Saya sedang dalam perjalanan dari Surabaya ke Jogya dengan Batavia dan duduk di kursi emergency di bagian aisle (lorong). Ini memang kursi favorit saya karena ruang kakinya lebih luas dan saya bisa ke toilet dengan bebas sewaktu-waktu tanpa mengganggu penumpang lain. Jadi setiap kali check-in saya memang selalu minta kursi emergency di bagian lorong. Kalau tidak dapat kursi emergency – karena datang check-in pas waktu – maka saya tetap minta di bagian aisle (bacanya ‘aiel’) meski pun di kursi paling belakang. Kalau lagi apes maka saya dapat kursi di tengah diapit penumpang lain. I hate middle seat. Kursi paling nyaman, sebetulnya, tentu saja di bagian tengah diapit dua pramugari cantik dan ramah beraroma wangi. Tapi tak ada kursi seperti itu. Jadi lupakan saja impian tersebut. 😀
Semestinya saya bisa menikmati perjalanan saya ke Jogya ini karena saya sudah menyiapkan bacaan saya yg belum selesai “Making Globalization Work”. Saya bahkan merasa semakin akrab dg Stiglitz.
Tapi duduk di sebelah saya adalah seorang penumpang bertubuh tambun yg saya namai saja Mister Big. Mister Big ini dengan santainya melesakkan tubuhnya ke kursinya dan meletakkan ke dua lengannya yg besarnya seperti ular Anaconda dewasa ke pembatas kursi sepenuhnya. Walhasil tubuhnya melimpah ke kursi kiri dan kanannya dan mendesak dua penumpang lainnya utk menyesuaikan diri dengan limpahan tubuh dan lengannya. Saya sampai duduk miring kena spleteran tubuhnya.
Setelah itu ia langsung jatuh tertidur. Zzzzzz….! Waks…!
Saya mencoba utk berkonsentrasi pada bacaan saya selama beberapa waktu dan tidak memperdulikannya. Katanya kita harus selalu berpikir positif, utamanya kalau dalam keadaan negatif. Tapi duduk dengan posisi miring memang tidak nyaman. Saya mencoba melupakan ketidaknyamanan tersebut dengan mencoba membayangkan empuknya kasur di rumah saya tapi gagal lha wong situasinya berbeda.
Akhirnya buku saya tutup dan saya kemudian mengamati tubuh Mister Big yg tidur dengan nyamannya sambil ‘mbleber’ seperti itu. Sekejap timbul rasa iseng dalam hati saya utk mengagetinya dengan teriakan keras “Kebakaran…! Kebakaran…!” dan pingin tahu bagaimana reaksinya. Tapi untung pemikiran seperti itu hanya muncul sepersekian detik dan kemudian menghilang. Bisa dituduh teroris saya kalau itu saya lakukan.
Saya bisa saja sebenarnya mendesakkan tubuh saya agar Mr. Big ini menyesuaikan diri dg kapasitas kursinya tapi saya pikir mungkin tidak perlu mengambil sikap konfrontatif seperti itu. Sebetulnya ini agak bertentangan dg prinsip saya yang tidak mau berbuat dzalim dan tidak mau didzalimi. Saya akan selalu berusaha utk mempertahankan hak saya yg dilanggar orang lain sebisa-bisanya.
Tapi tiba-tiba saya kasihan pada Mr. Big ini. Ia sendiri mungkin tidak menginginkan memiliki tubuh sebesar dump-truck itu tapi ia tentu tidak bisa memilih utk memiliki bentuk tubuh ideal (seperti saya, umpamanya). Jadi itu adalah bad luck untuknya (dan good luck untuk saya), kata hati saya dengan bijak.
“Tapi kan dia bisa menyesuaikan diri dan mencoba untuk tidak melanggar hak orang lain dengan duduk lebih ‘mingkup’?” kata hati saya yg jengkel membantah. (‘Mingkup’ itu bahasa Indonesianya apa ya…?!).”Dengan duduk dalam posisi sedikit condong ke depan maka ia bisa menghindari ‘pelanggaran teritorial’ kursi kiri dan kanannya.” protes saya dalam hati.
“Tapi posisi tersebut mungkin sulit baginya. Orang gemuk itu memiliki kesulitan dalam mengambil posisi apa pun dibandingkan orang bertubuh ideal (seperti saya, umpamanya)” jawab hati baik saya yg tadi. “Bayangkan betapa susahnya orang gemuk harus memakai kaus kaki dan sepatu”.
“Ya itu resikonya punya tubuh gemuk!” serang hati jengkel saya lagi.”Tidak ada alasan utk tidak menghargai hak-hak orang lain. Kegemukan (atau kondisi apa pun) bukanlah alasan utk boleh melanggar hak-hak orang lain. Itu bukan privilege.”
“Privilege…?! Jelas bukanlah. Lha wong itu justru mendatangkan kesulitan” jawab hati bijak saya lagi. “Orang-orang yg tidak memiliki kesulitan (seperti saya, umpamanya) mestinya bisa memahami kesulitan orang-orang yg memiliki kesulitan (seperti tetangga saya sekarang ini).” jawab hati saya dengan bijaksana.
(Suwer saya suka kalau dapat pemikiran bijaksana seperti ini. Nggak setiap hari saya kemasukan pikiran bijaksana seperti ini.)
“Wah…! Kalau begitu anarki dan kesewenang-wenangan akan merajalela dong!” jawab hati jengkel saya belum mau kalah.
“Halah…! Gak usah lebaylah! Toh penerbangan ini cuma sejam. Gitu aja kok pakai alasan ‘anarki dan kesewenang-wenangan akan merajalela’ segala.” sekarang sang bijak mulai gregetan.
“Ya jelas dong! Kalau kita selalu memberikan excuse pada orang-orang tertentu utk melakukan tindakan sewenang-wenang ya jelas anarki akan muncul. Mosok hal sesederhana begini saja masih perlu dijelaskan sih…?!” ada yg mulai sewot.
Baru saja sang bijak mau menjawab tiba-tiba ditimpali oleh suara lembut dari depan.
“Para penumpang sekalian. Dalam jangka waktu tidak lama lagi kita akan segera mendarat di bandara Adi Sucipto Jogyakarta…”
Pertengkaran langsung bubar dan saya lihat Si Jengkel dan Si Bijak bersalaman terus menghilang. Mr Big masih juga lelap dalam tidurnya.
Zzzzz….
Batavia Air, SUB-JOG, 8/4/12
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com