
Seorang mahasiswi sebuah PTN mengirim SMS utk curhat pada saya. Ia sedang butuh dana utk keperluan kuliahnya dan ketika ia mencoba utk meminta pada orang tuanya, ini jawaban yg diterimanya.
“Makanya berhenti aja dan gak usah banyak gaya. Emangnya kuliah gampang apa? Udah tahu orang tua hidupnya susah malah dibebani.
Resikomu mau kuliah jadi tanggung sendiri. Emang kuliah gak pake biaya?”
Kok begitu reaksi orang tuanya? Orang tua macam apa yg bicara begitu pada anaknya?
Sebelum kita menghakimi si ortu mari saya beri gambaran mengapa ortunya menjawab demikian. Orang tuanya memang tidak setuju anak putrinya ini kuliah, apalagi sampai di kota lain dan harus kost. Mereka adalah keluarga berstatus rakyat jelantah (lebih miskin dari yg jelata) yg hampir setiap hari jadi sansak babak belur dihajar kesulitan ekonomi. Hidup mereka statusnya adalah bertahan dari hari ke hari dan kalau anak mereka bisa lulus sekolah menengah saja maka itu sudah termasuk prestasi hidup yg luar biasa. Keluarga semacam ini sak ketapruk banyaknya di sekitar kita. You can see it from their face, you can see it from their smile, you can see it from their eyes, teeth, hair, bones, everything they have. You can even see it by the way they walk, stand, or speak. Penampilan rakyat yg kelas jelantah memang so obvious dan anti luntur.
Putri mereka rupanya ingin bermimpi lebih tinggi dengan mencoba mendaftar kuliah. Alhamdulillah ia diterima tanpa tes di sebuah PTN.
Bagaimana reaksi ortunya ketika tahu si anak diterima di PTN tanpa tes? Berita anak diterima di PTN tanpa tes ternyata bukanlah suatu berita yg menggembirakan. Bangga sih mereka mulanya karena itu berarti mereka punya anak yg cerdas. Tapi setelah khayal dan mimpi mereka turun ke bumi mereka langsung menghadapi realita sehari-hari yaitu mereka tidak mungkin utk membiayai khayal dan impian tersebut agar dapat menjadi nyata. Utk bisa bertahan hidup sehari-hari saja sungguh telah menguras jiwa mereka dan BEBAN tambahan utk kuliah anak adalah beyond their imagination. Punya anak pintar dan diterima tanpa tes adalah membanggakan tapi kalau mesti IKUT membiayai please oh God…don’t put me into this burden! Dosa apa kiranya yg hamba lakukan sehingga harus menerima cobaan ini?
Karena masalah itu diajukan ke saya maka seperti biasanya saya lalu sok wise dengan mengatakan agar mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Saya kutiplah pendapat yg mengatakan bhw pendidikan adalah aset penting bagi masa depan yg akan bisa mengentaskan seseorang dari lingkaran kemiskinan. Kalau Anda mengenal saya maka saya yakin Anda akan tahu betapa hebatnya saya kalau sudah ‘nggedabrus’ soal ini. I’m quite an expert for this. Apalagi kalau saya bilang bhw saya adalah bukti hidup, a living proof of what I’m saying. Saya bisa begini karena pendidikan saya. Bla…bla…bla… Seandainya saya tidak kuliah mungkin saya sudah mbambung dan atau jadi kriminal. Bla…bla…bla… (percaya ndak, saya sering membayangkan diri saya jadi anggota mafia. Ini tentu akibat kakehan nonton film gangster. Robert de Niro itu aktor gangster favorit saya. ‘You talking to me…?!’ Itu dialog favorit saya).
Akhirnya mereka terpedaya oleh bujukan saya dan merelakan putrinya yg dibanggakan tersebut utk kuliah ke kota lain.
Dan masalah demi masalah, utamanya finansial, yg diakibatkan oleh kuliahnya anaknya pun datang seperti yg sudah diperkirakan….
Jadi kalau ortu si mahasiswi kemudian menjawab SMS anaknya demikian tolong utk dimaklumi. It’s not their fault. Sebagian memang kesalahan saya.
Jadi kalau kemudian anaknya sesekali curhat masalah finansial pada saya memang ada alasannya. Kan saya yg telah ‘menjebloskan’nya ke dalam masalah finansial tersebut…?! Coba kalau sy tidak sok wise dan memberinya advis pragmatis utk menerima saja nasib mereka sbg anggota kaypang maka mungkin saya tidak perlu menerima curhatan seperti ini.
Jadi saya mesti menerima resiko saya ini. Untungnya bhw si mahasiswi ini akhirnya dapat beasiswa yg keluarnya enam bulan sekali sehingga sy tidak perlu sering-sering menerima curhatan. Meski dapat beasiswa ia tentu tidak bisa hidup berlebih dr uang beasiswa pemkot tsb. Lha wong memang cuma beasiswa basic.
Dari sini saya kemudian berpikir bahwa kasus mahasiswi kesulitan ekonomi dalam studinya tentulah cukup banyak di sekitar kita. Apa yg bisa mereka lakukan jika mereka menghadapi kesulitan tersebut? What can they do to solve their financial problems? What alternatives are available for them? Sendainya saya pd posisi mereka apakah saya mampu menjawabnya? Meski saya sering sok wise dan sok optimis dlm menghadapi hidup tapi jika saya benar-benar diminta utk menghadapi masalah mereka maka saya yakin akan ‘blangkemen’. Kalau cuma sekali dua kali it’s OKlah, tapi kalau setiap hari ya mana tahan jek! Itu sebabnya doa “Berilah hamba kekuatan dalam menghadapi cobaan yg berat” bukanlah doa favorit saya. Doa favorit saya adalah “Ya Tuhan, masukkanlah hamba ke dalam golongan orang-orang yg bersyukur. Amin!”. Kan tidak mungkin kita masuk kaum rakyat jelantah lalu bersyukur karenanya.
Orang miskin memang ‘ditakdirkan’ utk jadi pragmatis. Orang miskin yg optimis dan idealis itu kasus ‘satu dalam sepuluh ribu’. Persis seperti lahirnya Django di antara sepuluh ribu budak. (Jangan sampai kelewatan filmnya ‘Django Unchained’ yg sedang main. Very recommended)
Bagaimana seandainya ada orang yg memanfaatkan kesulitan mereka dg mengiming-imingi mereka tawaran jalan pintas? (Bagaimana seandainya KITA SENDIRI yg menghadapi dilema semacam ini? Will we survive with our principle?)
Tiba-tiba ingatan saya melayang ke kasus korupsi sapi yg melibatkan seorang mahasiswi cantik jelita bernama M. M ini seorang mahasiswi yg berkat kesemlohaiannya tiba-tiba tanpa pernah disangka-sangka diberi uang sepuluh juta ‘hanya’ utk kenalan dengan seorang kaya iseng. (Hanya…?! Edan po…! Jawab AF). AF memang edan but not that edan to throw ten million rups just to shake a girl’s hand. He surely wants to shake more than M’s hand. Believe me.
Jika Anda adalah seorang mahasiswi secantik M apakah Anda akan menolak uang perkenalan sebanyak 10 jeti dari seseorang yg tidak dikenal? M tidak menolaknya karena ‘siapa sih yg tidak suka uang?’, demikian katanya. Betul juga sih. Setahu saya di rumah saya hanya ikan emas peliharaan kami yg tidak doyan uang.
Padahal sebenarnya M ini bukan mahasiswi miskin. Kuliahnya saja di kampus swasta mentereng dan nongkrong makan siangnya di mall Sency yg sekali makan minimal seket ewu (lha wong kopi ae 32 ewu sak cangkir cilik….! Gak mendem tah) Jelas gaya hidup dan uang sakunya bisa bikin ngiler mahasiswa miskin. Tapi toh begitu kena godaan uang perkenalan sepuljet langsung hooh saja. Bisakah mahasiswi miskin yg sehari-harinya hidup senin-kemis bertahan menghadapi godaan sepuljet tsb? I doubt it. Seandainya saja AF mau kenalan dengan saya lalu menyorongkan uang sepuljet tentu saya terima. (Tapi seperti yang saya sampaikan AF is crazy but surely not mendem mangan semir utk kenalan sepuljet dengan saya).
Untungnya mahasiswi yg suka curhat ke saya ini tidak memiliki keuntungan fisik spt M. Amat sangat jarang kalangan keluarga rakyat jelantah yg bisa memproduksi anak perempuan sesemlohai M. Kalau pun ada maka itu juga termasuk ‘Kasus Django’ alias one in ten million case. Cetakannya jelantah ya keluarnya jelantah juga.
(Tapi godaan kan bisa macam-macam dan tidak harus semahal itu…)
Apa sebenarnya ‘moral of this story’? Terserah Anda sajalah. Saya sendiri belakangan ini sering bingung kalau dimintai pendapat ttg moral. Should we need any moral of any story at all…?! Can’t we just leave it as a mere story…?! Lha wong ini cuma sebuah curhat di antara jutaan curhat yg bersliweran setiap hari di muka bumi.
Wis…ngono ae!
Surabaya, 4 Maret 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
dunia…
Moral yg bs ane petik tu, bersyukur atas ap yg telah ad pada diri kita,ga semua yg kita kira baik n semlohai itu baik untuk kita, bs jadi ia adalah petaka untuk kita.