“S’mangatnya tuh disini…
Di dalam hatiku
S’mangatnya tuh di sini…
Di dalam dadaku
S’mangatnya tuh di sini…
Di dalam tubuhku…”
Itu adalah lagu yang dinyanyikan oleh para guru dan kepala sekolah di Kab. Subang yang menghadiri acara “Gerakan Literasi Sekolah” di Gedung PGRI pagi ini, Sabtu, 24/1/15. Lagu itu memang adaptasi dari lagu ‘Sakitnya tuh disini…” yang sangat populer itu (meski saya belum pernah mendengarkan sendiri lagunya yang asli). Lagu tersebut adalah lagu ciptaan mereka untuk menyemangati diri mereka untuk mulai menggerakkan literasi di Subang. Sungguh kreatif…!
Pagi ini saya memang memberikan presentasi tentang pentingnya budaya literasi bagi bangsa melalui sekolah pada para kasek dan guru (mostly SD) di Kab. Subang. Itu semua berkat kerja keras Ibu Restu Mutiara, Ketua IGI Subang.
Selain saya, hadir juga Pak Ardianto dari Badan Bahasa Kemdikbud memberikan materi setelah saya dengan tema hampir serupa. Karena kami memulai acara sudah agak siang (jam 9:30) dan setelah Pak Ardianto masih ada materi dari Pesona Edu maka tidak ada waktu untuk tanya jawab. Pukul 12:30 acara selesai dan berdatanganlah para ibu-ibu guru dan kepala sekolah pada saya untuk bertanya secara pribadi bagaimana kiat mengembangkan budaya literasi di sekolah mereka. Dengan senang hati saya menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka juga menyatakan keinginan mereka untuk mengundang saya lagi untuk berbicara pada para kepala sekolah lain yang tidak hadir pada hari ini. Pada hari ini hanya ada 200-an peserta yang hadir dan itu pun sudah penuh sampai belakang. Tentu saja saya sanggupi untuk datang lagi.
“Apakah benar Pak Satria…?”
“Ya, benar, Bu. Tidak usah repot-repot menyediakan honor, biaya transport, akomodasi, dan konsumsi bagi saya. Saya sudah punya semua.”
“Bagaimana caranya kami mengundang Pak Satria? Lewat surat kemana?”
“Gak usah repot. Pakai SMS aja. Kalau pas waktu saya kosong ya saya bersedia.”
“Alhamdulillah kalau begitu atuh…”, jawab mereka dengan lega. Saya juga lega…atuh! 🙂
Saya sadar bahwa meski pun dalam presentasi saya sudah menunjukkan contoh-contoh bagaimana menghidupkan budaya membaca dan menulis di beberapa sekolah di Surabaya tapi tentulah masih banyak pertanyaan yang menggantung di kepala mereka. It’s something new which they’ve never seen anywhere around. Dan mereka ingin mendengarkan jawaban langsung dari saya. Meskipun saya yakin berhasil meyakinkan mereka betapa pentingnya budaya membaca ditumbuhkan di sekolah (dan menjadi model bagi siswa dan lingkungan mereka) tapi memulai sebuah gerakan tetaplah tidak mudah. Tekad yang muncul pada waktu acara akan dengan mudah kempes begitu kembali ke rutinitas rumah dan sekolah yang tidak mendukung. Butuh tekad dan motivasi yang kuat untuk keluar dari ‘comfort zone‘, zona nyaman yang selama ini mereka miliki di sekolah masing-masing.
“Untuk apa saya melakukan gerakan budaya membaca di sekolah jika tidak ada perintah, apalagi bimbingan, dari Dinas Pendidikan? Di Kurikulum juga tidak ada. Apa yang saya cari dan dapatkan nantinya?” Pertanyaan seperti ini dengan mudah menyergap benak mereka dan ketika mereka melihat bahwa sesama kasek dan guru di sekolah lain juga tidak melakukan upaya ini maka mereka seolah mendapat pembenaran untuk melupakan saja tekad yang pernah muncul sebelumnya.
Apakah saya pesimis dengan apa yang saya lakukan sendiri selama ini? Tidak sama sekali. Saya sangat optimis karena telah melihat sendiri hasil dari apa yang saya sebarluaskan. Saya hanya berupaya untuk bersikap realistis. Jika ada 10% saja dari para peserta ini yang akan benar-benar melakukan perubahan di sekolah mereka maka itu sudah merupakan suatu hal yang patut dirayakan. I should celebrate for that achievement. 🙂
Agar presentasi saya berlanjut dengan program nyata di sekolah maka saya mendorong mereka untuk membuat kelompok 10 atau 20 sekolah untuk menjadi “Sekolah Literasi” dengan program-program yang bisa mereka susun bersama. Sesuatu hal baru yang dilakukan bersama dalam sebuah kelompok akan punya kemungkinan untuk berhasil yang jauh lebih besar ketimbang dilakukan sendiri. Jadi saya meminta mereka untuk membuat kelompok 10 atau 20 sekolah untuk menjadi model “Sekolah Literasi” yang akan saya bantu agar berhasil. Saya janjikan pada mereka untuk datang melakukan studi banding pada sekolah-sekolah di Surabaya yang sudah lebih dahulu melakukan gerakan yang sama.
‘Seeing is believing’ dan jika mereka melihat sendiri bagaimana pelaksanaan program Gerakan Literasi Sekolah ini maka mereka mungkin akan lebih bersemangat untuk melakukan hal yang sama.
Pertengahan Februari nanti sekelompok kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan dari Prop. Aceh akan berkunjung ke Surabaya untuk melihat sendiri bagaimana implementasi program “Surabaya Kota Literasi” dilaksanakan. Jika mereka bersedia jauh-jauh datang dari Aceh ke Surabaya untuk belajar bagaimana melaksanakan gerakan literasi sekolah artinya apa yang saya promosikan selama ini ada manfaatnya dan tidak sekedar menjadi angin lalu atau ‘another interesting presentation but not applicable‘.
Saya sudah menyiapkan beberapa tempat dan lokasi kunjungan mereka nantinya. Ada perpustakaan, Taman Bacaan Masyarakat, Sekolah SD/SMP/SMA dengan keunggulan program masing-masing. Ini harus benar-benar menjadi studi banding yang benar-benar berbobot studi dan bukan sekedar membanding-bandingkan.
Selalu ada kejutan yang menyenangkan pada setiap acara. Kali ini Pak Ardianto mengajak saya untuk menggagas sebuah kerjasama antara IGI dan Badan Bahasa di mana ia bekerja untuk menjadikan program Gerakan Literasi Sekolah ini menjadi gerakan yang massif. Ia yakin bahwa program ini in-line dengan tugas Badan Bahasa dan jika bisa dijalin kerjasama maka tugas ini akan lebih mudah dijalankan. Hei…! I have the same opinion. So, why don’t we…?! 🙂
Subang, 24 Januari 2015
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com