Saya punya sepatu yang bagus. Sepatu ini sudah lama saya miliki tapi masih tetap seperti masih baru. Sepatu ini memang hanya saya pakai jika ada acara-acara penting seperti menghadiri wisuda, pesta perkawinan, dan acara-acara formal semacamnya. Selain itu saya menggunakan sepatu saya lainnya. Saya punya banyak sepatu, utamanya sepatu kets atau olahraga. Sepatu formal saya juga punya beberapa tapi ini memang sepatu yang paling bagus menurut saya.
Melihat sepatu ini saya jadi bersyukur… 🙏
Saya bersyukur bahwa saya punya sepatu yang bagus seperti ini. Tidak semua orang punya sepatu yang bagus seperti ini. Sepatu yang bagus seperti ini menurut saya perlu disyukuri.
Saya lalu ingat kisah Muhammad Hatta, tokoh Proklamator kita. Bung Hatta terkenal akan kehidupannya yang jujur dan bersahaja. Saking jujur dan sederhananya beliau mendapat julukan “Mahatma Gandhi dari Jawa”. Beliau rela meninggalkan berbagai kemewahan dan keistimewaan yang sudah selayaknya diperolehnya sebagai seorang Wakil Presiden Indonesia. Menurut Bung Hatta, kehidupan pribadi dan pekerjaan mesti dipisahkan, termasuk dalam hal fasilitas yang diberikan negara untuknya. Ia pernah memarahi sekretarisnya karena menggunakan tiga lembar kertas Sekretariat Negara untuk membuat surat kantor wapres. Hatta kemudian mengganti tiga kertas tersebut dengan uang kas wapres. Bagi kita mungkin ini berlebihan. Lha wong kertas ae lho…! 🤔 Namun itulah cara beliau menegakkan integritasnya. Menurut Bung Hatta “Der Mensch ist, war es iszt” – sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan. Kalau yang kita makan banyak dari sumber yang tidak halal maka ia akan mempengaruhi prilaku kita.
Hal ini juga ditanamkan pada putri-putrinya. Salah satu putrinya, Gemala Rabi’ah Hatta yang sempat bekerja sambilan di Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney ketika mendapat beasiswa di Australia berkirim surat kepada ayahnya. Surat itu menggunakan amplop milik Konsulat dengan cap resmi. Akibatnya, Hatta membalas surat itu dengan nasihat. “Kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah pakai amplop Konsulat Jenderal Indonesia. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas,” kata Hatta. Hadeeh…! Sampai segitunya beliau itu… Atase mung amplop ae lho…! 🥴
Halida, putrinya yang lain, pernah juga mengalami hal serupa. Ketika kuliah di Universitas Indonesia, Halida membayar uang semester sebesar Rp30 ribu. Pihak kampus yang akhirnya tahu bahwa Halida adalah putri Bung Hatta, memutuskan membebaskan biaya kuliahnya. Namun Hatta menolaknya, dengan alasan masih sanggup membiayai, dan biarlah keistimewaan itu untuk mereka yang benar-benar tidak mampu. Bayangkan…!
Kalau kita anak wapres mungkin kita minta fasilitas ini dan itu ke kampus. Mungkin lho ya…! 😎
Pada tahun 1950 ibu Bung Hatta, Siti Saleha, ingin bertemu putranya. Bung Hatta lantas meminta keponakannya, Hasjim Ning untuk menjemput ibunya ke Sumedang. Hasjim Ning mengusulkan agar Ibu Siti dijemput dengan mobil dan supir wapres saja, agar beliau bangga. Tapi Hatta marah dan menolaknya. “Tidak bisa. Mobil ini bukan kepunyaanku, tapi kepunyaan negara,” kata Hatta ketika itu. Kalau kita sekarang mungkin barang kantor adalah milik kita juga. Mungkin lho ya …! 😎
Bung Hatta ini pernah menginginkan sepasang sepatu yang menurut beliau sangat bagus. Dikisahkan, suatu hari di pertengahan tahun 1950-an, Bung Hatta membaca koran. Di koran itu ada iklan sepatu Bally, merek sepatu kulit mewah asal Swiss. Bung Hatta tertarik. Ia ingin memiliki sepatu itu. Iklan itu lalu diguntingnya dengan rapi dan disimpan sebagai motivasi untuk menabung. Nanti kalau ia sudah punya uang baru akan dibeli. Namun sayang, sepatu itu tak pernah terbeli oleh Bung Hatta sampai akhir hayatnya. Iklan koran tersebut ditemukan terselip di dalam dompetnya, ditemukan keluarganya, setelah beliau wafat pada 1980.
Jadi sepasang sepatu yang bagus dan mahal bahkan tidak bisa dimiliki oleh Bung Hatta, pahlawan proklamator kemerdekaan yang pernah menjadi wakil presiden Indonesia sampai akhir hayatnya. Sungguh ngenes rasanya saya membaca kisah ini. 😔
Jadi kalau orang seperti saya punya sepatu yang bagus yang bahkan tidak bisa dimiliki oleh Bung Hatta, Sang Proklamator Kemerdekaan, maka saya patut bersyukur. 🙏
Surabaya, 24 Januari 2024
Satria Dharma