Bagi saya peristiwa ini adalah sebuah petunjuk penting bagi umat Islam bahwa perintah pertama dan utama bagi umat Islam adalah MEMBACA. It s our First Commandment. Membaca itu begitu pentingnya sehingga menjadi ayat pertama yang diturunkan oleh Allah bagi umat Islam. Jadi membaca itu perintah pertama yang turun bagi umat Islam dan dan perintah yang lebih awal dari perintah Tuhan lainnya yang bersifat ritual seperti bersyahadat, sholat, zakat, puasa, dll. Bahkan sebenarnya perintah berpuasa, berzakat, sholat, dan berhaji sudah diberikan pada umat-umat sebelumnya. Jadi ibadah tersebut bukanlah perintah yang spesifik bagi umat islam. Sebaliknya, perintah MEMBACA adalah perintah yang khusus dan hanya diberikan pada umat islam melalui Nabi Muhammad. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa Allah menginginkan agar umat Islam itu menjadi umat yang memiliki budaya membaca (ummatun qari atun). Dan semestinya itulah yang membedakan umat Islam dengan umat-umat sebelumnya.
Seberapa penting membaca itu? Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Demikian kata Glenn Doman dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read (1991 : 19). Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik. Farr (1984) menyebutkan “Reading is the heart of education. Membaca merupakan batu loncatan bagi keberhasilan anak di sekolah dan dalam kehidupan selanjutnya kelak dalam masyarakat. Tanpa kemampuan membaca yang layak, keberhasilan di sekolah lanjutan dan di perguruan tinggi adalah tidak mungkin. Begitu pentingnya kegiatan membaca ini sehingga berdasarkan penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang dari 840.000 kata per minggu. Itu sebabnya Allah memerintahkan umat Islam untuk MEMBACA.
Beberapa waktu sebelum ini kepala saya memang sedang dipenuhi oleh gagasan “Gerakan Literasi Sekolah”. Jauh sebelum ini saya sudah menggagas sebuah gerakan yang saya namakan Gerakan Indonesia Membaca dan sudah berpresentasi ke mana-mana. Rendahnya minat baca bangsa dan juga rendahnya penerbitan buku di negara kita kita benar-benar membuat saya prihatin dan menurut saya kita harus melakukan sesuatu yang cukup radikal untuk mengatasinya. Saya bahkan pernah merayu Anis Baswedan untuk membawa isu ini ke tataran nasional. Kami sudah pernah bertemu untuk mendiskusikannya. Tapi rupanya beliau lebih tertarik ke Indonesia Mengajar . Baru-baru ini saya berpresentasi tentang gerakan ini pada Konsorsium Nasional Perempuan Parlemen di Jakarta dan beberapa waktu yang lalu saya dan Mas Eko Pras berpresentasi dan mengajak siswa di beberapa sekolah utk memulai gerakan membaca dan menulis. Saya sangat bersemangat utk menggerakkan sekolah-sekolah utk memulai gerakan literasi di sekolah masing-masing. Perintah MEMBACA memang jelas tersurat dan tersirat dalam Al-Qur an, tapi adakah perintah untuk membaca dalam Al-Qur an? Bukankah MEMBACA dan MENULIS itu semestinya berpasangan? Apa yang dibaca jika tak ada kalam yang tertulis? Tak mungkin umat Islam diperintahkan untuk membaca tapi tidak diminta untuk melakukan gerakan menulis. Semestinya ada perintah untuk MENULIS yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur an
Ketika saya melakukan pekerjaan rutin membaca Al-Qur an dan suatu pagi tiba pada Surah Al-Baqarah ayat 282 tiba-tiba saya seperti disentakkan oleh pemahaman baru bahwa ayat itu adalah perintah utk menuliskan perjanjian muamalah dan jika dilihat dari perspektif berbeda itu adalah sebuah pembudayaan untuk menuliskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan muamalah. Dari titik ini kita bisa berangkat untuk memahami bahwa ini sebenarnya adalah sebuah perintah gerakan menulis yg masif dan terstruktur.
Berikut ini terjemah ayatnya.
[QS 2:282] Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah179 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Saya telah mengecek ke buku tafsir dan ternyata ayat ini tidak ada asbabun nuzulnya. Jadi tidak ada perisitiwa khusus yang menyebabkan turunnya ayat ini. Tentu saja selalu ada saja kasus tentang perjanjian jual beli antara sesama umat Islam dan dengan umat lain sehingga ayat ini menjadi kontekstual. Tapi ayat ini tidak turun khusus karena kasus tertentu artinya ini adalah ayat yang general. Bagi orang akuntansi ayat ini biasanya dianggap sebagai legitimasi dasar-dasar ilmu akuntansi modern.
Dari sini kita bisa melihat bahwa jika persoalan utang piutang saja mendapat perhatian yang begitu besar untuk ditulis artinya Allah ingin agar umat Islam itu menjadi umat yang menulis, yaitu umat yang menggunakan kalam sebagai basis dalam bermuamalah dan tidak sekedar mengandalkan lisan yang jelas akan mudah untuk dilupakan atau diingkari. Sejak turunnya ayat yang memerintahkan menuliskan perjanjian utang-piutang dan pembelian non-tunai ini maka umat Islam langsung berubah menjadi umat yang menggunakan piranti tulis dalam bermuamalah. Ketika sebagian besar manusia masih benar-benar hidup dalam keterbelakangan dan bahkan kertas dan alat cetak belum ditemukan tapi Tuhan sudah memerintahkan umat Islam utk melakukan aktivitas yg merupakan ciri manusia modern, yaitu membaca dan menulis! Umat Islam bermetamorfosis menjadi umat yang modern yang tidak lagi hanya menggunakan perjanjian lisan tetapi berubah menjadi umat yang menggunakan perjanjian tertulis dalam komunikasi bisnisnya. Ayat ini mendorong umat Islam untuk mengembangkan hubungan muamalahnya ke arah yang belum pernah dilakukan oleh umat lain, yaitu ke arah perjanjian tertulis.
Jadi jelas bahwa Islam membawa perubahan ke arah kehidupan yang sangat modern dengan perintah menulis tersebut. Meski secara tersurat dan tekstual dalam ayat tersebut hanya disebutkan tentang perjanjian utang-piutang dan pembelian non-tunai tapi implikasi dari perintah ini jelas menjadi acuan dalam segala aspek kehidupan bermuamalah bagi umat Islam setelahnya. Era menulis diawali dengan kebutuhan aktual akan perjanjian utang-piutang dan pembelian non-tunai yang kemudian menjadi berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern setelahnya. Tidak salah jika kemudian umat Islam menjadi umat yang paling modern dan paling maju pada masa keemasannya dahulu karena perintah untuk membaca dan menulis kemudian dikembangkan untuk memajukan ilmu pengetahuan. Sayang sekali bahwa saat ini umat Islam justru melalaikan perintah Tuhan yang sangat penting pada masa ini sehingga menjadi umat yang tertinggal dibandingkan umat lain.
Pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin masyarakat yang sangat memperhatikan persoalan pendidikan. Beliau menyatakan bahwa pendidikan atau menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Beliau juga selalu mencari kesempatan untuk mencerdaskan masyarakat Madinah. Rasulullah SAW sangat menyadari pentingnya kemampuan membaca dan menulis. Ketika Perang Badar usai, ada 70 orang Quraisy Makkah menjadi tawanan, masing-masing mereka diminta untuk mengajar 10 orang anak-anak dan orang dewasa Madinah dalam membaca dan menulis sebagai salah satu syarat pembebasan mereka. Biaya utk menebus tawanan saat itu berkisar antara 1000-4000 dirham per orang. Sebuah jumlah yang cukup besar bahkan untuk ukuran masa kini. Tapi toh Rasulullah mau melepas tebusan tersebut dengan sebuah upaya pembelajaran membaca dan menulis bagi umatnya. Ini adalah sebuah gerakan literasi umat yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah, bahkan pada saat berperang. Berperang tidak membuat Rasulullah melupakan tugasnya untuk menjadikan umatnya sebagai umat yang melek baca tulis (literate). Zaid bin Tsabit ra adalah salah satu sahabat yang akhirnya bisa membaca dan menulis karena kebijakan konversi tebusan tawanan dengan kemampuan literasi umat. Ini adalah sebuah kebijakan pendidikan yang sangat radikal dan juga jenius dari seorang yang semula juga ummi (tidak bisa membaca dan menulis)
Apakah pada akhirnya Rasulullah bisa membaca dan menulis? Saya sangat yakin ya , beliau akhirnya bisa membaca dan menulis. Tidak mungkin beliau memerintahkan sesuatu kepada umatnya untuk membaca dan menulis tapi kemudian tidak melakukannya sendiri. Beliau TENTULAH juga melakukan dan melaksanakan perintah Allah untuk membaca dan menulis tersebut. Sungguh tidak masuk akal jika Rasulullah sendiri tidak mau belajar membaca dan menulis padahal ayat Al-Qur an tentang perintah membaca dan menulis diturunkan padanya. Tak ada perintah Tuhan yang tidak dilakukannya sendiri dahulu sebelum diwajibkannya pada umatnya.
Seorang teman menggugat saya karena menafsirkan Al-Baqarah 282 sebagai sebuah perintah yang mendorong umat untuk melakukan gerakan menulis. Menurutnya ayat ini adalah ayat tentang utang-piutang belaka sehingga jika ditafsirkan sebagai perintah untuk menulis maka itu keliru. Menurutnya ini adalah ayat kredit yang tidak pas jika diartikan sebagai perintah untuk gerakan menulis. Menurutnya jika ayat ini diseret ke himbauan menulis maka kandungan hukumnya hilang. Entah apa maksudnya mengatakan demikian. Menurutnya ayat ini harus dilihat asbabun nuzulnya padahal ayat ini tidak ada asbabun nuzulnya. Memang tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul, salah satunya yang tidak memiliki asbabun nuzul adalah ayat 282 QS. Al-Baqarah ini. Ayat tersebut turun bukan dilatari dari suatu peristiwa sebagaimana pengertian asbab an-nuzul itu sendiri.
Teman tersebut bersikeras bahwa ayat tersebut adalah hanya bisa dan khusus ditafsirkan bagi persoalan utang-piutang. Tentu saja saya tidak bisa melarangnya untuk membatasi dirinya pada pemahaman yang ia yakini. Tapi jika kita mau berpikir lebih jauh kita akan paham bahwa sebenarnya ayat tersebut memiliki penafsiran yang jauh lebih luas ketimbang sekedar transaksi pembelian non-tunai atau utang-piutang. Transaksi utang-piutang adalah kegiatan sehari-hari manusia. Apakah kita perlu diatur oleh Tuhan secara tertulis dengan landasan tekstual HANYA untuk mengatur utang-piutang atau pembelian secara non-tunai? Jika kita membatasi makna dan penafsiran ayat tersebut hanya pada apa yang tersurat maka itu artinya kita juga membutuhkan puluhan atau bahkan ratusan ayat sejenis untuk pendukung kegiatan muamalah lain seperti perlunya kuitansi pembayaran tiket, tagihan listrik, internet, perjanjian kredit rumah, kontrak kerja, dll. Lagipula kegiatan tulis-menulis transaksi bisnis adalah hal yang alamiah. Hukum menulis transaksi sendiri adalah sunnah. Tanpa ditulis sekalipun jika transaksi telah memenuhi syarat dan rukunnya maka ia sah. Jadi dengan membatasi pemahaman ayat di atas sekedar pada apa yang tersurat akan membatasi maknanya. Ayat ini memberi legitimasi pada pentingnya menulis. Utang piutang hanya salah satu contoh dan tidak terbatas pada itu saja. Jika kita menganggap bahwa ayat ini tidak lebih dari pada perintah menuliskan pembelian secara tidak tunai maka itu artinya kita merendahkan kapasitas Al-Qur an untuk menggerakkan manusia untuk menggunakan imajinasi dan kreatifitasnya dalam menggunakan akalnya. Ayat ini menggerakkan umat Islam untuk melakukan gerakan menulis apa saja yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Umat sebelumnya tidak mendapat perintah semacam ini sehingga boleh dikata bahwa Islamlah penggagas akuntansi walau pun saat itu ilmu akuntansi belum ada atau belum berkembang.
Membatasi pemahaman ayat hanya pada yang tersurat atau hanya berdasarkan asbabun nuzul jelas akan membuat Al-Qur an tak mampu menjadi sumber ilmu bagi umat Islam. Bayangkan jika kita terperangkap pada apa pemahaman awal dari ayat yang turun seperti pada asbabun nuzul belaka. Kita tidak akan mungkin memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti biologi, kedokteran, angkasa luar, genetika, dll yang belum dikenal pada saat Al-Qur an diturunkan.
Dengan adanya perintah membaca dan menulis yang tidak hanya dibatasi pada pengertian ketika ayat itu diturunkan atau berdasarkan asbabun nuzulnya semata maka umat Islam kemudian berkembang menjadi umat yang paling berilmu pengetahuan saat itu. Umat Islam mengalami jaman keemasannya di jamannya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka menulis dan menghasilkan banyak sekali karya tulis. Beberapa di antaranya dijadikan sumber bagi bangsa Barat. Ibnu Sina bahkan dikenal sebagai bapak kedokteran dunia karena menulis banyak buku tentang medis yang akhirnya diadopsi oleh Bangsa Eropa.
Saat ini umat Islam mengalami kemunduran dalam hal literasi. Hal ini disebabkan telah hilangnya budaya membaca dan menulis yang justru merupakan perintah tersurat dan tersirat dalam Al-Qur an. Al-Qur an kini hanya dibaca diulang-ulang dengan menghafalnya (recite) tanpa ada upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana para ilmuwan Islam jaman dahulu. Saat ini umat Islam didorong untuk sekedar menjadi penghafal Al-Qur an Membaca dan menulis bukan lagi budaya umat Islam. Oleh sebab itu kita perlu perlu gerakan yang masif dan terstruktur untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis ini kembali.
Saya jadi ingat kata-kata Bud Garner yang mengatakan When you speak, your words echo only across the room or down the hall. But when you write, your words echo down the ages. Garner menekankan betapa pentingnya kita menulis. Itu sebabnya agama Islam mewajibkan umatnya untuk menulis. Meski yang diperintahkan secara eksplisit dalam QS 2:282 adalah menuliskan hubungan muamalah dalam hutang-piutang tapi itu secara implisit mendorong umat Islam untuk melakukan menulis sebagai bagian hidup sehari-hari sebagaimana kita menjadikan sholat sebagai kegiatan rutin sehari-hari. Umat Islam adalah umat yang mendapat perintah untuk MEMBACA dan MENULIS secara tersurat dan tersirat dalam kitab sucinya.
Marilah kita kembali mengulangi kejayaan Islam dengan perintah MEMBACA dan MENULIS yang diturunkan bagi kita tersebut sebagaimana para ilmuwan Islam dahulu melakukannya.
Surabaya, 25 Februari 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com