Saya punya teman yang asyik. Kalau kebanyakan orang suka ngutang, dia ini malah suka ngutangi. Pokoknya hampir semua teman yang butuh utangan nembaknya ke dia. Dan dia selalu berusaha untuk memberi utangan, meski seringkali yang ngutang lupa sama utangnya dan balik lagi ke dia untuk ngutang yang ke sekian kalinya. Waktu saya tanya apakah banyak orang yang ngemplang utangnya dia bilang, “Fifty- fiftylah…! Separoh mbayar, separoh lali alias lupa.” sambil tertawa. Jadi sekitar separoh yang berutang padanya tidak membayar utangnya.
Tapi itu tidak membuatnya kapok ngutangi. “Saya bersyukur bisa ngutangi.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Saya sungguh bersyukur bahwa saya berada pada posisi ngutangi dan bukan pada posisi yang berutang. Orang berutang itu sebenarnya berada pada posisi yang sulit. Seringkali teman-teman yang ngutang ke saya itu datang dengan menahan rasa malu yang besar. Tapi karena memang kepepet ya apa boleh buat. Walau pun malu ya terpaksa dilakoni.”
“Tapi kalau diutangi terus dan utangnya tidak kembali kan lama-lama jugrug alias bangkrut awakmu,” pancing saya.
“Kalau ngutangi orang ya kamu harus smart agar tidak kerepotan,” jawabnya. “Jangan ngutangi dengan uang belanja bulanan. Itu haknya keluarga. Itu kewajiban primer yang harus dipenuhi dulu sebelum mendanai yang sekunder. Saya ngutangi dengan dana yang memang benar-benar aman. ”
“Dana yang aman maksudnya apa?” tanya saya.
“Artinya memang bukan dana yang bakal saya butuhkan untuk keperluan lain. Jadi kalau yang ngutang mbleset janjinya, dan kebanyakan memang mbleset, maka saya tidak akan kerepotan. Toh dana itu memang sebenarnya dana kelebihan dari kebutuhan keluarga. Jadi kalau diutang malah ciamik,” jawabnya sambil tertawa.
“Lho kok ciamik?”
“Lha daripada dipinjamkan ke bank sebagai tabungan kan mending dipinjam teman untuk menutupi kebutuhannya,” jawabnya.
“Iya kalau dibayar. Lha kalau pura-pura lupa lalu dikemplang?” uber saya.
“Berarti ada masalah. Teman yang baik pasti ingin membayar utangnya. Kalau sampai dia tidak membayar utangnya berarti dia ada masalah. Saya mah tidak ada masalah. Toh itu uang kelebihan belanja yang kalau dibayar tidak membuat saya lebih kaya dan kalau tidak dibayar tidak membuat saya kerepotan, apalagi bikin miskin.”
“Apa yang membuatmu suka ngutangi orang?” tanya saya penasaran.
“Karena saya ingin melepaskan beban saya. Kalau ada teman yang datang dengan wajah lusuh dan menceritakan masalahnya. Lalu dia pinjam uang agar lepas dari masalahnya. Saya seolah merasa bahwa itu adalah masalah saya sendiri. Semakin banyak dia bercerita semakin berat saya merasakannya. Jadi sebelum berlarut-larut kisahnya dan dada saya sesak mendengarnya segera saja saya pinjami dia agar beban yang saya rasakan menghilang. Urusan selesai…” dia lalu ngakak.
“Tahu nggak…? Orang datang ke saya mau ngutang itu wajahnya selalu kusut. Wajahnya mendung banget. Tak ada yang datang ngutang dengan wajah ceria, apalagi bahagia. Dia ngomong mau ngutang saja udah kesangkut-sangkut ngomongnya. Tapi begitu saya mengutanginya, wajahnya langsung ceria dan seolah semua beban yang ada di pundaknya langsung hilang. Bagi saya melihat momen seperti itu sangat spesial dan luar biasa. Saya bisa ikut merasakan kelegaan yang sama. Apa yang dia rasakan juga bisa saya rasakan. Bedanya dia di posisi ngutang sedangkan saya di posisi yang ngutangi.” Dia ngakak lagi.
“Ada nggak peristiwa utang mengutang yang membuatmu terkesan?” tanya saya penasaran.
“Ya. Dulu waktu saya masih bujang juga sudah sering diutangi orang. Karena masih bujang jadi kebutuhan saya juga sedikit. Selama bisa ngutangi ya saya ngutangi siapa saja yang butuh. Suatu ketika ada tetangga yang agak jauh dan saya tidak kenal datang ke rumah. Dia mau pinjam uang pada saya untuk keperluan sehari-hari keluarganya. Sekedar untuk memberi makan keluarganya. Bayangkan…! Dia datang ke saya tampak sekali sangat berat dan memberanikan diri. Supaya saya percaya maka dia menjaminkan sepeda kumbangnya yang dia pakai sehari-hari. Tentu saja saya tidak perlu lha wong sepeda itu dia perlukan. Ya saya utangi sajalah…” dia menarik napas sebelum meneruskan kisahnya.
“Ternyata dia tidak bisa membayar utangnya dan berjanji mundur. Saya mah tidak peduli karena memang sebenarnya sudah saya niatkan untuk sedekah saja. Sekali lagi sepeda kumbangnya mau diserahkan ke saya. Ya saya tolak. Ketika dia tahu bahwa saya masih bujang, dia memaksa saya datang ke rumahnya untuk mengenalkan keluarganya. Ternyata dia punya dua anak gadis yang ingin dia kenalkan. Tampak sekali dia ingin agar saya bisa dekat dan suka pada salah satu anaknya.” Dia berhenti sejenak dan matanya menerawang mencoba mengingat saat itu.
“Apa maksudnya dia ingin utang budi dibayar bodi? “ tanya saya menggodanya.
“Saya langsung trenyuh dan menangis dalam hati. Saya tahu apa yang dia inginkan. Dia menyorongkan anaknya pada saya. Kalau saya mau sama anaknya maka mungkin saya bisa jadi mantu yang akan membebaskannya dari kesulitan hidup. Tapi saya tidak bisa. Saya hanya bisa mengutangi. Saya tidak bisa membantu lebih daripada itu. Dan itu membuat saya sedih…
Saya membayangkan seandainya ada orang yang berpikiran jahat dan mau memanfaatkan situasi kepepetnya bapak itu maka mungkin terjadi…” jawabnya sambil menghela nafas.
“Mungkin terjadi apa…?” uber saya penasaran.
“Halaaah…! Pikiren dewe aelah… Orang yang terdesak bisa menggadaikan apa saja termasuk kehormatan dirinya. Dan saya sangat sedih setiap kali menemui hal semacam itu. Dalam situasi yang sama kepepetnya saya sendiri mungkin akan melakukan hal yang sama. Makanya saya bilang ‘Saya Ngutangi dan Saya Bersyukur’.
Hmmm…! Kayaknya saya mau ngutang juga sama dia kalau begini. Hahaha…!
Surabaya, 29 Juli 2020
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com