Syahdan…
Suatu ketika Rasulullah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan benih kurma dengan penyerbukan. Melihat ini Rasulullah lalu mengomentari apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah tersebut dan bertanya mengapa benih kurma itu mesti dikawinkan segala. Mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alamiah. Penduduk Madinah yang petani kurma itu sangat menghormati Nabi Muhammad sebagai pemimpin panutannya. Ia lalu mengikuti saran Rasulullah dan berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurmanya menurun karenanya.
Panennya berkurang karena mengikuti saran Rasulullah. Para petani kurma kemudian melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian sadar akan keterbatasan pengetahuannya tentang menanam kurma. Maka keluarlah sabda Rasulullah: Wa Antum A’lamu biAmri Dunya-kum, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu. http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg00446.html
Apa artinya ini?
Ketika Nabi saw memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu. Untuk manusia setingkat Nabi apa pun perkataannya, sikapnya, dan bahkan diamnya pun bisa dianggap sebagai hukum, aturan, dan ketentuan. Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum” kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu. Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu. Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.
Mengapa saya mengungkapkan kembali kisah ini? Karena ternyata masih saja banyak umat Islam itu yang tidak paham soal ini. Mereka menganggap bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah itu sudah mengatur segala sesuatunya urusan dunia dan akhirat sampai sedetil-detilnya mulai jaman dulu sampai nanti pada waktu kiamat. Haah…?! Yang benar sajalah…!
Seorang teman yang menjadi anggota organisasi politik Islam transnasional selalu mengritik demokrasi dan mengatakan bahwa demokrasi itu ‘haram’ karena bertentangan dengan ajaran Islam. Katanya dalam ajaran Islam semua peraturan kehidupan di dunia HARUS berasal dari Allah. Alasannya karena Allahlah yang menciptakan manusia sehingga Allahlah yang paling tahu bagaimana mengatur kehidupan di dunia. Bahkan jika kita membuka-buka di internet maka akan kita temukan indoktrinasi mereka yang mengatakan bahwa demokrasi itu sistem kufur. http://hizbut-tahrir.or.id/2009/04/11/demokrasi-sistem-kufur-cover/
Berikut ini saya kutipkan argument tentang kekufuran system demokrasi.
Demokrasi Sistem Kufur
Demokrasi adalah suatu konsep tentang realita kehidupan dimana manusia berkehendak untuk membuat peraturan hidupnya (Demos: rakyat; kratos: pemerintahan). Padahal, aturan hidup itu sudah dibuat oleh Allah SWT dengan sangat sempurna. Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan ini sudah menyertakan tata cara “penggunaan” alam semesta sebagaimana sebuah pabrik membuat aturan pakai tentang suatu produk yang dibuatnya. Jika Allah sudah menciptakan sebuah aturan untuk hidup ini maka mengapa kita sebagai manusia berani untuk membuat aturan lain selain aturan Allah SWT yang Maha Mengetahui kondisi alam semesta?
Perintah untuk memutuskan perkara kehidupan menurut aturan Allah adalah wajib hukumnya, maka apakah kita akan menginginkan aturan manusia sebagai pengatur kehidupan ini. Sebagai umat Islam, kita jangan sampai tertipu oleh tipu daya orang-orang kafir bahwa demokrasi merupakan sistem politik paling baik yang bisa mengakomodir kepentingan seluruh umat manusia. Anggapan sesat ini membuat kaum Muslimin berpaling dari aturan Allah SWT dan masuk ke dalam kubangan maksiat secara berjamaah.” http://nchiedive.multiply.com/journal/item/341?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Jika kita baca sekilas argumen ini nampak seolah benar. Padahal argumen yang digunakan jelas salah kaprah. Banyak umat Islam yang menghantam demokrasi dengan mengatakan bahwa demokrasi itu berarti tidak mengakui aturan Tuhan. Tentu saja itu salah besar.
Apakah benar dalam ajaran agama Islam bahwa untuk mengatur kehidupan di dunia Tuhan harus selalu hadir…?! Tentu saja tidak. Agama tidak diturunkan untuk itu. Contohnya ya soal bagaimana menyerbukkan benih kurma tersebut. Bahkan Rasulullah tidak memiliki pengetahuan yang lebih baik ketimbang petani kurma Madinah sehingga beliau menyatakan bahwa “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu. Apatah lagi soal urusan dunia ultra-modern sekarang ini.
Sebagai contoh, untuk mengatur lalu-lintas apakah Tuhan harus mengeluarkan aturan? untuk urusan pertanian, perkebunan, perkantoran, peraturan sekolah, dll apakah harus diatur oleh Tuhan? Untuk pembagian shift kerja apakah Tuhan juga harus turun tangan…?! Itu kan juga peraturan…?!
Lha lantas apa gunanya Tuhan memberi kita otak dan agama kalau semuanya masih harus
diurusi oleh Tuhan…?! Mbok ya bikin sendiri gitu lho aturan untuk kehidupanmu. Ndak usah sedikit-sedikit minta ‘fatwa’, sedikit-sedikit minta Tuhan turun tangan, dlsb. Kayak binatang dan tanam-tanaman aja…!
Mereka yang membenturkan demokrasi dengan ajaran agama berkilah bahwa demokrasi itu ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ lantas di mana peran Tuhan kalau semuanya serba rakyat? Katanya dalam demokrasi Tuhan tidak punya peran karena sudah diambil alih semua oleh rakyat. Makanya itu menjadi sistem yang kufur. Masya Allah…! Kita memang tidak sedang bicara tentang kekuasaan Tuhan (karena Tuhan memang berkuasa atas segala sesuatu). Itu domain yang berbeda.
Demokrasi itu lawannya adalah kesewenang-wenangan dan totaliterisme. Jadi jika tidak demokratis maka tentu totaliter. Mereka yang menolak negara yang demokratis berarti ingin negara yang totaliter yang pemimpinnya memegang kekuasaan absolut di mana rakyat tidak punya perwakilan atau suara. Hanya orang yang tidak paham yang membenturkan antara demokrasi dengan kekuasaan Tuhan.
Coba bayangkan bagaimana mungkin manusia bisa hidup jika SEMUA aturan harus datang dari Tuhan. Apakah peraturan lalu lintas juga harus datang dari Tuhan? Apakah UU Tenaga Kerja harus datang dari Tuhan? Peraturan dan Undang-undang Pertambangan, Migas, Kesehatan, KDRT, dll harus dari Tuhan…?! Lha apa kerjanya manusia kalau minta semuanya disediakan oleh Tuhan? Bukankah manusia itu sudah dijadikan ‘khalifah’ oleh Tuhan agar bisa mengurusi dirinya dan alam semesta ini…?! Lha kok sekarang semua mau dikembalikan pada Tuhan sih…?!
Mereka yang menghantam demokrasi dan mempromosikan sistem yang katanya syar’i dan berasal dari Al-Qur’an dan hadist MAU TIDAK MAU pasti akan membuat aturan-aturan juga untuk mengurusi segala sesuatunya. Dan apakah mereka mau MENGAKU-NGAKU bahwa aturan yang mereka buat itu sebagai ‘aturan Allah’…?! Bagaimana organisasi politik tersebut bisa menetapkan bahwa UU yang akan dihasilkan oleh pemimpinnya nanti adalah benar-benar ‘aturan Allah’ padahal sepenuhnya merupakan hasil pemikiran mereka sendiri…?! Bukankah pada akhirnya nantinya mereka juga akan menggunakan sistem demokrasi?
Bahkan Tuhan itu sangat demokratis meski pun terhadap manusia ciptaanNya. Dalam beberapa permasalahan di mana Rasulullah dan para sahabatnya berbeda pendapat ternyata Tuhan justru membenarkan sahabat (dalam hal ini Umar). Contohnya adalah dalam hal penentuan nasib tawanan Perang Badar. Ketika Perang Badar Nabi saw mengajak sahabat-sahabatnya membahas masalah tawanan perang Badar. Abu Bakar mengusulkan agar umat islam meminta tebusan atas tawanan tersebut. Sedangkan Umar mengusulkan agar para tawanan tersebut dibunuh karena kalau dibebaskan mereka akan kembali lagi memusuhi umat Islam. Mereka tidak akan jera karena toh bisa menebus diri dengan harta. Dan itu tentu akan menguntungkan kaum kafir karena mereka lebih kaya daripada umat Islam. Umat Islam akan terus menerus diperangi oleh orang-orang yang sama. Tapi Nabi menyetujui pendapat Abu Bakar yang mengusulkan mereka tidak dibunuh tapi dijadikan tebusan. Beliau tidak menyetujui pendapat Umar yang menghendaki mereka dibunuh. Tetapi kemudian turun ayat yang membenarkan pendapat Umar . Allah berfirman : “Tidak patut bagi Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi”. (Q.S. al Anfal, 67). Bayangkan…! Bahkan Tuhan lebih membenarkan pendapat Umar padahal Nabi sendiri lebih cenderung pada pendapat Abu Bakar!
Ada beberapa ayat yang turun karena Umar. Umar pernah menyampaikan keinginannya kepada Nabi saw. agar maqam Ibrahim dijadikan tempat shalat. Maka turunlah ayat: “Dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat shalat” . ( Q.S. al Baqarah, 125). Ia juga pernah menyampaikan kepada Nabi saw.: “Bagaimana kalau anda perintahkan saja isteri-isteri anda untuk memakai hijab ( penutup wajah ). Sebab mereka dilihat bukan saja oleh orang baik-baik, tetapi juga orang-orang yang jahat”. Lalu Allah menurunkan ayat: “Apabila mereka meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. (Q.S. al Ahzab, 53).
Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat-pendapat Umar yang sejalan dengan kehendak Allah berjumlah 14 masalah. Antara lain; usulannya kepada Nabi agar tidak menyembahyangi jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Al Qur-an menyatakan :”Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi (seorang) yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya …”. (Q.S. al Taubah, 84). Umar juga berkeinginan mendapatkan penjelasan yang tegas mengenai persoalan khamr (minuman keras). Ia mengemukakan keinginan itu dalam do’anya : “Ya Allah, berikan kami kejelasan tentang khamar secara tegas dan tuntas. Maka turunlah ayat yang mengharamkannya.
http://ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2010/04/umar-bin-khaththab-al-faruq-ra.html
Ini semua menunjukkan bahwa Allah tidaklah ‘sewenang-wenang’ dalam menetapkan aturan meski pun tentu saja Allah adalah Maha Berkuasa. Bahkan tidak selamanya Tuhan membenarkan pendapat NabiNya dan mengesampingkan pendapat sahabat Nabi yang hanya manusia biasa. Tuhan itu demokratis…!
Apa bukti lain bahwa Tuhan itu demokratis dan tidak sewenang-wenang? Salah satu bukti yang sangat penting adalah tentang masalah IMAN. Kalau Tuhan ingin semua manusia beriman , mengapa dia membiarkan orang menjadi kafir atau atheis? Padahal ia Maha Kuasa untuk membuat semua hambaNya beriman. Ini bukti bahwa Tuhan tidak hanya Maha Kuasa, tapi juga Maha Demokratis. Dia tidak mendikte, tetapi memberi pilihan. Dengan konsekuensi tentunya. Jika kita memilih beriman maka ada reward dan ada caranya. Tuhan tetap memberi panduan dan petunjuk melalui Rasul dan Kitab-Nya. Tuhan juga memberi kita akal agar bisa berpikir dan memilih sendiri mana jalan yang akan kita lalui, jalan yang lurus atau jalan yang sesat.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS Yunus ayat 99)
Tentu dengan sangat mudah saja Tuhan bisa menjadikan semua manusia menjadi pengikutNya. Tapi Tuhan ingin manusia beriman karena kehendak mereka sendiri, bukan dengan paksaan. Maka Tuhan memberi kita petunjuk dan akal, tapi kita sendirilah yang memutuskan apakah hendak mengikuti petunjuk itu atau tidak dengan mempergunakan akal kita. Justru keimanan sesorang pada Tuhan itu harus didasarkan pada kemerdekaan memilih yang diberikan oleh Allah khusus pada mahluk yang namanya manusia, dan kemerdekaan adalah salah satu pilar demokrasi yang hakiki.
”Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahf ayat 29).
”Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Sesungguhnya telah jelas antara yang benar dan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah 2:256).
Kepada para Nabi pun Tuhan berpesan agar tidak memaksa. Nabi hanyalah seorang pemberi peringatan, keputusan untuk mengikuti atau tidak ada dalam diri setiap manusia masing2.
“Jika mereka berserah diri, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanya menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hambaNya.” (QS. Al-’Imran ayat 20)
Contoh lain adalah soal perintah sholat. Ketika mi’raj, awalnya Tuhan memerintahkan shalat sebanyak 50 rakaat. Nabi Muhammad kemudian menawar jumlah rakaat itu diturunkan dengan alasan umatnya tidak akan kuat sholat sebanyak itu dalam sehari semalam. Tawar menawar itu terjadi beberapa kali hingga akhirnya disepakati shalat hanya 5 rakaat.
Bukankah ini semua menunjukkan betapa demokratisnya Allah SWT? Lantas mengapa dikatakan bahwa demokrasi itu adalah sistem kufur. Padahal Tuhan sendiri yang mengajrkan pada kita bagaimana bersikap demokratis…?!
Balikpapan, 11 Desember 2011
Salam
Satria Dharma
artikel yg bagus
Di website ini ada “JURUS DEWA MABOK PENGGILA KHILAFAH”.
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/kita-akan-dihisab-dengan-al-qur-an-dan-sunnah-bukan-uud-dan-pancasila.htm
Sebuah tulisan yang sangat bagus dan saya secara garis besar setuju.
Secara “filosofis” saya hanya ingin mengatakan bahwa “apa yang disebut sebagai agama dan atau kitab suci, sebenarnya bukanlah agama atau kitab suci itu sendiri, MELAINKAN hanyalah TAFSIRAN kita tentang agama dan kita suci tersebut”.
Sebagai sebuah tafsiran, maka akan terbuka lebar peluang akan terjadinya perbedaan satu sama lain. Dari sinilah “ruang demokrasi” diperlukan. Ketika terjadi penafsiran yang berbeda, mereka bertukar pikiran dengan menjelaskan argumen masing-masing. Namun, ketika tidak terjadi pertemuan penafsiran, maka tafsiran yang paling banyak didisepakati oleh umatnya akan diberlakukan sebagai sebuah tafsiran resmi di tempat tersebut. Dalam agama yang kita yakini, hanya Rasul dan Nabi saja yang kita yakini sebagai penafsir yang paling benar yang perlu kita ikuti.
Sebagai catatan tambahan, saya ingin menyampaikan bahwa menurut saya ajaran agama tidak hanya terbatas kepada hal-hal yang tersurat dalam sebuah kitab suci (dan juga Hadist, dalam agama Islam), namun juga hal-hal yang tersirat.
Misalnya, (menurut saya) science, hukum alam, fisika, kimia, biologi, matematika dlsb-nya adalah sebuah “sunatullah” yang harus kita ikuti dan kita pedomani dalam menjalankan dan membuat aturan dalam kehidupan ini. Jelas (menurut saya), Sunatullah adalah ajaran agama. Seperti contoh dalam kasus “bercocok tanaman kurma” di atas, maka pada hakekatnya adalah menjalankan hukum-hukum alam, menjalankan sunatullah, dan ini berarti menjalankan sesuatu yang berdasarkan agama juga. Untuk itulah, para peneliti bekerja siang malam baik di laboratorium maupun di alam sekitarnya untuk mempelajari fenomena alam, mempelajari sunatullah, mempelajari agama yang mungkin saja tidak tersurat di dalam kitab suci namun tersirat di dalamnya.
Demikian sekelumit tambahan catatan dari saya. Maaf bila ada kesalahan. yang jelas, jika ada kesalahan, ini murni kesalahan saya, kesalahan penafsiran saya terhadap agama saya, dan bukan kesalahan dari agama itu sendiri.
ternyata organisasi transnasional yg sering teriak2 khilafah hari ini uda semakin besar y… Alhamdulillah semoga apa yg mereka cita2kan segera terkabul… kalo ditengah jalan ada orang2 sinis… itumah biasa… ntr juga mreka bakal koit….hehe.,…viiisssss
“Apakah UU Tenaga Kerja harus datang dari Tuhan? Peraturan dan Undang-undang Pertambangan, Migas, Kesehatan, KDRT, dll harus dari Tuhan ?! Lha apa kerjanya manusia kalau minta semuanya disediakan oleh Tuhan? Bukankah manusia itu sudah dijadikan khalifah oleh Tuhan agar bisa mengurusi dirinya dan alam semesta ini ?! Lha kok sekarang semua mau dikembalikan pada Tuhan sih ?!”
Izinkan saya menjawab….
Jawabnya… IYA, ya urusan2 itu harus dari Allah. Penjelasannya silakan ikut acara kajian, baca buku, atau majalah2 itu dibaca juga dalemnya pak, apa baru dilihat covernya yah…? Kerjanya manusia yah, mengikuti “SOP” dari Allah. Lha ini kan buminya Allah, justru karena kita khalifah Allah kita merawatnya dengan SOP dari Allah dan Rasul-Nya. Memang kalau yang dingkat contohnya adalah urusan penyerbukan tanaman ya itu adalah ilmu SAINS, nabi SAW tidak mengatakan kita lebih paham berarti kita harus belajar SAINS. Namun, bagaimana dengan tambang emas, meinyak bumi, itu gmn ngurusnya? itu sudah ada contoh pengaturannya, Sesungguhnya, Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,Yakni tambang garam yang ada di daerah Marib. Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa al-idd). Ibnu al-Mutawakkil berkata, Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal). [HR. Imam Abu Dawud]. Jadi mari dipisahkan antara Ilmu bebas nilai dan TSAQOFAH. Kalau di universitas, ILMU yang bebas nilai itu spti Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Kedokteran, ini fardu kifayah untuk diketahui muslim. Namun, utk TSAQOFAH, seperti F.Ekonomi, FISIP, F.Hukum, muslim haruslah mengikuti aturan Islam…
UU Pertambangan, Migas, Kesehatan, Ketenagakerjaan ya harus dari Allah. Penjelasannya silakan ikut acara kajian, baca buku, atau majalah2 itu dibaca juga dalemnya pak, apa baru dilihat covernya yah…? Kerjanya manusia yah, mengikuti “SOP” dari Allah. Lha ini kan buminya Allah, justru karena kita khalifah Allah kita merawatnya dengan SOP dari Allah dan Rasul-Nya. Memang kalau yang dingkat contohnya adalah urusan penyerbukan tanaman ya itu adalah ilmu SAINS, nabi SAW tidak mengatakan kita lebih paham berarti kita harus belajar SAINS. Namun, bagaimana dengan tambang emas, meinyak bumi, itu gmn ngurusnya? itu sudah ada contoh pengaturannya, Sesungguhnya, Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,Yakni tambang garam yang ada di daerah Marib. Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa al-idd). Ibnu al-Mutawakkil berkata, Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal). [HR. Imam Abu Dawud]. Jadi mari dipisahkan antara Ilmu bebas nilai dan TSAQOFAH. Kalau di universitas, ILMU yang bebas nilai itu spti Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Kedokteran, ini fardu kifayah untuk diketahui muslim. Namun, utk TSAQOFAH, seperti F.Ekonomi, FISIP, F.Hukum, muslim haruslah mengikuti aturan Islam…
Anda itu tidak paham apa artinya ‘hukum’ dan apa itu ‘undang-undang’. Tindakan Nabi itu bukan hukum dan bukan undang-undang. Tidak semua tindakan Nabi itu berimplikasi hukum dalam Islam.
Kalau apa yg dilakukan Nabi itu hukum lantas mengapa diralat (dan justru mengikuti pendapat sahabat)?
Terima Kasih atas artikelnya, atas budi baiknya semoga Allah SWT membalaskan dengan kebaikan yang banyak, Aminsemoga
Pak Satria, jawaban Bapak tentang pemahaman Demokrasi oleh saudara kita dari Hizbut Tahrir (HT) juga tidak tepat.
Contoh yg Bapak gunakan memang itu urusan pertanian dan masalah teknik. Sementara yg disuarakan oleh HT, adalah Demokrasi dalam posisinya sebagai sistem pemerintahan dan ideologi yang diterapkan oleh Umat Islam. Kalau masalah teknik pertanian, peternakan, dan sjenisnya, saudara dari HT tidak mempermasalahkan itu.
Demokrasi yang dianggap sistem kufur itu, krn sistemnya telah mengutamakan rakyat/orang banyak/manusia dalam membuat Hukum yang ada kaitannya dengan ideologi dan aqidah.
Jadi, mohon Bapak juga yg suka baca, untuk membaca-baca buku sumber yg digunakan oleh HT.
Saya sudah kenyang berdebat dengan orang-orang HTI dan bahkan ikut milis khusus untuk debat dengan orang-orang HTI. Mohon maaf, menurut saya orang-orang HTI itu tidak paham apa itu demokrasi. Tidak ada istilah ‘membuat hukum yang berkaitan dengan aqidah’. Justru orang-orang HTI itu mencampuradukkan antara hukum dalam agama dengan hukum dalam kepemerintahan atau kemasyarakatan.
Pemilihan khalifah dalam Islam adalah contoh nyata dari sistem demokrasi yang dijalankan oleh para sahabat Nabi. Umat Islam bertengkar soal siapa pengganti Nabi sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Mereka kemudian mengadakan pertemuan utk menentukan siapa yg paling pas utk menjadi pengganti Nabi. Mereka mengajukan calon masing-masing. Dan mereka juga mengajukan argumen masing-masing dengan berkampanye ttg kehebatan dan keutamaan calon masing-masing.
Ketika Umar mengusulkan dan mempromosikan Abu Bakar dan mayoritas umat di persidangan tersebut sepakat maka yg lain akhirnya ikut. (Artinya Umar adalah ‘king maker’ pada momen tersebut). Setelah terpilih Abu Bakar kemudian dilantik dengan cara dibaiat. Setelah itu Abu Bakar mengucapkan pidato pengangkatannya sebagai pemimpin.
Apakah ada yg tidak setuju dengan sistem yang digunakan saat itu dan tidak berikrar? Tentu saja ada. Termasuk keluarga Nabi sendiri. Tapi mereka tidak melakukan kudeta.
And that’s the essence of democracy yang selalu diingkari oleh orang-orang HTI.
Salam
Satria
menerima demokrasi karena alasan adanya musyawarah baik dalam islam maupun dalam demokrasi adalah penerimaan yang tidak berdasar..karena ide dasar demokrasi bukanlah musyawarah melainkan diletakkannya kedaulatan (hak absolut untuk menentukan hukum) di tangan manusia…domba dan babi punya kesamaan, tapi tidak bisa kita anggap bahwa babi sama dengan domba
Membuat hukum dalam kepemerintahan HARUS dilakukan oleh manusia, yang dalam hal ini para pemimpin yang ditunjuk. Tuhan telah membekali kita dengan segala piranti untuk membuat hukum kita sendiri.
Bagi umat Islam yang tidak paham soal ini bisa membaca kisah kekhalifahan Abu Bakar. Begitu beliau menjadi khalifah maka beliau langsung MEMBUAT HUKUM tentang para pembangkang zakat. Beliau menghukum dengan memerangi kelompok atau suku-suku yang mbalelo dan tidak mau membayar zakat pada kepemerintahan dibawahnya. Setiap khalifah tentu saja membuat hukumnya sendiri sesuai dengan kebutuhan umatnya.
Mana duluan ada Pak Satria,
musyawarah oleh para sahabat ataukah Demokrasi?
ataukah demokrasi itu mengadopsi Islam ataukah Islam mengadopsi demokrasi?.
Demokrasi ini adalah dagangannya org2 Barat untuk menghancurkan Islam. Krn Islam sudah merasa inferior duluan. Shg semua frase/istilah/ideologi dari Barat dilahap habis2an, dgn alasan agar Maju.
Bahkan Tuhan menciptakan dan mempraktekkan sikap demokratis sejak awal sebelum penunjukan Adam sebagai khalifah. Sebelum Tuhan menciptakan Adam Ia menanyakan pendapat para malaikat lebih dahulu. Malaikat semula menentang penunjukan Adam sebagai khalifah di bumi tersebut karena menurutnya manusia itu kerjanya hanya membuat kerusakan di bumi saja. Tapi setelah Tuhan menjelaskan kebijakanNya maka malaikat tunduk dan patuh. Iblis tetap pada prinsipnya untuk tidak tunduk pada Adam.
Tentu saja Tuhan bisa saja bersikap berbeda, yaitu langsung menunjuk Adam sebagai khalifah tanpa perlu menanyakan pendapat pada mahluk lain yang lahir lebih dulu. Tapi Tuhan ingin menunjukkan pada manusia bahwa BAHKAN TUHAN PUN BERSIKAP DEMOKRATIS.
Jadi, saudara-saudaraku…., terimalah fakta bahwa sikap demokratis itu lahir lebih dahulu sebelum ditunjuknya Adam sebagai khalifah. 🙂
Salam, Pak Satria.
Sungguh menarik cara Pak Satria memandang demokrasi. Saya pernah membaca sebuah paper yang ditulis oleh orang Barat (saya lupa judulnya dan di situs web yang mana). Inti tulisan tersebut adalah bahwa demokrasi adalah sistem yang buruk, karena hukum terbentuk oleh suara terbanyak. Seperti yang sudah kita saksikan di seluruh dunia, suara adalah “komoditas” yang dapat diperjualbelikan. Dengan demikian, yang akan menentukan hukum adalah mereka yang paling banyak memiliki modal untuk membeli “komoditas” suara, baik modal uang maupun modal kekuasaan. Jadi, demokrasi akan mengimplikasikan dihasilkannya hukum yang merupakan produk mereka yang memiliki modal. Tentu hukum yang dihasilkan adalah hukum yang berusaha untuk melestarikan kekuasaan, agar besok atau lusa, para pemodal ini (atau anak dan cucunya) kembali dapat membeli sebanyak-banyaknya “komoditas” suara dan kembali membuat hukum yang sesuai dengan kepentingan mereka. Solusi terhadap masalah ini adalah hukum harus dibuat tidak dengan jumlah “komoditas” suara yang membenarkannnya, tetapi harus dengan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Siapakah yang paling mumpuni kalau diminta merumuskan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan? Tentu saja Tuhan, melalui berbagai prinsip kebenaran dan keadilan yang telah diajarkanNya melalui para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam bisshawab.
Wa alaikum salam Pak Abu.
Terima kasih atas tanggapannya. Apa yg disampaikan dalam paper oleh orang Barat yg Anda maksud tentulah bukan tafsir satu-satunya tentang demokrasi. Sy bahkan melihatnya sebagai upaya utk mendeskripsikan demokrasi yg sedang terjadi di negaranya. Padahal azas demokrasi kan sudah diturunkan Allah sejak dari diangkatnya Adam sebagai khalifah pertama. Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah Islam pertama dulu juga berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yg samasekali tidak ada hubungannya dengan pemilik modal yg kuasa membeli suara. Singkatnya, apa yg disampaikan oleh org Barat itu adalah kasuistis dan bukan gambaran utuh ttg demokrasi itu sendiri.
Terima kasih sekali lagi atas tanggapan Anda.
Maaf, saya lupa menjawab soal prinsip kebenaran dan keadilan yg disebut-sebut. Tuhan sendiri sebagai pemilik mutlak kebenaran dan keadilan TIDAK memaksakan kebenaran dan keadilanNya agar diterima dan digunakan oleh manusia sebagai mahlukNya. Padahal alangkah mudahNya bagi Tuhan utk membuat manusia mengikuti kehendak dan kebenaranNya. Tapi toh Tuhan memberikan pilihan bagi manusia utk berjalan di jalan yg benar atau memilih kesesatan dengan konsekuensi masing-masing.
Begitu juga dengan memilih pemimpin. Bukankah sebenarnya setiap masyarakat juga sudah tahu siapa pemimpin yg layak utk dipilih dan siapa pemimpin yg buruk? Pilihan ada di tangan mereka. Jika mereka mengikuti kebenaran maka mereka tentu akan memilih pemimpin yg sesuai dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Tapi jika mereka lebih memilih pemimpin yg culas maka mereka akan menerima resikonya. Sunnatullah berjalan dengan prinsip ini.
Terima kasih dan saya tunggu komentar balik Anda, Pak Abu.