Saya tiba di halaman 378 buku “ Kita dan Mereka” dan tertarik untuk menuliskan sebuah bahasan yang menarik dari buku ini.
Agustinus menulis bahwa meski beragama itu tidak mudah, karena kita harus mencurahkan waktu, energi dan sumber daya yang tidak sedikit untuk menjadi penganut, ternyata beragama dianggap membawa manfaat nyata bagi penganutnya. Apa sih sebenarnya manfaat nyata menjadi manusia yang beragama itu? Mengapa seseorang memilih beragama ketimbang menjadi ateis?
Tempat terbaik untuk melihat bagaimana agama bekerja adalah di lokasi bencana, di mana kekuasaan alam mengobrak-abrik segala tatanan yang telah dibangun manusia. Pada 26 Desember 2004 Aceh dilanda tsunami yang menewaskan ratusan ribu orang. Kerusakan dan korban yang begitu dahsyat ternyata tidak membuat warga yang selamat menjadi kehilangan tuhan. Agustinus memasuki tenda pengungsi yang penuh sesak dan semrawut tapi para pengungsi justru antusias bercerita tentang bagaimana mereka bisa selamat dari bencana air bah. Mereka kehilangan sanak keluarga dan harta benda namun dalam cerita mereka selalu terselip, “Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah!” dan “Allahuakbar! Allah Mahabesar!”
Seorang berjilbab lusuh bercerita tentang anak-anaknya yang masih kecil yang belum ketemu juga sambil terus berucap, “Syukur kepada Allah yang masih memberi saya hidup.”. Agustinus hampir tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Menurutnya para penyintas itu adalah orang-orang yang paling tangguh yang pernah ia temui. Kepercayaan pada agama telah memberikan tambahan kekuatan dan ketahanan mental pada para korban tersebut. Ketika melihat bencana sebagai cobaan dari Tuhan, mereka memperoleh ketenangan pikiran dan keyakinan bahwa ada kekuatan lebih besar yang akan membimbing hidup mereka menuju kebaikan. Ketabahan dan harapan adalah kunci kebahagiaan.
Mungkin jika Agustinus melihat ke Gaza ia akan melihat bukti lebih nyata betapa agama membuat warga Gaza yang mengalami genosida, ditindas dan diperlakukan begitu buruk oleh pemerintah Israel tetap tegar dan penuh harapan akan kehidupan yang lebih baik. 🙏
Sejumlah studi telah menunjukkan adanya hubungan positif antara afiliasi agama dan kesehatan. Penelitian awal pada universitas John Hopkins pada 1972 berdasarkan analisis sekitar 50.000 orang menunjukkan bahwa orang-orang yang rajin ke gereja mengalami penurunan resiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru, sirosis, dan bunuh diri. Studi lebih lanjut pada 4.000 individu lanjut usia menunjukkan bahwa mereka yang menghadiri gereja lebih dari sekali seminggu memiliki risiko kematian 46% lebih rendah dalam enam tahun berikutnya. Begitu juga dengan beberapa penelitian pada 1980-an dan 1990-an.
Tentu tidak bisa langsung disimpulkan bahwa rajin beribadah pasti akan mendatangkan kesehatan, kebahagiaan, dan umur panjang. Banyak faktor lain yang bekerja di samping agama. Namun setidaknya ada penjelasan mengapa orang beragama bisa merasakan sensasi kebahagiaan yang relatif tinggi. Ada fakta yang menarik lain tentang orang Aceh. Jika Anda baca ternyata Provinsi Aceh adalah propinsi dengan Keluarga Paling Bahagia se Indonesia. Padahal propinsi ini adalah propinsi termiskin di Sumatra. Kok bisa propinsi termiskin di Sumatra tapi Paling Bahagia se Indonesia? Mungkin ada yang mau bilang ‘Money cannot buy happiness ‘. 😁
Sebaliknya dengan masyarakat modern. Masyarakat Inggris modern kini menjadi semakin ateis dan bersamaan dengan itu tren depresi dan bunuh diri meningkat. Salah seorang warga Inggris menyatakan bahwa ada hubungan sebab-akibat di antara keduanya. Ateisme menempatkan manusia di atas segalanya padahal pada kenyataannya banyak hal dalam hidup ini di luar kendali manusia. Ketika seorang ateis mengalami kegagalan dalam hidup, ia menemukan realitas bahwa ia sama sekali tidak berdaya, dan itu bertentangan dengan cerita di dalam kepalanya bahwa manusia adalah pusat dunia. Perbenturan itu membuat orang ateis merasa hancur dan depresi. Dan itu banyak dihadapi oleh orang Eropa sekarang.
Menurut Agustinus, secara obyektif kehidupan di bumi ini tidak bermakna. Manusia lahir, menjadi dewasa, berkembang biak, lalu menua dan mati. Tidak ada yang bermakna dalam siklus biologis itu. Sama dengan tidak bermaknanya seekor ulat yang menjadi kupu-kupu. Namun kita manusia senantiasa berupaya untuk membubuhkan makna pada berbagai pernak-pernik dalam kehidupan kita. Agama memberi kita penjelasan bahwa setiap kehidupan di bumi ini ada tujuannya dan punya makna. Bahkan semua ciptaan Tuhan seperti semut dan serangga punya makna dalam hidup ini.
Begitulah sekelumit kisah dalam buku ini. Masih sangat banyak hal yang disampaikan oleh buku yang sangat menarik ini, Rasanya banyak yang ingin saya tulis setelahnya. Tapi ini pun baru separoh buku yang saya baca.
Semua yang dijelaskan sangat menarik dan membuat saya merenung dan tidak ingin segera menyelesaikannya.
Balikpapan, 18 Maret 2024
Satria Dharma
https://satriadharma.com/