. Bayangkan jika tiba-tiba kita dibangunkan oleh kondektur padahal kita tidak punya karcis…!
Oleh sebab itu saya mencari cara agar bisa pulang ke Surabaya naik KA tanpa membayar tapi hati tenang. Sulit kan…!
But not for me…! Remember that I’m a smart person whenever needed… 🙂
Suatu ketika saya dapat ide untuk datang ke Kepala Stasiun. Saya minta ijin untuk bicara dengan kepala stasiun. Saya lalu bikin cerita dan sampaikan pada beliau. Saya adalah orang Surabaya yang datang ke Jakarta karena ada keluarga yang meninggal (ada banyak orang Jakarta yang meninggal setiap hari tentunya dan salah satunya mungkin masih ada hubungan famili dengan saya entah dari keturunan yang mana. I can imagine this in my head). Setiba di Jakarta kami kehabisan bekal dan tidak bisa kembali ke Surabaya (kami memang selalu kehabisan bekal jadi ini bagian yang mudah untuk memerankannya). Oleh sebab itu saya mohon bantuan Bapak Kepala Stasiun yang terhormat dan penuh belas kasih agar sudilah kiranya membantu kami yag terlunta-lunta ini agar bisa pulang ke Surabaya. Ihik…!
Tentu saja kepala stasiunnya takjub mendengar kisah saya. Belum pernah ada orang yang datang kepadanya dengan kisah yang memilukan seperti itu. “Bagaimana caranya saya membantu?” tanyanya dengan keheranan. Saya lalu meminta beliau untuk membuatkan semacam surat kepada kondektur di KA agar kami dibantu untuk pulang. Maksudnya agar jangan ditanyai karcis gitu loh…! Kepala Stasiunnya tidak pernah menjumpai kasus seperti ini sehingga ia tidak tahu bagaimana isi suratnya. Tapi tentu saja saya sudah menyiapkan suratnya dan saya sodorkan pada beliau yang tinggal ditandatangani dan distempel oleh beliau. Jika Anda pikir permintaan saya konyol dan berlebihan, mungkin Anda benar. Tapi faktanya kepala stasiun tersebut ‘terpaksa’ menandatangani dan menyetempel surat seperti yang saya buatkan. It’s a victory, you know…!
Dengan surat sakti itulah kami akhirnya naik KA dengan merasa sebagai penumpang VIP. Ketika kondektur menanyai kami tiket maka saya sodorkanlah surat sakti tersebut. Si kondektur tercengang mendapat surat tersebut karena dia belum pernah mengetahui hal semacam itu. Tentu saja ia tidak bisa mengonfirmasi kebenaran surat tersebut karena there is no such procedure. Akhirnya, meski dengan agak jengkel kondektur dan polsuska membiarkan kami duduk dengan nyamannya di dalam kereta yang meluncur kencang ke Surabaya.
Ojok njajan… ojok njajan…! Tuit… tuit… Begitu bunyi keretanya.
Surabaya, 10 April 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com