Hampir semua mentri pendidikan kita lulusan luar negeri. Di Kemdikbud lulusan luar negeri masya Allah banyaknya. Di setiap direktorat dan badan berjajar master dan doktor lulusan luar negeri. Karena lulusan luar negeri mereka tentu tahu betapa vitalnya literasi membaca dan menulis dalam kurikulum pendidikan di Negara di mana mereka pernah menimba ilmu. Bukankah anak-anak mereka juga ikut menikmati bersekolah di LN bersama mereka?
Dari buku “Sekolah Asyik” saya membaca betapa para pelajar S2 dan S3 di Australia memuji-muji dan bersyukur anak mereka mendapatkan kurikulum pembelajaran literasi yg bermutu tinggi. Mereka melihat bahwa kurikulum membaca dan menulis menempati prioritas utama dalam pembelajaran anak-anak mereka di luar negeri. Mereka juga melihat betapa anak-anak mereka diwajibkan membaca sejumlah buku setiap hari. Mereka belajar bahwa membaca dan menulis adalah kemampuan dasar yg harus dilatihkan pada anak-anak agar memiliki kemampuan dasar utk berpikir kritis dan kreatif. Ada banyak praktek-praktek pembelajaran literasi di negara maju yg juga bisa diterapkan di negara kita kalau kita mau berupaya.
Tapi anehnya..
Setelah mereka kembali dengan gelar Master dan PhD dan menjabat di berbagai kementrian, semua best practices yg mereka lihat sendiri di luar negeri, hampir tak ada satu pun yg mereka terapkan di Indonesia…! Seolah negara maju tempat mereka belajar sebelumnya dan Indonesia tempat asal mereka adalah dua dunia berbeda yang tidak bisa dipertemukan.
Salah seorang ortu bahkan dengan enteng menjawab anaknya berhenti membaca karena tak ada buku di sekolahnya di Indonesia sekarang. Padahal katanya dulu waktu di luar negeri anaknya sangat suka membaca. Tapi karena kurikulum pendidikan di Indonesia tidak ada mencantumkan soal membaca maka kebiasaan yang baik itu menghilang. Alangkah sayangnya…! Kenapa tidak berpikir utk meneruskan kebiasaan membaca anaknya ketika bersekolah di LN di sekolahnya sekarang? Mengapa mereka tidak berupaya utk melakukan perubahan di sekolah anak mereka sekarang? Mengapa mereka menyerah begitu saja ketika melihat betapa tertinggalnya budaya literasi anak–anak kita di sekolah mereka karena memang kegiatan membaca setiap hari tidak ada dalam kurikulum kita?
Mengapa tidak berupaya mengubahnya seperti yg mereka lihat dan alami sendiri ketika di LN?
Saya sering merasa takjub dengan fenomena tersebut…
Surabaya 5 Oktober 2015
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com