Baru saja Gus Mek hendak menutup pengajiannya dan menyeruput sisa kopinya tiba-tiba seorang ustad muda mengangkat tangannya. “Gus, saya mau nanya lagi. Ini terakhir. Tapi jangan marah ya, Gus. Soalnya ini tidak berhubungan dengan materi tadi.” Gus Mek yang baru saja mengangkat gelas hendak menyeruput kopinya langsung terhenti tangannya. Gus Mek terdiam lalu meletakkan gelas kopinya pelan-pelan. “Apa lagi yang mau ditanyakan? Ndak, aku ndak akan marah.”
“Begini lho, Gus…!” Si Ustad memperbaiki duduknya, melihat ke teman-teman sekitarnya untuk memperoleh dukungan, lalu meneruskan kata-katanya. “Saya lihat kok Gus Mek ini kalau sama Koh Aliang dan Pak Frederik baik betul. Gus Mek selalu ekstra sopan, halus, dan sayang sama mereka. Tidak pernah saya lihat Gus Mek menolak permintaan mereka. Bahkan Gus Mek sering menawar-nawarkan mobilnya untuk mereka pakai.” Ia lalu berhenti dan menarik napas panjang.
“Lalu…?!” Tanya Gus Mek.
“Kok Gus Mek tidak begitu sama kami?”sejenak si Ustad menahan napas. “Pada kami Gus Mek seringkali bersikap keras dan tidak peduli. Seringkali kami ini kalau mau pinjam mobilnya untuk ikut tahlilan di desa lain malah disuruh naik motor atau jalan kaki.” Si Ustad agak takut-takut. “Maaf, lho Gus, jangan marah.”
“Ooooh… kamu iri toh maksudnya?” Gus Mek langsung tertawa ngakak. “Hahaha…! Alhamdulillah…!”
“Lho kok Alhamdulillah toh, Gus? Apa maksudnya” si Ustad bertanya heran. Takutnya sudah hilang. Kalau Gus Mek sudah tertawa ngakak seperti itu artinya hatinya sedang sangat gembira.
“Tahukah kamu bahwa Rasulullah pernah ditanya hal yang sama oleh para sahabatnya kaum Anshar? Rasulullah pernah ditanya mengapa beliau lebih mementingkan orang lain ketimbang para sahabat Anshar yang ikut berperang hidup dan mati bersamanya.” Gus Mek berhenti sebentar. Diraihnya gelas untuk menghirup kopinya dengan sangat khidmat lalu meneruskan. “Jadi kalau sekarang saya ditanya oleh para ustad dan santri yang iri soal perlakuan saya yang membedakan antara mereka dengan Koh Aliang dan Pak Frederik itu artinya saya sudah mengalami sendiri apa yang pernah dialami oleh Rasulullah walau pun dalam derajat yang sangat… sangat rendah. Saya bersyukur sekali bisa merasakannya sendiri.”
Si Ustad muda bertanya-tanya peristiwa apa gerangan di jaman Rasulullah yang dimaksud oleh Gus Mek ini.
“Ingat tidak kamu dengan peristiwa pembagian harta rampasan perang setelah perang Hunain?” Tanya Gus Mek pada mereka. “Ayo… mosok sudah lupa.” Ustad muda itu berpikir sejenak lantas menjawab, “Ya, saya ingat, Gus.” Wajahnya langsung cerah seolah mendapatkan ilham. Sebagian yang lain bertanya-tanya karena masih belum paham.
Gus Mek pun kembali mengingatkan mereka akan peristiwa pembagian harta rampasan perang pada Perang Hunain. Pada saat itu umat Islam mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak. Tapi oleh Rasulullah harta yang berlimpah tersebut justru dibagi-bagikannya kepada orang-orang muallaf yang dulunya memiliki pemusuhan yang keras terhadap kaum muslimin seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Suhail bin Amru dan yang lainnya. Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan perang kepada orang-orang Muhaajirin yang ikut dalam perang tersebut, yakni sebanyak seratus ekor unta untuk masing-masingnya. Tapi Rasulullah SAW tidak membagikannya kepada orang-orang Anshar. Hal ini tentu saja membuat sebagian orang-orang Anshar menjadi kecewa. Mereka lalu berkata kepada sesama mereka,
“Sungguh Rasulullah SAW hanya memberikan harta kepada orang-orang Quraisy, sedang kepada kami tidak. Padahal, pedang-pedang kami masih berlumuran darah musuh. Semoga Allah mengampuni kekeliruan beliau.”
Rasulullah kemudian mengumpulkan mereka dan menjelaskan mengapa beliau melakukan hal tersebut. Sebagian yang disampaikan oleh Rasulullah adalah sbb:” Apakah kalian tidak rela wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan kambing-kambing dan unta-unta (pembagian harta rampasan), sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka.”
Perkataan Rasulullah itu sangat menyentuh mereka sehingga kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. Mereka pun kemudian berkata,
“Kami ridha dengan pembagian yang diberikan Rasulullah” (sila baca kisahnya di https://okiaryono.wordpress.com/2013/01/07/ketika-kaum-anshar-mempertanyakan-keputusan-nabi/)
“Nah, sekarang…,” kata Gus Mek pada mereka. “Apakah menurut kalian saya lebih menyayangi Koh Aliang dan Pak Frederik daripada kepada kalian?” Gus Mek menatap mata mereka satu persatu. Mereka semua tertunduk malu dan berkata, “Tidak Gus. Kami semua yakin Gus Mek sangat sayang kepada kami.” Mereka merasa malu telah mempertanyakan rasa sayang Gus Mek kepada mereka dan membanding-bandingkannya dengan kebaikan Gus Mek pada Koh Aliang dan Pak Frederik.
“Saya sengaja ekstra baik, halus, sopan, wah weh dan nyah nyoh pada Koh Aliang dan Pak Frederik justru karena mereka itu bukan muslim,” ujar Gus Mek pada mereka. “Saya ingin mereka memperoleh kesan yang merupakan janji Allah bahwa agama Islam itu adalah rahmatan lil alamin dan bukan sekedar rahmatan lil muslimin. Umat Islam itu harus berlaku sangat baik dan melindungi umat lain agar mereka merasakan betapa enak, nikmat, dan nyamannya punya tetangga orang Islam. Dengan demikian mereka akan setuju bahwa agama Islam itu memang membawa rahmat bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungan sekitarnya. Itulah janji Allah bahwa Islam itu rahmatan lil alamin.” Gus Mek berhenti sejenak untuk melihat reaksi mereka.
“Lha kalau terhadap sesama muslim bagaimana, Gus?” tanya seorang santri.
“Kalau terhadap sesama muslim itu wajib. Tidak usah ditanyakan lagi. Jika terhadap sesama manusia yang berlainan agama atau pun yang tidak beragama saja kita perlu berprilaku baik apatah lagi terhadap sesama muslim. Ukhuwah islamiyah itu lebih kuat daripada ukhuwah insaniyah wa basyariyah,”demikian jelas Gus Mek.
Para ustad dan santri terdiam dan berupaya meresapkan apa yang disampaikan oleh Gus Mek. Tiba-tiba seorang santri nyletuk, “Saya sekarang mengerti, Gus…!”
“Apa yang sekarang kamu mengerti?” goda Gus Mek pada santri tersebut.
“Sekarang saya mengerti mengapa para banser justru menjaga gereja kalau mereka Natalan,”
“Menurutmu mengapa para Banser itu melakukan itu,” tanya Gus Mek sambil tersenyum.
“Ya, supaya umat Nasrani merasa aman, nyaman, dan terlindungi oleh umat Islam kan, Gus?” jawab santri tersebut ikut tersenyum.
“Lha kok para Banser itu cuma menjaga gereja dan gak ikut menjaga tahlilan, syukuran, bancakan, Mauludan, dan acara-acara umat Islam lainnya lho…?!” kembali Gus Mek menggodanya.
“Lha kalau semua acara umat Islam dijaga Banser sing ngopeni gak kuat Gus…! Mana kopinya, rokoknya, nasi kotaknya, sangunya…. ”jawab santri tadi tertawa.
Semua orang lantas ikut tertawa. Betul juga ya..!
Hormatku untuk para Banser yang turut memberikan rasa aman, nyaman, dan terlindungi pada umat lain. I love you full…!
Surabaya, 14 Mei 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com