Karena ada keperluan utk menginap di Bali bersama teman-teman SMA maka saya mengajukan diri utk mencarikan hotelnya. Biasanya sih saya tinggal telpon Kaha Travel dan setelah itu transfer ke rekening pemiliknya. Saya juga bisa minta tolong Pak Dadang, bos Stikom Bali, utk bookingkan hotel mana saja yg saya inginkan. Dan beliau dengan senang hati akan membantu saya. Tapi karena istri saya baru saja rekreasi ke Bali bersama beberapa stafnya dan dapat tarif hotel yg sangat murah melalui Agoda Travel maka saya jadi tertarik utk dapat tarif hotel murah juga. Kan lumayan juga penghematannya kalau saya pesan 4 kamar utk dua malam.
Jadi saya pun mulai browsing via internet dan mendapat penawaran menarik dari Agoda. Saya sengaja minta di hotel yg sama dengan hotel yg dipakai istri saya kapan hari. Tanpa mencoba membandingkan dengan travel lain saya langsung mengiyakan dan membayar lewat online. Saya merasa puas dan menang berhasil mendapat tarif hotel yg lebih murah daripada biasanya. Saya sebetulnya tidak punya kepekaan harga dan tidak pernah peduli dengan harga. Kalau suka dan bisa saya bayar ya saya beli. Murah dan mahal itu relatif saja. Kalau punya duit ya murah dan kalau bokek ya mahal. Itu saja patokan saya. Saya bahkan tidak tahu harga kalau ditanya istri saya setelah berbelanja sesuatu. Kalau ditanya berapa harga barang yg barusan saya beli ya saya minta ia utk mengecek di bonnya. I never care.
Begitu ketemu istri langsung saya sampaikan rate yg saya peroleh.
Ternyata istri saya bilang harga yg diberikan Agoda itu terlalu mahal. Jauh lebih mahal daripada harga yg diperolehnya kapan hari. Lagipula dengan harga tersebut kami belum dapat makan pagi. Sedangkan ia bisa dapat dg harga beda seratusan ribu lebih perkamar perhari sudah termasuk makan pagi. Hati saya langsung mencelos dan terbakar…! (Yang tidak tahu artinya ‘mencelos’ sila baca bukunya Kho Ping Ho dan menamatkan minimal 30 jilid bukunya). Dan saya pun misuh Suroboyoan dalam hati…
Menurut istri saya harga di Kaha lebih murah dan sudah dapat sarapan. Tapi kalau mau kami bisa sarapan di warung depan hotel yg buka pagi-pagi, demikian tambahnya.
Jengkel nggak sih mendengar ini…
Saya merasa ditipu (tertipu, tepatnya). Saya sudah begitu percayanya bahwa tarif di Agoda pasti lebih murah daripada di Kaha. Lha yang bilang istri saya dan saya tahu sendiri dia dapat biaya yg sangat murah utk hotel kelas bintang tiga. Tapi ternyata istri saya bilang bahwa dia sdh pesan pada saya utk mengecek dulu harga di Kaha sebelum memutuskan. Mungkin saya tidak mendengarkan karena di benak saya sebetulnya saya sudah memutuskan bahwa Agoda lebih murah dan saya akan beli voucher hotel di Agoda no matter what. Karena sudah saya putuskan di benak saya maka penjelasan dan usul istri saya jadi tidak saya perhatikan. Kita memang sering melakukan kesalahan prosedur ketika tanpa kita sadari kita telah mengambil keputusan di benak kita tanpa melakukan prosedur yg perlu kita ambil sebelumnya. Saya menganggap ini sebagai sebuah kecerobohan saya yg akhirnya membuat saya diganjar (eh, dihukum ding!) dengan hilangnya sebagian uang saya yg semestinya tidak perlu terjadi. Saya juga masih kepikiran belum tahu bagaimana nanti soal makan pagi teman-teman saya. Mosok saya giring mereka utk sarapan ke warung di depan hotel di Jl. Teuku Umar Denpasar…! Tapi kalau mesti nambah duit utk makan pagi di hotel saya jelas emoh karena merasa ‘ditipu’ itu tadi. Pokoknya saya lagi jengkel meski saya sadar bahwa itu karena kecerobohan saya sendiri. Ya ini yang namanya salah-salah sendiri, jengkel-jengkel sendiri. Seandainya saya punya bakat musik mungkin saya sudah menciptakan sebuah lagu dangdut yg sentimentil.
Tidak lama setelah itu tiba-tiba saya ditelpon oleh Bank Danamon dan bertanya apakah saya baru melakukan transaksi pembelian voucher hotel melalui Agoda dengan kartu kredit Bank Danamon? Tentu saja saya jawab ‘ya’. Ini memang prosedur yg biasa dilakukan oleh perbankan utk menghindari penyalahgunaan kartu kredit. Siapa tahu itu orang lain yg menggunakan secara tidak sah. Dan itu biasanya dilakukan kalau melibatkan jumlah uang yg cukup besar.
Tapi setelah ditelpon itu tiba-tiba terbersit pikiran menyesal mengapa tadi menjawab ‘ya’. Kalau mau saya bisa saja menyangkal dan tentu saja pembelian voucher hotel tersebut akan dibatalkan. Dengan demikian saya akan terbebas dari perasaan ‘tertipu’ dan saya bisa beli voucher hotel di Kaha dengan harga yg lebih murah dan menyelamatkan ‘kerugian’ saya. Tada…! You cheat me and I cheat you back.
Tapi setelah berpikir demikian saya lantas merasa terkejut bahwa saya kok punya pemikiran ‘kriminal’ begitu. Perbuatan menyangkal pembelian voucher itu tentu merupakan perbuatan tercela dan saya heran kok tiba-tiba punya pikiran utk melakukan perbuatan tercela tersebut. Seandainya pikiran jahat itu datang lebih dahulu dan lalu saya lakukan saya tentu akan menyesali tindakan itu seumur hidup. (yah, mungkin gak sampai seumur hiduplah tapi pasti saya akan sangat menyesalinya).
Setelahnya saya lantas ‘deleg-deleg’ alias termenung memikirkan betapa saya bisa memiliki pikiran seburuk itu. Itu sungguh akan menghancurkan integritas saya. Integritas itu bukan sekedar soal ketahuan melakukan perbuatan buruk (dan apalagi menyangkalnya dengan hebat). Integritas itu adalah soal disiplin di dalam benak dan hati kita utk tetap melakukan yg baik dan yg benar meski tak ada seorang pun yg mengetahuinya. Integrity is doing right when no one is looking, kata sebuah pepatah.
Saya lantas bertanya-tanya dalam hati mengapa saya masih memiliki kecenderungan utk melakukan tindakan yg tercela tersebut. Toh saya tidak kepepet. Apalah artinya sejumlah uang saya yg hilang dibandingkan dengan hilangnya integritas saya. Apakah karena saya merasa ‘tertipu’ sehingga timbul keinginan hati saya utk membalas ‘tipuan’ tersebut? Konyol betul kan. Lha wong itu salah-salah saya sendiri kok mau saya timpakan kesalahannya pada orang lain. Lagipula, perlukah sebuah kesalahan dari orang lain saya balas dengan sebuah ‘kesalahan’ yg setimpal? Mengapa saya belum bisa menerima pelajaran utk ‘membalas kejahatan dengan kebaikan’ seperti yg selalu saya idam-idamkan selama ini…?! What’s wrong with me…?!
Sepagian ini saya masih merasa bersalah memiliki pikiran buruk tersebut dan berharap akan memperoleh pelajaran darinya.
Surabaya, 3 April 2013
Tanggapan dari Kang Moko :
The Greek philosopher Socrates famously said that “the unexamined life is not worth living” … and you’ve given a good example that once-in-a- while or better yet, regularly, one has to ponder upon such examination. The problem with this world, or particulary this country, is that only a few people actually doing this self-examination ritual.
Ya, saya setuju, menyangkal konfirmasi dari bank adalah tindakan yang unethical (or even ‘almost’ criminal), tetapi sebetulnya ada cara yang legitimate dan ethical yang bisa dilakukan: membatalkan [cancel] reservasi atau booking ke hotel/travel agent ybs. Tentu saja ini tergantung pada policy setempat, kadang ada semacam ‘penalty’ tetapi secara universal itu hal yang jamak dilakukan [dengan alasan apapun].
Anyway, congrat and kudos … for doing the ‘examination’.
Moko/
Tanggapan balik saya :
Cak Moko,
Yang membuat saya ‘deleg-deleg’ adalah kesadaran bahwa saya memiliki kemungkinan utk melakukan perbuatan tercela (seperti menyangkal transaksi tersebut) utk alasan remeh yg sebetulnya tidak perlu. Eeeh…ternyata…!
Ini membuktikan betapa besarnya kemungkinan bagi saya utk melakukan perbuatan buruk lain yg mungkin saya lakukan jika saya tiba pada kondisi terdesak atau pada posisi yg lebih tidak menguntungkan. Jelas sekali bahwa saya punya potensi yg sangat besar utk melakukan perbuatan buruk atau jahat dalam situasi yg lebih memungkinkan terjadinya perbuatan buruk tersebut. Apalagi kalau saya dalam keadaan terdesak atau kepepet. Dalam keadaan terdesak jelas kita akan melakukan refleks pembelaan diri dan tentu saja akan melupakan soal integritas. And it’s just natural as a human being. Khilaf itu jadi terasa begitu dekat.
Saya lantas sadar bahwa sesungguhnya saya tidak lebih baik dari siapa pun yg kini berada di balik terali besi (atau pun yg belum dijebloskan) sekarang ini. Saya mungkin hanya beruntung tidak jatuh pada percobaan (I like this idiom) yg mungkin bakal membuat integritas saya hancur lebur dan harus mendekam di balik terali besi.
Thanks for your comment.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Pak Straia yang baik, saya kira setiap individu sekelas apapun ( bahkan para ulama sekalipun, barangkali ) memilki imajinasi-imajinasi liar, bahkan pikiran-pikiran kriminal atau hampir kriminal. tapi bukankah pikiran-pikiran semacam itu juga adalah anugrah dalam rangka memperkaya khasanah pengetahuan kita agar tidak mudah ditipu orang?
Barangkali yang penting adalah meningkatkan ketahanan mental kita agar pikiran-pikiran liar ( wild thinks) tersebut tidak di aktualisasikan secara nyata sehingga dapat merugikan orang lain. Bukankah dalam hal perniagaan pahala kita dengan Allah : Niat baik yang kemudian dilakukan akan menambah pahala tetapi nat jelek yang tidak dilakukan tidak akan berbuah dosa. So, no reason to guilty feeling.. Salam hormat slalu..!
wealah ….itu pertanda sampeyan itu orang biasa …jadi luar biasa karena sampeyan nyadari …he…he…