Sore sebelum Maghrib kemarin saya kedatangan tamu. Ternyata Pak Kelik, Kasek SMPN 43. Kepala sekolah yang masih muda berwawasan luas ini datang sendirian naik motor pakai jas hujan. Kami memang janjian tapi saya pikir beliau tidak akan datang karena hujan. Tapi beliau memang sudah tekad bulat. Begitu saya bilang saya hanya punya waktu sore hari maka beliau langsung bilang akan datang. Meski hujan pun beliau tetap datang naik motor. Saya sungguh menghargai orang yang punya komitmen seperti ini.
Apa yang diinginkannya? Ternyata beliau ingin minta bantuan menjadikan sekolahnya sebagai āSekolah Berbasis Literasiā (have you ever heard such thing…?!). Soalnya program literasinya di sekolah sudah mulai jalan dan bahkan telah diliput oleh Jawa Pos. Dari Pak Keliklah muncul ide memilih beberapa siswa di setiap kelas untuk menjadi Duta Literasi (ketik āduta literasiā di Google dan Anda akan temukan SMPN 43 di urutan atas). Apa tugasnya? Secara umum ya untuk mendorong munculnya budaya membaca di kelas masing-masing. Tapi apa tugas nyatanya di kelas mungkin perlu ditanyakan lebih lanjut.
Mengapa memilih ide āSekolah Berbasis Literasiā bagi program unggulan sekolahnya? Sambil sedikit tersenyum beliau menjawab bahwa mungkin agak berat jika sekolahnya memilih program unggulan yang berbasis kemampuan akademik, seperti Olimpiade Sain Nasional dan semacamnya. Dari nomor sekolahnya saja sudah jelas bahwa sekolahnya bukanlah sekolah favorit di mana siswa lulusan terbaik bakal mendaftar kesana. Siswa yang mendaftar dan masuk ke SMPN 43 adalah anak-anak lapis ke sekian di bidang akademik. Para guru yang ada di sekolahnya juga bukanlah guru-guru terbaik dengan pelatihan khusus. Jadi ia harus realistis. Meski demikian beliau ingin agar sekolahnya memiliki program khusus yang menonjol dengan situasi dan kondisi yang ada. Tidak terlalu ambisius tapi akan membuat sekolahnya ‘standing among the crowds’. Dan Pak Kelik melihat bahwa program literasi adalah peluang yang akan mampu membuat sekolahnya mampu berprestasi. Saya sepakat! (mosok aku apene gak sepakat…?!) *:) happy
Lalu apa yang bisa kami lakukan untuk membuat sebuah āSekolah Berbasis Literasiā (‘kami’, soalnya beliau minta bantuan saya)? Apakah saya benar-benar paham bagaimana menjadikan sebuah sekolah menjadi āSekolah Berbasis Literasiā? Tidak juga (but I tend to appear like one). Saya memang punya beberapa ide untuk mengembangkan sebuah sekolah agar memiliki program literasi membaca dan menulis yang solid. Saya juga sudah hampir tiga tahun membantu SMAN 5 Surabaya di program literasinya. Tapi program āSekolah Berbasis Literasiā secara utuh sebenarnya saya belum punya.
Tapi justru itu tantangannya…!
Tantangan adalah melakukan sesuatu yang membuat kita bergairah sehingga kita harus mengerahkan segala kemampuan kita untuk mencapai atau menggapainya. Tantangan bukanlah melakukan sesuatu yang sudah jelas nampak di depan dan langkah-langkahnya sudah kita ketahui. Tantangan jelas melibatkan ‘trial and error’. Tantangan menjanjikan ‘findings’ alias penemuan di lapangan yang akan dijadikan sebagai landasan untuk melangkah lebih lanjut. Cekak aosnya, tantangan menjanjikan petualangan. Heheheā¦!
Tantangan dari Pak Kelik ini jelas membuat saya bergairah. Saya lalu meminta beliau untuk mencari pandangan dan pendapat ahli di bidang bahasa. Saya meminta beliau untuk langsung bekerjasama dengan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa. Ada banyak pakar bahasa di kampus Unesa dan saya yakin mereka akan sama tertantangnya dengan saya jika diminta untuk membantu mewujudkan impian tersebut.
Menghubungkan sekolah atau siswa langsung dengan para pakar di kampus sebenarnya adalah impian lama saya.
Sepuluh tahun yang lalu ketika dolan ke Singapura saya sempat mendatangi final lomba karya ilmiah siswa Singapura di sebuah gedung ekshibisi dan bahkan sempat dikira salah seorang juri oleh panitianya. (Seeā¦?! Ternyata saya punya potongan dan gaya juri lomba karya ilmiah tingkat internasional. Hehehe…!). Karya siswa tingkat SMA dipajang di ruang pameran lomba tersebut dan ketika saya amati saya sampai menahan napas karena kagumnya. Lha wong anak SMA aja kok pemikiran dan karyanya sudah seperti mahasiswa pasca saja! (Salah satunya yang masih saya ingat adalah bagaimana membuat air laut menjadi air yang siap dikonsumsi. Rupanya kebergantungan air dari Malaysia membuat mereka berpikir untuk mencari alternatif dan air laut yang berlimpah). Tapi ketika saya amati lebih lanjut ternyata setiap siswa yang karyanya sampai ke final itu memang telah dibimbing oleh dosen profesor atau doktor dari perti yang ada di Singapura. Jadi mereka, para siswa SMA tersebut, dalam menuliskan karya ilmiahnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari para pakar bergelar professor dan doktor dari perti di Singapura. Jadi bukan ānyelā karya mereka sendiri. āPantesan kok mereka punya karya ilmiah yang hebat-hebatā¦!ā, demikian pikir saya.
Dari situ saya kemudian berpikir bahwa sudah semestinyalah setiap sekolah itu mendapatkan konsultan atau bantuan pemikiran dari perguruan tinggi dalam menjalankan program pendidikannya. Saat ini dunia pendidikan di sekolah menengah kebawah benar-benar tidak punya akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dihimpun oleh pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi berjalan sendiri di menara gadingnya dan sekolah menengah ke bawah ākrengkalanā sendiri di dunianya yang sebagian besarnya diisi dengan praktek-praktek pendidikan yang seringkali memang tidak bermutu.(keluh) Apa sih susahnya menggandengkan tangan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia pendidikan di bawahnyaā¦?! (Wisā¦! Leren-leren. Ojok diterusno. Semakin lama semakin ānggladrahā dan ācriwisā nantinya saya). Yang jelas dunia pendidikan tinggi dan dunia pendidikan di bawahnya ada batas yang sangat tegas dan setiap pihak hanya bisa melihat dari kejauhan tanpa pernah mau saling menyentuh, apalagi bekerjasama.
Tapi justru ini tantangannya, Bro⦠! heheheā¦!
Tantangannya adalah bagaimana mendorong pendidikan tinggi (dalam hal ini JBSI Unesa) untuk mau turun tangan membantu SMPN 43 dalam menyusun sebuah program āSekolah Berbasis Literasiā (syukur-syukur kalau mau ditemani sampai di lapangan). Bagi JBSI urusan literasi tentulah urusan āsego janganā alias makanan sehari-hari. Jadi meski pun belum pernah menyusun sebuah program āSekolah Berbasis Literasiā khusus untuk tingkat SMP tapi dengan ilmu pengetahuan para āpendekar sakti literasiā yang ada di jurusan tersebut tentunya menyusun program semacam ini sungguh āpiece of cakeā. Lagipula mereka bisa mendorong para mahasiswa mereka untuk turun terjun langsung menjalankan setiap langkah yang disusun dalam rencana program. Nantinya hasil dari laporan tersebut bisa dijadikan semacam penelitian yang tentunya akan bermanfaat juga bagi JBSI. Pokoknya bisa menguntungkan kedua belah pihaklahā¦!
Jadi tunggu apa lagi�! *:) happy
Surabaya, 28 Januari 2015
Baca tentang SMPN 43 di :
http://dispendik.surabaya.go.id/index.php/2356-siapkan-duta-literasi-smpn-43-sosialisasi-ke-wali-murid
http://www.pustakaindonesia.org/index.php/article/read/82/Ingin-Kejar-Amerika-dalam-Gerakan-Literasi
http://majalahfaktanew.blogspot.com/2014/12/surabaya-raya-merangsang-gemar-membaca.html
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com