Kemarin (9/4/12) seharian penuh saya mengikuti acara Dialog Kebijakan RSBI yang diadakan oleh Puslitjaknov Balitbang di Hotel Saphir, Jogyakarta. Sebetulnya pemrakarsanya bukan Balitbang tapi konsorsium ACDP Indonesia Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership di mana European Union, AUSAID dan ADB ikut sebagai donornya.
Adapun tujuan dari acara ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian program RSBI dalam rangka mencari strategi pelaksanaan program RSBI secara lebih efektif dan akuntabel bagi peningkatan mutu pendidikan. Peserta dialog ini adalah para kepala RSBI, yaitu : SMAN 3 Jogya, SMPN 5 Jogya, SMAN 70 Jakarta, SMA Sutomo Medan, SMPN 1 Surabaya, dan Dr Aos Santosa, pakar dari FKIP Unram. Saya diundang nampaknya dalam kapasitas sebagai salah seorang pengritik keras program (R)SBI.
Acara dibuka langsung oleh Kabalitbang baru, Prof Dr. Khairil Notodipuro, yang dalam sambutannya menyuarakan kembali ucapan Mendikbud yang menjadi landasan mengapa sekolah RSBI harus ada, Apa yang salah jika kita ingin memiliki sekolah yang bagus?. Tidak ada yang salah, jawab saya dalam hati, kecuali bahwa konsep sekolah yang bagus itu ternyata salah kaprah. Tapi tentu saja saya tidak menyampaikan hal ini pada beliau dan hanya saya sampaikan dalam diskusi.
Tidak ada hal baru dalam diskusi RSBI kali ini karena saya sudah mengikuti berbagai seminar dan diskusi tentang RSBI berkali-kali dengan orang yang itu-itu juga. Lagipula program RSBI ini sudah dikuliti habis tanpa ada kemajuan berarti dari Kemdikbud. Secara berkelakar Dr Bambang Indriyanto dari Balitbang menyatakan We have done everything except executing dan tentu saja saya amini.
Jika ditanyakan kepada para kepala sekolah (R)SBI ini apakah program ini sebaiknya diteruskan atau dihentikan tentulah mereka ingin agar sekolah ini diteruskan dengan berbagai perbaikan-perbaikan yang sifatnya lokal dan kasuistis.
Selama paparan dari kepala sekolah tentang apa yang telah mereka lakukan dan bagaimana mereka menyiasati kesulitan yang mereka hadapi dalam menjalankan program ini saya semakin yakin bahwa sebenarnya sekolah-sekolah ini memang sekolah yang unggul dan berprestasi sehingga walau tanpa label RSBI mereka tetap akan bisa berprestasi. Masalahnya adalah apakah label RSBI ini merupakan hal yang positif atau negatif bagi sekolah.
Positifnya jelas bahwa dengan label tersebut mereka akan langsung masuk dalam jajaran The Indonesian Dream Team Schools dengan segala fasilitas yang akan mereka terima. Semua orang tua pasti akan berlomba-lomba akan memasukkan anaknya ke sekolah dream team ini dan itu berarti sekolah akan mendapatkan siswa-siswa dengan kemampuan akademik terbaik dan sekaligus orang tua yang berpenghasilan dan berpendidikan menengah ke atas. Akan banyak keuntungan dan kemudahan bagi sekolah jika memiliki siswa dan ortu seperti ini. Sebagai contoh, SMPN 5 Jogya yang punya program studi banding ke Portland, AS, dengan kapasitas hanya 30 siswa tapi ternyata diminati oleh sekitar 90-an siswa. Artinya program yang membutuhkan biaya mahal pun (sekitar 15 juta rupiah/siswa) ternyata tidak ada masalah bagi orang tua. Bandingkan jika sekolah ini tak punya label RSBI dan siswa dan ortunya bukan dari kalangan menengah ke atas. Tentu akan sulit bagi sekolah ini untuk melakukan program semacam ini.
Tetapi ternyata permasalahan sekolah RSBI di setiap daerah memang tidak sama karena kebijakan setiap daerah juga bisa berbeda. Surabaya, umpamanya, tidak lagi mengistimewakan sekolah ini dan memberi dana yang sama dengan sekolah non RSBI. Dan ini artinya sekolah ini harus mencari dana sendiri untuk menjalankan setiap programnya. Rumitnya, pemkot Surabaya melarang ada pungutan pada orang tua sebagai konsekuensi program Wajib Belajar Dikdas 9 Tahun yang mengamanatkan larangan untuk memungut biaya pada peserta didik di jenjang SD dan SMP. Jika sekolah tak boleh lagi melakukan pungutan lantas apa kesaktian dari label RSBI ?! Semestinya pemerintah memiliki kebijakan yang seragam untuk semua programnya, demikian ungkapan kecewa Wakasek SMPN 1 Surabaya yang menghadiri acara ini.
Lanta apa negatifnya menyandang label RSBI ini? Tentu saja sekolah ini akan dimintai pertanggungjawabannya soal label tersebut. Ekspektasi masyarakat dan orang tua tentu juga tinggi dan itu harus membuat sekolah kadang-kadang melakukan jibaku. Banyak sekolah RSBI yang terpaksa harus menggunakan aksesori dan kosmetik-kosmetik yang tidak perlu demi sebuah label bertaraf internasional. SMAN 70 Jakarta bahkan menghadapi masalah yang lebih kompleks ketika terjadi perpecahan pada kubu komite sekolahnya dan bahkan harus bertarung ke pengadilan. Ada ortu yang ingin label RSBI dan ada yang menentang. Dan mereka bertarung sampai ke pengadilan.
Tapi yang lebih parah adalah penerjemahan label keinternasionalan dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Seperti dikomando semua sekolah RSBI seolah sepakat bahwa penggunaan bahasa Inggris di kelas oleh para guru adalah ciri khas keinternasionalan sebuah sekolah. Akhirnya mereka melakukan berbagai program-program yang sebetulnya justru merugikan mutu pembelajaran di kelas mereka sendiri. Dan ini menyebabkan merosotnya mutu sekolah RSBI secara umum. Hal-hal konyol seperti penggunaan bahasa Inggris yang berlepotan sebagai tanda keinternasionalan seperti membuat papan slogan berbahasa Inggris Tiada Hari Tanpa belajar yang diterjemahkan menjadi No Learning No Day adalah salah satu contoh. Kekonyolan ini bahkan dilakukan oleh Direktorat Kemdikbud dengan mengadakan Ujian Nasional khusus bagi siswa RSBI dengan menggunakan bahasa Inggris. Coba pikir apa sebenarnya tujuan dari itu? Apakah hasil ujian itu akan mereka gunakan untuk melanjutkan ke sekolah di luar negeri? Mau digunakan kemana UN berbahasa Inggris ini?
Ini terjadi karena Kemdikbud terjebak dalam logikanya sendiri bahwa kalau bertaraf internasional itu berarti menggunakan bahasa Inggris dalam pembelajaran di kelas. Dan untuk menguji apakah itu efektif maka harus ada ujian Nasional dalam bahasa Inggris. Sungguh konyol ! Terminologi bertaraf internasional sudah salah diterjemahkan sejak awal dan Kemdikbud semakin lama semakin kejeblos dengan lobangnya sendiri. Saya lantas mengingatkan mereka bahwa seorang peneliti dari University of Leeds, Hywell Coleman, pernah menulis makalah tentang RSBI dengan judul yang sangat provokatif SBI : What Are They For?. Coleman mengritik habis kebijakan penggunaan bahasa Inggris di kelas Indonesia yang dianggapnya tidak realistis dengan pernyataan The purpose of the schools is ambiguous dan the purpose of teaching other subjects through English is unclear. Bahkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris secara salah kaprah ini memakan korban kompetensi berbahasa Indonesia siswa kita. The consequences for other languages in Indonesia are potentially serious : competence in the national language (Bahasa Indonesia) is likely to decline. Coleman juga menengarai dampak negatif lainnya pada siswa yaitu bahwa program ini menimbulkan prilaku sosial yang negatif antara siswa RSBI dan yang non-RSBI. (The international standard schools appear to give rise to negative social attitudes between their pupils and those who study in mainstream schools) .
Satu hal yang saya catat dari para kasek ini adalah keseragaman mereka dalam menerjemahkan ukuran prestasi sebagai statistik jumlah siswa yang diterima di SMAN/PTN Favorit dan menang lomba-lomba. Ini jelas ukuran yang miskin imajinasi karena begitulah yang dikehendaki oleh direktorat kemdikbud. Itu ukuran yang tangibel dan mudah dipahami. Sedangkan prestasi siswa yang benar-benar melakukan sesuatu bagi masyarakat di sekitarnya seperti ikut dalam program pembrantasan buta huruf, membersihkan lingkungan, membantu panti jompo, mengelola sampah, membantu memecahkan masalah sosial di lingkungan, dll. tidak akan pernah dianggap sebagai sebuah prestasi yang pantas untuk ditonjolkan.
Dr Aos Santosa dalam kritiknya berharap agar pemerintah memperbaiki naskah akademik atau landasan yang dipakai sebagai rujukan program RSBI ini. Dan ketika saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya maka saya sampaikan bahwa hal tersebut akan sulit karena program RSBI ini memang sejak awal tidak memiliki naskah atau landasan akademik. Bahkan landasan pemikirannya bukan berdasarkan pandangan kependidikan melainkan keuangan. Saya masih ingat bahwa pada awal diluncurkannya program ini disampaikan bahwa salah satu alasan perlunya program ini adalah untuk mengurangi banyaknya siswa Indonesia yang belajar ke luar negeri sehingga membuat devisa bangsa melayang. Tentu saja ini alasan yang samasekali tidak akademis.
Salah satu kritik yang paling keras terhadap program ini adalah terjadinya kastanisasi pada pendidikan, kasta sekolah RSBI dan non-RSBI. Terjadi segregasi antara siswa kaya pada satu sisi dan siswa miskin di sisi lain. Pemerintah dianggap menciptakan sistem pendidikan yang tidak adil bagi siswa miskin. Pemerintah dianggap justru memberikan dana lebih besar dan menyubsidi siswa kaya dengan program RSBI ini. Ujian Nasional khusus bagi siswa RSBI adalah contoh nyatanya. Dengan menyelenggarakan ujian yang tidak jelas tujuannya tersebut maka pemerintah mengalokasikan dana pendidikan publiknya pada segelintir siswa kaya yang sebetulnya tidak perlu dibantu. Dan ini yang membuat pemerintah dianggap melakukan moral hazard dengan programnya ini.
Keinginan pemerintah untuk memiliki sekolah yang unggul dan beprestasi tentu saja sangat baik. Tapi jika itu lantas membuat teciptanya kasta dalam pendidikan maka tentu saja hal ini mengkhianati Undang-undang yang mensyaratkan perlakuan yang non-diskriminatif pada siswa. Keinginan pemerintah agar memiliki sekolah publik yang mampu bersaing secara internasional seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta yang mahal tentu saja tidak berarti membenarkan terjadinya privatisasi pada sekolah publik seperti yang terjadi dengan adanya program RSBI ini. Pemerintah memang tidak seharusnya memasuki ranah yang dimainkan oleh sekolah swasta karena pemerintah itu sejatinya mengelola sekolah publik yang memang harus berciri publik dan bukan privat. Dengan berciri privat maka pemerintah akan terjebak pada komersialisasi pendidikan pada sekolah-sekolah publik. Dana publik justru digelontorkan untuk segelintir siswa kaya yang sebenarnya tidak perlu dibantu, dan bukannya siswa miskin yang justru paling perlu dibantu.
Jogya, 10 April 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Pak Satria Yth,
Saya tertarik untuk membaca tulisannya Hywel Coleman tentang RSBI. Apakah saya bisa mendapatkan soft copynya? Kalau bisa, mohon dikirim ke email saya ya Pak.. terima kasih..