
Kota Cirebon dijuluki sebagai kota udang. Saking terkenalnya dengan hasil udang sampai lambang kotanya pun bergambar udang (jadi ingat Sidoarjo). Di beberapa sudut kota juga terdapat ikon berbentuk udang. Dari udang segar hingga olahannya, semua tersedia di kota ini. Artinya kita bisa memilih berbagai olahan udang untuk dijadikan oleh-oleh.
Karena lokasi Cirebon berada di pesisir utara Pulau Jawa dengan garis pantai sepanjang 54 km, Cirebon pun bisa menjadi daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Di tahun 2015 katanya Cirebon mampu menghasilkan 435.439 ton garam. Hasil ini membuat Cirebon menjadi pemasok kebutuhan garam lokal sebanyak 20% dari target pemerintah. Katanya kalau kita mengadakan tur wisata garam di sini maka kita boleh makan garam di lokasi seberapa banyak pun hanya dengan biaya lima ribu rupiah. Anda tertarik…?! 😀
Letak kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau jalur Pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Selain kota Cirebon juga berbentuk kabupaten. Kota dan Kabupaten Cirebon berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka di sebelah Selatan, dan Kabupaten Indramayu di sebelah Barat. Sedangkan di sebelah Timur Cirebon berbatasan dengan Brebes.
Menurut sejarah Cirebon ini adalah daerah yang sudah berkembang menjadi sentra perdagangan sejak Abad ke-15 di zaman Kerajaan Siliwangi. Cirebon mengalami penjajahan dan pemerintahan baik oleh Belanda mau pun Jepang.
Sejak Abad ke-15 Cirebon telah menjadi pusat perdagangan dan bercampurnya berbagai suku dan bangsa. Maka itu diberi nama Caruban (sama dengan kota di Jawa Timur di mana saya pertama kali mengajar di tahun 1978). Carub sendiri dalam bahasa Jawa artinya bersatu padu atau bercampur. Diberi nama demikian karena di Cirebon sejak dulu bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan Arab sehingga bertemulah berbagai agama, bahasa, dan adat istiadat. Pelafalan kata ‘caruban’ kemudian berubah lagi menjadi ‘carbon’ dan kemudian ‘cerbon’. Mungkin kalau di Belanda menjadi ‘Cherry Bond’.
Kami berangkat dari Brebes menuju Cirebon dengan naik KA Tegal Bahari kelas ekonomi dengan ongkos 90 ribu/orang. Jarak dari Brebes ke Cirebon pendek saja sekitar satu jam perjalanan karena mereka memang bersebelahan daerah perbatasan. Brebes di Jawa Tengah dan Cirebon di Jawa Barat.
Sebetulnya kami sudah menyusun jadwal kunjungan ke mana saja selama di Cirebon dan kota selanjutnya yang akan kami datangi, yaitu Kota Tasikmalaya, Kebumen, dan Temanggung. Tapi tiba-tiba datang sebuah nota rahasia dari Kremlin yang mengharuskan saya untuk menghentikan perjalanan saya dan membelokkannya ke luar Jawa. Nota rahasia yang disampaikan lewat WA Keluarga itu berklasifikasi ‘Sangat Rahasia’ dan ‘For Your Eyes Only’ dan harus saya baca dengan kacamata khusus, yaitu kacamata baca plus 1,5. Nota rahasia untuk menyelamatkan dunia dari kekejaman Joker kali ini adalah undangan untuk menghadiri wisuda mahasiswa STIKOM Balikpapan pada hari Sabtu, 14 September lusa. 😯
Menghadiri wisuda artinya tugas negara memanggil dan sebagai seorang patriot bangsa maka saya harus memenuhi panggilan tersebut. Tidak boleh tidak. ‘Old soldiers never die. They simply fade away’, begitu motonya. Makin tua makin kucel. Gak matek-matek tapi tambah suwe tambah mburek. Soalnya satu-satunya pekerjaan saya yang dianggap penting sekarang ini ya menghadiri wisuda di tempat-tempat super rahasia seperti Balikpapan, Bali, dan Bandung. Sebetulnya saya mau menolak dengan alasan pemberitahuannya terlalu mendadak, tugasnya terlalu membahayakan jiwa, dan kemampuan fisik saya sudah tidak sesuai dengan tugas yang menantang maut seperti menghadiri wisuda itu. Lagipula kami juga sudah terlanjur punya agenda wisata sampai ke Kebumen. Tapi Gedung Putih tidak mau tahu dan bahkan mengancam bahwa jika saya tidak datang pada wisuda kali ini maka wisuda kali ini akan dilaksanakan tanpa saya. Itu artinya saya tidak akan menyaksikan wisuda kali ini karena saya tidak hadir pada wisuda tersebut. Lak mbulet ae…
Ini ibaratnya seperti mendapat buah simalakama. Di makan bapak mati tidak dimakan emak mati. Apa pun pilihannya sangatlah dilematis. Anda tidak mungkin akan mengorbankan salah satu orang tua Anda kan?
Tapi setelah saya pecahkan dengan menggunakan rumus Phytagoras dan dioplos dengan rumus SDSB kuno akhirnya saya mendapatkan jalan keluar yang sangat ciamik. Saya putuskan bahwa sebaiknya buah simalakamanya tidak saya makan. Bukannya saya tidak sayang ibu saya tapi ibu saya memang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu jadi tidak mungkin beliau akan meninggal lagi kan. Hahaha…! Kutipu kau… Saya berencana menyimpan buah simalakamanya tapi setelah saya cari tidak ketemu. Buah simalakama ini memang buah bernuansa magis dan tidak dijual di pasar-pasar kebanyakan. Bahkan para ahli biologi dan pertanian selalu menggeleng jika ditanya soal buah magis ini.
Jadi kami harus menghentikan perjalanan bulan madu kami ini (sic!) demi sebuah tugas negara penting menyelamatkan dunia yang semakin tua dan renta ini.
Untunglah bahwa kami punya hubungan baik dengan kantor pusat dinas rahasia yang biasa kami sebut Traveloka sehingga kami segera mengatur ulang perjalanan kami. Kami cukup memencet-mencet beberapa kode rahasia di alat komunikasi kami maka urusan transportasi dan akomodasi kami akan diselesaikan oleh dinas rahasia tersebut.
Setelah mempertimbangkan masak-masak mengingat betapa gentingnya keadaan negara maka kami putuskan akan tetap ke Cirebon karena tiket kereta api telah dibeli dan kamar hotel di Verse Cirebon telah dibayar. Tapi dari Cirebon kami tidak akan melanjutkan perjalanan ke Tasikmalaya dan Kebumen melainkan balik ke Surabaya agar lusanya bisa ke Balikpapan untuk menghadiri wisuda dan sekaligus menyelamatkan dunia dari cengkraman kuasa gelap Valak…! 😎
Karena besok pagi kami harus kembali ke Surabaya maka kami tidak punya banyak waktu untuk menikmati Kota Cirebon. Oleh sebab itu kami putuskan untuk langsung menuju ke Kraton Kasepuhan sebelum ke Hotel Verse di mana kami akan menginap.
Begitu tiba di Stasiun Cirebon kami langsung ditawari oleh seorang tukang becak untuk mengantarkan kami ke Kraton Kasepuhan. Sebetulnya sejak di Kendal kami sudah berniat untuk sesekali naik becak dalan perjalanan kami tapi belum kesampaian. Jadi begitu ada tukang becak menawarkan jasanya di pintu Stasiun Kejaksan kami langsung mengiyakan untuk membawa kami ke Kraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan merupakan tempat wisata di Cirebon yang wajib kami kunjungi. Keraton di Cirebon ini dibangun pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin yang notabene merupakan cicit Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sendiri katanya merupakan keturunan Nabi Muhammad melalui cucu beliau, Husein bin Ali.
Keraton yang semula dinamakan Keraton Pakungwati ini dibangun sebagai pusat pemerintahan Cirebon pada masa lalu. Namanya kemudian diubah menjadi Keraton Kasepuhan setelah adanya pembagian wilayah keraton pada masa pemerintahan Pangeran Mertawijaya, yang dikenal sebagai Sultan Sepuh Mohammad Syamsudin Mertawijaya.
Kami menjelajahi area Keraton ditemani oleh seorang pemandu wisata yang datang dan mengajak kami untuk mengikutinya. Dia kemudian nyrocos cerita segala macam tentang kraton ini. Saya tidak terlalu memperhatikan karena kami tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan seluruh kisahnya yang tampaknya bakal cukup panjang kalau diikuti. Toh saya bisa baca sendiri kisah dan sejarahnya kalau mau. Tapi kasihan juga kalau kami menolak jasanya tersebut. Kalau saya lihat ekspresi mukanya yang memelas itu kayaknya sudah dua minggu ini tidak ada yang menggunakan jasanya. Jadi ketika kami beri dia uang jasa wajahnya langsung terharu mau menangis tapi ditahan. Pokoknya semacam itulah ekspresinya. Sekilas saya melihat malaikat Roqib langsung mencatat ini sebagai perbuatan amal saya yang baik. Thanks, Qib…!
Dari Kraton Kasepuhan kami lalu menuju ke Hotel Verse di jalan Tuparev. Masih dengan naik becak yang sama. Tukang becak yang mengenalkan dirinya dengan nama Nartadi ini bercerita terus sepanjang perjalanan, baik tentang keluarganya mau pun tentang jalan-jalan yang kami lalui. Dia hafal hampir semua letak hotel yang ada di Cirebon termasuk berbintang atau tidak. Namanya becak tak iya maka ia mengendarainya dengan reckless alias seenak udelnya memotong jalan atau pun menerobos celah-celah sempit tanpa takut ditabrak motor, mobil atau pun truk yang berlalu lalang. Kayaknya Nartadi ini punya keyakinan yang teguh bahwa becak punya privilege tertentu dari Dinas Perhubungan untuk menerobos kemana saja ia suka. Ketika kami terperangah karena dengan enaknya ia menerobos jalanan dengan membawa kami sebagai penumpang beserta koper yang memenuhi becaknya ia lalu bilang bahwa becak memang boleh menerobos. Motor, apalagi mobil, tidak berani karena bisa ditilang oleh polisi. Tapi becak tidak bakalan ditilang karena tidak ada uangnya. Kalau pun becaknya disita maka hanya akan memenuhi polres karena tidak mungkin ditebus. Dan berbekal keyakinan akan keselamatan pada Tuhan yang Maha Esa ini Nartadi mengarungi hidupnya sebagai seorang tukang becak dengan lima anak.
Ia bercerita bahwa sekarang sudah tidak bisa punya anak lagi karena sudah ‘dibundeli’ sama dokter. Mungkin maksudnya adalah disteril. Lha wong tukang becak aja kok ya punya anak sampai lima gitu lho! Mungkin dokter puskesmas gemas melihat istrinya monak-manak ae. 😀
Kami masuk ke Hotel Verse dibantu oleh petugas pos parkir karena becak tidak bisa masuk. Berkali-kali tombol dipencet karcis parkir tidak mau keluar. Mungkin palang otomatisnya tidak didesain untuk becak. Saya sudah mencoba mengucapkan, “Sesame, open the door!” tapi sia-sia. Maklum palang parkir lokal Cirebon tidak paham bahasa sandi internasional. Meski demikian waktu keluar kena biaya dua ribu rupiah juga oleh petugasnya. Asem…! Tega juga dia… 🙁
Kami memang hanya check-in dan keluar lagi untuk jalan ke Batik Trusmi. Soalnya waktu kami hanya malam ini dan besok pagi kami harus kembali ke Surabaya. Mission (not really) Accomplished…!
Sentra Batik Trusmi tidak terlalu jauh dari Hotel Verse di Tuparev.
Kawasan Trusmi terkenal akan deretan rumah perajin batiknya. Kini kawasan tersebut telah disulap menjadi destinasi khusus Batik Trusmi. Di sepanjang Jalan Trusmi tersebut berjejer toko-toko dan industri beragam galeri batik khas Cirebon yang terkenal akan motif mega mendung dan coraknya yang cerah tapi lembut. Di sini istri saya membeli beberapa helai kain batik untuk oleh-oleh, tampaknya untuk dirinya sendiri karena di rumah tidak ada yang suka batik. Saya sendiri lebih suka corak batik motif Bali dengan warna kegelapan. Batik Trusmi ini rata-rata berwarna cerah.
Sebelum balik ke Surabaya via KA ke Semarang dan dilanjut naik pesawat kami sempatkan untuk jalan-jalan ke Pasar Kanoman. Kami membawa misi penting, yaitu mencoba menu khas Cirebon, Empal Gentong yang tersohor tersebut. Menu Empal Gentong (bersama cs-nya Nasi Jomblang) memang termasuk kuliner yang paling banyak dicari wisatawan saat mengunjungi Kota Cirebon. Nasi jamblang ini disajikan di atas daun jati dengan pilihan lauk yang bisa dipilih sendiri. Lauknya macam- macam, berupa tempe, tahu, semur daging, ikan asin, aneka pepes, limpa, paru goreng sampai balakutak, entah apa itu balakutak. Sedangkan empal gentong lebih mirip soto betawi.
Alhamdulillah, Tuhan Maha Pengasih. Kami akhirnya berhasil menikmati Empal Gentong yang legendaris tersebut. 🙏
Cirebon, 13 September 2018