‘Tebalnya…! Berapa lama menulis buku seperti ini…?!”
Demikian komentar dari seorang kerabat ketika saya beri buku saya “For the Love of Reading and Writing” yang tebalnya memang hampir mencapai 500 halaman tersebut. Apalagi buku itu ditulis dengan huruf yang kecil dan rapat sehingga lebih nampak padat. Mungkin ia mengira saya harus menghabiskan waktu berbulan-bulan ‘ngebleng’ menulis buku setebal itu. Padahal buku itu hanyalah kumpulan artikel yang dalam blog dan web pribadi saya yang saya cetak dalam bentuk buku. Itu juga belum semua artikel karena setelah saya periksa masih ada beberapa artikel sekitar seratusan halaman lebih yang belum masuk dalam buku tersebut. Kalau saya kumpulkan bersama tulisan-tulisan baru saya maka sebetulnya saya sudah siap untuk menerbitkan lagi sebuah buku setebal separoh dari buku pertama.
Tapi buku saya yang tebal tersebut memang terasa ‘fenomenal’. Pertama memang karena tebalnya dan dicetak dengan hard-cover. Kedua, karena saya memang bukan seorang ‘penulis buku’, meski buku itu memang bukan buku pertama saya. Sebelumnya saya sudah pernah menulis beberapa buku, baik itu buku diktat bagi siswa-siswa saya belajar bahasa Inggris maupun buku kumpulan artikel yang ditulis secara kolaboratif dengan teman lain. Tapi saya memang bukan seorang penulis buku. Saya hanya menulis artikel sesekali dan dimuat di koran lokal seperti Kaltim Pos dan Jawa Pos. Tulisan saya hanya pernah sekali dimuat di koran Kompas. Tapi that’s all. Saya tidak tertarik untuk terus menulis di media
Lalu bagaimana saya tiba-tiba menjadi seorang ‘penulis buku’…?!
Barangkali itu karena faktor kebetulan.
Sejak kecil saya banyak membaca, buku-buku cerita utamanya, dan itu menumbuhkan banyak kata-kata di kepala saya. Kata-kata tumbuh dan terangkai-rangkai tapi tak pernah keluar. Ia mendekam di sana karena memang tak ada sesuatu pun yang membuatnya perlu keluar. Di rumah tak ada orang pun yang mengajarkan saya bagaimana mengeluarkan kata-kata tersebut dalam bentuk tulisan dan di sekolah juga tidak. Sekolah kita, meski namanya gagah S E K O L A H dan punya banyak guru-guru yang terdidik untuk mengajar dan katanya punya kurikulum tentang MENULIS tapi sebenarnya tidak mengajarkan pada kita bagaimana merangkai kata-kata yang tumbuh di kepala kita, baik dari kehidupan sehari-hari atau dari apa yang kita baca.
Sekolah biasanya hanya mengajarkan bagaimana kita memilih jawaban dari soal-soal tentang berbagai hal. Pilihan itu disebut ‘multiple choice’ dan kita diajari bagaimana memilih dengan tepat satu jawaban yang tepat diantara empat pilihan yang tersedia. Hari-hari kita di sekolah dipenuhi dengan kegiatan seperti itu. Sangat menyedihkan memang.
Kita tidak diajari bagaimana memperoleh pengetahuan dari membaca dan bagaimana merangkai kata-kata kita sendiri untuk menjadi sebuah cerita atau kisah. Kita tidak memiliki guru-guru yang tahu caranya mengajari anak-anak menuliskan ceritanya. Padahal ‘everybody has a story to tell’ kata Erin Gruwell dalam ‘Freedom Writers Diary’nya. Apa yang perlu kita lakukan adalah mengajari mereka untuk menuliskannya.
Tapi bagaimana kita akan mengajarkannya jika guru-guru kita juga tidak tahu bagaimana mengajarkannya..?! Bagaimana kita akan mengajarkan guru-guru untuk menulis agar bisa mengajari murid-muridnya menulis jika dalam kurikulum pendidikan kita itu bukan sebuah hal yang PERLU atau HARUS diajarkan…?! Bukankah yang penting dalam pendidikan nasional kita, agar dapat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya, adalah sebuah UJIAN NASIONAL yang berlaku bagi semua siswa tidak perduli di mana ia tinggal dan seberapa tertinggal ia? Kita tidak perduli apakah anak-anak kita membaca buku atau tidak, mampu menulis atau tidak. Itu nampaknya tidak penting bagi kita. Kita pertaruhkan segala visi dan misi pendidikan nasional kita dan masa depan negara kita dalam sebuah kebijakan yang bernama Ujian Nasional (yang tak henti-hentinya dicurangi secara nasional pula).
Jadi siapa yang begitu konyol bicara soal pengetahuan dan ketrampilan menulis bagi anak-anak kita? Kita tidak memerlukan anak-anak yang membaca buku dan menuliskan pendapat-pendapat orisinal mereka. Biarlah kata-kata yang tumbuh di kepala mereka tetap berada di kepala saja. Negara kita membutuhkan nilai-nilai gemilang dari anak-anak kita dalam Ujian Nasional. That’s it. Take it or leave it…!
(Oh my..! Mengapa saya mulai getir lagi…?! Bukankah saya ingin menulis tentang bagaimana saya mulai menulis ?!)
Baiklah..! Saya akan bercerita bagaimana saya mulai menulis dalam lingkungan yang tidak menulis.
Sepanjang yang saya ingat, saya mulai menuliskan kata-kata yang tumbuh di kepala saya dalam paragraph-paragraf yang panjang ketika punya seorang teman pena. Namanya JS dan ia tinggal di Jl Kidang Bandung (saya tidak tahu di mana itu karena tidak pernah ke sana meski sering ke Bandung). JS adalah seorang teman pena yang sampai saat ini tidak pernah saya temui. Dan itu lebih dari tiga puluhan tahun yang lalu. Saya bahkan masih hafal alamatnya karena kami saling kirim surat dalam waktu yang cukup lama. Saya mengenalnya sebagai seorang pemenang lomba menulis sebuah majalah dan disitu tertera alamatnya. Jadi saya menulis surat kepadanya dan mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak layak menang karena tak ada yang spesial dalam tulisannya. Tentu saja saya berbohong karena tulisannya memang bagus (tentang kisah nyata dalam keluarganya yang ditulisnya dengan indah) dan ia masih SMA waktu itu. Saya hanya ingin mendapatkan perhatiannya. Ia pun membalas dan menyindir saya dan mengatakan bahwa bagaimana pun ia adalah seorang pemenang lomba dan uang hadiahnya sangat menyenangkan.
Dari situ kami kemudian saling kirim surat balasan. JS jelas seorang penulis yang berbakat dan ia bisa bercerita apa saja dengan menarik dalam tulisannya. Bukan hanya itu, ia juga seorang penulis panjang. Suratnya datang berlembar-lembar, empat atau lima lembar halaman bolak-balik. Ia selalu memakai jenis kertas yang tipis agar tidak telalu tebal ketika dimasukkan amplop. Waktu itu surat masih ditulis tangan dan dibutuhkan stamina yang kuat untuk menulis sebanyak itu tentu saja. Tulisannya bagus, rapi dan kalimatnya runtut. Jelas JS seorang yang cerdas dan itu terlihat dari apa yang ditulisnya dan bagaimana ia menulisnya. Rupanya ia ingin unjuk gigi untuk menunjukkan betapa mudahnya ia menulis. Saya terima itu sebagai ‘tantangan’ mengajak berlomba menulis panjang dan saya tentu tidak ingin kalah dan juga berupaya untuk menulis panjang-panjang sepertinya. Saya ambil kertas dan mulai menuliskan apa saja yang pernah tumbuh di kepala saya. Saya menguras semua rangkaian kata-kata yang bisa saya keluarkan dari benak saya. Di situlah saya mulai berlatih menulis. It’s like a long, fun, and challenging duel in writing between me and her.
Jadi saya dilatih menulis oleh seorang gadis SMA yang tidak pernah saya temui selama hidup saya!
Kami bersahabat pena selama bertahun-tahun dan kalau suratnya saya kumpulkan mungkin sudah jadi kumpulan ‘short stories’ yang tebalnya mungkin lebih dari 500 halaman. Tapi kami tidak pernah bertemu muka sampai sekarang!
Anda mungkin akan bertanya-tanya mengapa saya tidak pernah berupaya untuk mencari dan menemuinya sedangkan saya tahu nama dan alamatnya. Saya sendiri tidak tahu jawabannya tapi mungkin karena saya ingin agar ‘some mysteries are still kept as mysteries’, ada hal-hal yang mungkin lebih indah jika tetap menjadi misteri dalam hidup kita. (Lagipula ia juga tidak pernah menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan saya. Jadi kami klop).
Akhirnya menulis surat menjadi latihan saya untuk mengekspresikan diri. Saya tidak pernah benar-benar tertarik untuk menulis artikel bagi media. Saya juga tidak tahu mengapa. Mungkin karena saya selalu butuh seseorang untuk menjadi audien saya. Seseorang yang bisa memberi tanggapan balik atas apa yang saya tulis dan bukan menulis di media yang kemudian tak ada tanggapan apa-apa darinya.
Jadi saya selalu berupaya untuk mencari seseorang sebagai tempat bagi saya menulis surat. Salah satu gadis lain yang saya surati panjang-panjang adalah seorang mantan siswa saya yang saat itu bekerja di Hotel Sahid Surabaya. Saya sendiri bekerja di Bontang International School waktu itu. Pekerjaan saya sudah tidak menantang lagi dan laboratorium komputer sekolah saya adalah tempat saya nongkrong untuk menulis surat. Karena sudah pakai komputer dan tinggal cetak hasilnya maka menulis surat yang panjang menjadi lebih mudah. Suatu peristiwa membuat saya memutuskan untuk melamarnya. Lewat surat juga! Jadi menulis surat adalah latihan yang baik untuk mengekspresikan diri (and in my case hadiahnya adalah seorang istri yang sempurna. Bukankah ini luar biasa?! Hehehe…!)
Latihan saya menulis kemudian berpindah ke milis-milis. Saya suka sekali mengikuti diskusi dan debat-debat di berbagai milis. Debat paling seru tentu saja jika sudah menyangkut agama dan keyakinan. Sebagian besar dari kita menganggap agama sebagai sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian . Dan itu membuat milis menjadi ajang yang sangat seru untuk saling serang pendapat, melalui kata-kata tentu saja! Dan saya terjun langsung ke debat-debat tersebut untuk memenuhi kebutuhan saya untuk berlatih mengemukakan argumentasi secara tepat dan terstruktur. Ini adalah tempat berlatih menulis dan belajar yang sangat menarik! Topik-topik yang muncul bisa begitu beragam. Untuk bisa mengikuti diskusi itu dibutuhkan kemampuan menampilkan argumen, data dan fakta yang disusun dengan baik untuk menghantam lawan debat atau untuk menangkis argumen lawan. Kadang-kadang topik tertentu membutuhkan pengetahuan yang cukup dalam dan untuk itu dibutuhkan kemampuan membaca yang baik juga. Saya beruntung memiliki kemampuan membaca yang cukup baik dan terus terasah karena saya harus mencari informasi yang saya butuhkan untuk menghadapi lawan debat saya.
Google menyediakan samudra informasi dan kita tinggal menyelam untuk mencari informasi yang kita butuhkan. It’s all there and you can just take them out.
Sejak mengenal internet dan berdiskusi melalui milis-milis maka saya sudah rutin menulis. Hampir tiap hari saya menulis untuk menanggapi topik-topik diskusi di milis. Di milis saya bertemu dengan orang-orang pintar dengan kemampuan menulis dan berargumen yang hebat. Dan saya belajar dari orang-orang semacam ini. Karena sudah menulis secara rutin pandangan-pandangan saya di milis-milis maka jika dikumpulkan mungkin sudah menjadi belasan buku…!
Setelah itu datanglah era blogging. Weblog adalah sarana untuk membingkai ide-ide dan pendapat kita secara mudah. Dari situlah saya kemudian mulai rutin menuliskan ide-ide yang berloncatan dari benak saya dan meletakkannya di blog. Seingat saya blog saya di https://satriadharma.wordpress.com telah saya isi sejak tahun 2004 (dan kemudian saya bikin yang sama dengan https://satriadharma.com) .
Jadi saya memang telah mengumpulkan tulisan saya sejak sekitar enam tahun yang lalu dan itulah yang saya cetak menjadi buku setebal hampir 500 halaman tersebut. Itu bukan pekerjaan sehari, dua hari, sebulan atau dua bulan seperti yang dikira oleh kerabat saya tersebut. It’s a long road which I take everyday step by step.
Apakah saya akan menjadi seorang penulis setelah ini? Secara prinsip saya sudah mejadi seorang penulis. Saya telah melakukan pekerjaan menulis secara rutin meski saya tidak menerbitkan tulisan-tulisan saya dan tak ada buku-buku saya yang diterbitkan. Jika untuk menjadi penulis seorang harus menerbitkan bukunya maka saya telah melakukannya. Bagi saya menulis adalah mengekspresikan emosi dan pikiran dalam bentuk tertulis dan kemudian disampaikan pada komunitas yang akan membacanya. Mailing-lists dan web adalah tempat saya untuk menuangkan semua emosi dan pemikiran saya dalam bentuk tertulis.
Bagaimana dengan Anda….?!
Balikpapan, 23 Desember 2011
Pak Satria yang baik,
Ayah saya seorang guru Bahasa Indonesia di SMP dan saya menikmati menjadi muridnya di akhir tahun 60-an.
Untuk pelajran Bahasa Indonesia, saya menjadi salah seorang siswa pavorit, sebab di Tarutung, dimana mayoritas kami hidup dalam budaya dan bahasa Batak, ceitera yang saya tulis sudah layak dibacakan di depan kelas (bukan karena Ayahku ingin saya menonjol). Di SMA bakat tersebut dilihat juga sama guru Bahasa Indonesia, dan saya terus didorong untuk menjadi peserta berbagai lomba termasuk Puisi.
Menulis cerpen di Media sudah saya lakonkan seperti di Media Indonesia dan Sinar Harapan serta Kompas jauh sebelum saya bekerja di Penerbit erlangga.
Anehnya, setelah di Penerbitan dan menjadi Salesman kebiasaan menulis fiksi digantikan laporan dan analisa.
Saya bukanlah tipe pendebat seperti Bapak dan senang membaca perdebatan yang bapak ikuti.
Bravo