Posting saya tentang perayaan Valentine Day mendapat banyak pro dan kontra. Saya senang. Artinya topik ini menarik. Sayangnya sebagian besar yang berkomentar BELUM MAMPU berargumen dengan baik, yaitu logis dan diikuti dengan analisis. Kebanyakan cuma memaki-maki dan melontarkan sumpah serapah. Kalau hal tersebut diterus-teruskan maka kalian akan saya tendang keluar dari grup ini. Grup ini adalah grup untuk para guru yang diharapkan mampu menunjukkan kualitas dan kapasitas berpikir dan argumennya. Bukan kemampuan memaki-makinya.
Bagi Anda yang bilang bahwa VD harus dan wajib dilarang karena itu adalah BUDAYA ASING maka coba dipahami bahwa hampir semua yang Anda tonton di TV Anda itu adalah budaya asing. Islam sendiri sebagai agama TIDAK PUNYA BUDAYA. Yang punya budaya itu masyarakat. Jadi kalau Anda lihat majlis dzikir, tahlilan, festival rebana, pakai sarung, baju koko, songkok, dll maka itu BUKAN BUDAYA ISLAM tapi budaya umat Islam Indonesia, khususnya umat Islam NU. Setahu saya orang Muhammadiyah tidak pernah bikin tahlilan atau acara 100 Hari Wafatnya seseorang.
Jadi kalau Anda menolak VD dengan alasan itu adalah budaya asing coba berikan argumen yang lebih masuk akal karena pakai gamis dan cadar itu budaya asing. Anda mau tolak karena ia budaya asing?
Jika perayaaan VD ditolak karena mengarah kepada kemaksiatan (dan bahkan ada yang kirim foto paket coklat dan kondom di mini market), kan itu bukan ditujukan untuk umat Islam. Umat Islam itu tidak berzinah baik pada malam VD, atau di malam apa pun karena itu dosa. Jadi kalau ada mini market jual kondom jangan lantas berprasangka bahwa mini market itu jual kondom untuk merusak umat Islam dengan melegalisasikan perzinahan dan kemaksiatan. Itu pikiranmu saja yang ngeres.
Jika potensi kemaksiatan VD yang ditakutkan sehingga diharamkan lantas mengapa MUI TIDAK MENGHARAMKAN perayaan lain yang juga merupakan budaya asing dan berpotensi menjurus kepada kemaksiatan.
Perayaan Malam tahun Baru jelas lebih massif dan lebih besar jumlah masyarakat yang merayakannya. Kemungkinan mudharat dan maksiatnya juga lebih besar. Tapi mengapa MUI dan ormas-ormas Islam bersikap LEBIH MODERAT dan tidak mengeluarkan fatwa haram? Kok cuma mengeluarkan himbauan? Kenapa berbeda sikap dengan menghadapi Valentine Day? Ada apa ini…?!
Majelis Ulama Indonesia (MUI) MENGIMBAU umat Muslim Indonesia tidak menyambut tahun baru dengan kegiatan hura-hura dan berlebihan, termasuk menyalakan kembang api atau petasan. Kok cuma HIMBAUAN?
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainud Tauhid Sa’adi mengatakan, TIDAK ADA LARANGAN bagi siapa saja yang ingin bersuka cita dalam merayakan tahun baru Masehi.
Hampir senada dengan Zainud, Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung, KH Munawir menjelaskan, merayakan tahun baru TIDAK DILARANG selama tidak berlebihan dan tidak mengandung unsur kemaksiatan.
Ada apa ini…?!
“MUI MENGIMBAU dalam merayakan pergantian tahun baru diisi dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Tidak dilarang untuk bersuka cita dalam merayakan, namun tetap harus dilakukan dengan cara yang wajar, tidak berlebihan, boros, sia-sia,”
Mengapa MUI dan Disdik tidak melakukan hal yang sama dalam menyikapi VD? Mengapa tidak mengatakan begini misalnya, “MUI mengimbau dalam merayakan VALENTINE DAY diisi dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Tidak dilarang untuk menyatakan dan mengekspresikan kasih dan sayang kita pada sesama umat, namun tetap harus dilakukan dengan cara yang wajar, tidak berlebihan, boros, sia-sia,” Opo angele sih…?!
Bukankah umat Islam bisa membuat acara tandingan yang lebih positif dan bermanfaat seperti yang mereka lakukan pada malam Tahun Baru seperti ini:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak umat Islam mengisi tahun baru dengan meningkatkan kualitas iman dan takwa. Memperbanyak dzkir, shalawat dan doa lebih baik daripada pesta pora yang tak ada manfaatnya.
Pelajar NU ini juga tidak mau kalah.
Jadi mengapa tiba-tiba MUI mandek mikirnya dalam menghadapi Valentine Day ini?
Surabaya, 14 Februari 2020
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com