“Apakah kota suci Makkah dan Madinah itu benar-benar ada, Kek?” tanya seorang cucu kepada kakeknya.
“Ya, Makkah dan Madinah benar-benar ada,”jawab kakeknya. “Keduanya adalah kota suci yang bermandikan cahaya di pagi hari mau pun di malam hari. Di dalam kedua kota tersebut ada masjid yang sangat besar dan megah, namanya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Setiap waktu masjid-masjid itu dipenuhi oleh orang-orang yang beribadah mengagungkan nama Tuhan.”
“Apakah benar bahwa para peziarah tersebut datang dari berbagai negara dari seluruh dunia?” tanya cucunya yang lebih besar.
“Itu betul,”jawab kakeknya sambil tersenyum. “Para peziarah ini berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Kadang-kadang Kakek duduk di samping orang yang berkulit hitam, putih, kuning, coklat, bermata biru, coklat, berambut pirang, kriting, berombak, semua jenis manusia dari berbagai bangsa ada di sana.” Sang Kakek menengadahkan kepalanya mengingat-ingat kembali pengalamanya ketika berada di tanah suci. Senyumnya mengembang dan matanya berbinar-binar.
“Orang Bugis dan orang Dayak juga ada, Kek?” tanya cucu lainnya yang lebih kecil sambil merapatkan duduknya ke lingkaran. Matanya berbinar-binar.
“Tentu saja ada,” jawab si kakek sambil tersenyum. “Orang Madura seperti asal ibumu juga ada.”
“Berarti benar bahwa agama Islam itu adalah agama yang diperuntukkan bagi semua bangsa di dunia dan bukan hanya bagi orang Arab ya Kek?” Cucu lainnya bertanya dengan rasa kagum.
“Betul sekali, Cucuku,” Si Kakek tersenyum dan mengelus kepala cucunya. “Agama Islam itu diturunkan bagi umat manusia tanpa memandang apa suku, bangsa, ras, dan golongannya. Agama Islam itu bagi siapa saja yang menginginkannya.”
Seorang cucu yang paling besar yang semula mendengarkan dengan acuh tak acuh tiba-tiba menjadi tertarik. “Kek! Benarkah agama Islam itu adalah rahmat dan berkah bagi alam semesta tanpa memandang suku, bangsa, ras, dan golongan seperti kata Kakek barusan?” tanyanya dengan muka serius.
Si Kakek tidak langsung menjawab kali ini. Ia terdiam beberapa saat, menghela napas, dan bertanya,”Mengapa kamu bertanya seperti itu, Cucuku? Adakah hal yang membuatmu ragu?” Ia tahu bahwa cucunya yang paling besar ini pintar dan kritis.
“Banyak, Kek!” si Cucu menjawab pendek sambil menunduk lesu.”Sulit sekali rasanya menemukan contoh tentang Islam yang benar-benar rahmatan lil alamin saat ini. Mengapa di mana-mana yang terlihat justru Islam yang garang, rasis, penuh kebencian, sangat tertutup, dan tiada maaf?” kata-katanya terlontar cepat seolah kata-kata itu sudah ada lama di benaknya. Ada rasa gusar dalam pertanyaannya.
Si Kakek tertegun mendengar berondongan protes dari cucunya yang paling besar ini. Ia meraih tangan cucunya yang resah itu dan memegangnya. Ia mencoba mengumpulkan kata-katanya tapi tidak menemukan kalimat yang tepat. Ia tahu bahwa butuh dari sekedar kata-kata untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, agama yang memberikan berkah dan kedamaian bagi alam semesta. Ia juga tahu bahwa situasi yang ada saat ini adalah anomali dari ungkapan Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Ia bisa saja menceramahi cucunya tersebut dengan berbagai ajaran Islam yang ia pahami. Ia bisa saja mengutip berbagai ayat dan kisah tentang betapa ramah dan pemaafnya Islam. Ia hapal beberapa kisah tentang sifat lembut, kasih, dan pemaafnya Rasul dan beberapa sahabat dan para ulama. Tapi ia sadar bahwa cucunya ini tidak membutuhkan itu. Ia mungkin sudah pernah membaca kisah-kisah itu sendiri. Apa yang ditanyakannya adalah dilema, kontroversi dan kekecewaan umum yang dihadapi oleh banyak umat Islam lain. Untuk membuktikan Islam yang rahmatan lil alamin bukan dengan kata-kata tapi harus diwujudkan dengan pikiran, sikap, tindakan, perbuatan, dan prilaku oleh umat Islam itu sendiri.
“Itu pertanyaan yang sulit, Cucuku,” akhirnya Si Kakek menjawab.”Kamu sendirilah yang harus menjawabnya.” Ia menarik napas sebentar kemudian meneruskan, “ Bagaimana menurutmu sendiri, benarkah Islam itu agama yang rahmatan lil alamin?” Si Kakek memandang mata cucunya sambil tersenyum.
Si Cucu terhenyak ditanya balik seperti itu. Ia terdiam sejenak. “Sebenarnya aku yakin Islam itu rahmatan lil alamin, Kek.” jawabnya. “Banyak contoh yang bisa kita tunjukkan betapa agama Islam telah menjadi penerang hidup bagi manusia di segala jaman. Tapi aku belakangan ragu karena banyak sekali contoh yang justru sebaliknya…” ia membuang pandangannya kesamping.
Si Kakek tertawa kecil. “Kita kebetulan saja hidup di jaman yang mungkin menurut kita tidak sesuai dengan gambaran Islam yang rahmatan lil alamin.” Ia memegang tangan cucunya dan mengelus-elusnya. “Tapi kita selalu bisa menunjukkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin pada siapa saja meski pun dunia di sekitar kita menunjukkan sebaliknya. Apa yang kita lakukan itulah yang lebih penting.”
Suasana sekejap senyap. Tak ada yang bersuara. Para cucu terpana oleh percakapan yang tiba-tiba menjadi serius ini.
“Setuju, Kek!”jawab cucunya tadi akhirnya. Wajahnya tampak berubah gembira. Kegusaran di wajahnya menghilang. “Satu pertanyaan lagi, Kek!” kini senyumnya mulai mengembang.
“Apa itu, Cucuku?” si Kakek mengerenyitkan keningnya. “Jangan pertanyaan yang berat lagi, tolong…!” demikian pikirnya.
“Waktu pemilihan presiden Prancis kemarin kakek memilih siapa?” Si Cucu bertanya sambil tertawa dan menjauh.
Surabaya, 12 Mei 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com