Bacaan saya kali ini adalah sebuah buku terbitan Mizan setebal 472 halaman dengan judul yang menarik “Making Globalization Work” (Bagaimana Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil). Sebenarnya saya agak ragu-ragu untuk membeli buku ini. Pertama, penulisnya adalah Joseph E. Stiglitz. Stiglitz, professor di Columbia University, adalah ekonom top dari Amerika Serikat yang pernah meraih penghargaan Nobel Bidang Ekonomi pada tahun 2001. Selain itu Stiglitz juga pernah menjadi Senior Vice President and Chief Economist dari Bank Dunia. Agak grogi saya jika harus membaca pemikiran seorang peraih nobel lha wong pengetahuan saya tentang ekonomi makro dapatnya dari mungut sana-sini. Kedua, tebalnya itu lho! Quite intimidating. Kalau itu novel sih nggak apa-apa. Tapi kalau mesti membaca pemikiran seorang professor peraih nobel setebal itu apa nggak berasap kepala saya nanti?!
Tapi akhirnya buku ini saya tarik juga sambil merem. Kalau ternyata isinya terlalu berat toh bisa saya lemparkan saja. Tapi alasan utamanya adalah bahwa karena buku ini sedang diobral di toko buku Uranus. Buku yang ditulis pada tahun 2006 dan dicetak oleh Mizan pada tahun 2007 ini sedang diobral dan harganya setelah dibanting cuma 15 ribu rupiah. Lima belas ribu rupiah untuk sebuah karya pemenang nobel?! Sungguh menggoda! Lagipula judulnya adalah tentang globalisasi yang memang menarik minat saya. Selama ini saya selalu memandang globalisasi dengan perasaan mendua. Di satu sisi saya sadar bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Kita tidak bisa hidup di dunia modern tanpa menerima fakta tentang globalisasi ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, globalisasi ada di depan mata kita dan kita hidup di dalamnya. Tapi di sisi lain saya juga sadar bahwa sebenarnya globalisasi ini ‘mainan’nya negara maju dan bukan untuk negara dunia ketiga macam Indonesia. Akibatnya kita dijadikan bulan-bulanan oleh negara maju seperti ketika kita digunduli 0 -10 dalam sepakbola. Walhasil kita dibanjiri oleh produk asing dan industri kita sendiri tidak pernah tumbuh. Kita jadi konsumen terus dan tidak pernah bisa jadi pemain globalisasi.
Globalisasi sendiri mencakup berbagai hal : aliran gagasan dan pengetahuan secara internasional, pemahaman budaya, kesadaran lingkungan secara global, aliran jasa dan barang antar-negara, modal dan bahkan tenaga kerja. Jadi pengiriman TKW adalah buah dari globalisasi. Hrapan besar dari globalisasi adalah peningkatan taraf hidup seluruh masyarakat di dunia agar dengan demikian produk dari negara miskin bisa masuk ke seluruh dunia dan mereka bisa belajar ke negara maju.
Semestinya dengan berkah globalisasi maka Indonesia bisa menjadi pemain dunia dalam berbagai bidang industri dan ekonomi yang terbuka luas berkat revolusi informasi dan komunikasi. Itu idealnya. Sayangnya, globalisasi ini ternyata membawa ketidakseimbangan kompetisi antara yang lemah dan yang kuat. Jelas tidak mungkin Indonesia akan bisa bersaing dengan negara-negara maju pemilik teknologi, SDM dan modal besar seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Australia. Jangankan lagi di bidang industri yang padat teknologi dan modal lha wong di bidang per’chicken’an saja Indonesia habis dijajah oleh McDonald, KFC, CFC, dan konco-konconya. Ayam lokal macam Mbok Berek , Wong Solo, dan Ayam Goreng Suharti terpaksa bertahan sebisa-bisanya keronto-ronto dikandang sendiri tanpa bisa bersaing. Padahal kalau soal rasa jelas saya dan istri milih yang lokal meski anak-anak saya pasti akan berpihak pada ayam asing imperialis tersebut. Tapi Indonesia juga tidak bisa menolak globalisasi karena jika tidak masuk ke pasar dunia maka ekspor Indonesia juga akan mati. Jadi bagaimana negara lemah, seperti Indonesia, bisa keluar dari situasi globalisasi seperti ini?
Begitu saya baca pengantarnya, baik dari penerbitnya maupun dari Dr. Dradjad H Wibowo, Anggota DPR-RI 2009-2014 dari PAN, tiba-tiba saya merasa bahwa saya menemukan buku yang sangat berharga untuk dibaca. Baru baca pengantarnya saja saya sudah merasa mendapat pencerahan! Dradjad Wibowo sendiri sangat mengamini pandangan Stiglitz yang menuding bahwa negara-negara maju khususnya Amerika telah berlaku tidak adil dalam dunia global ini. Dradjad Wibow sendiri banyak mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang sangat pro-pasar atau proasing yang mengusik rasa keadilan masyarakat atau memperlebar kesenjangan sosial. Seperti Stiglitz, Dradjad Wibowo berpandangan, negara harus mempunyai peran mengatur semua sumber daya yang dimilikinya, sumber daya alam, sumber dana, maupun sumber daya manusia. Memang banyak juga negara yang mengatur segalanya itu gagal. Demikian juga dengan negara yang menyerahkan sepenuhnya pada ekonomi pasar. Jadi terlalu ekstrim ke kiri atau ke kanan itu sama buruknya. Oleh sebab itu negara tidak bisa terlalu ekstrem dengan membuka pasarnya seluas-luasnya tanpa membela industrinya sendiri. Dradjad sangat menyesalkan dilepasnya Blok Cepu kepada Exxon ketika Pertamina sendiri menyatakan sanggup mengelolanya.
Penjelasan yang ditulis oleh Stiglitz dalam bukunya ternyata tidak rumit dan teoritis. Bukunya ditulis dengan pembahasan yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca awam seperti saya. Jika Anda punya waktu cobalah mencari buku ini (mumpung lagi diobral) dan bacalah secara ngemil (pinjam istilah Pak Hernowo). Insya Allah pengetahuan Anda tentang apa itu globalisasi akan bertambah. Rencananya pagi ini saya akan ke Uranus lagi dan memborong buku ini untuk saya bagi-bagikan pada teman yang suka membaca dan mau tambah pintar.
Globalisasi adalah keniscayaan, khususnya di bidang perekonomian, sehingga tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat lepas dari pengaruhnya. Meski demikian Stiglitz memberikan pandangannya tentang bagaimana globalisasi itu seharusnya diatur ulang, agar globalisasi tidak hanya memenangkan para bankir dan kaum borjuis di negara-negara maju saja, dan menyisakan kekalahan masyarakat pada umumnya di negara-negara berkembang.
Stiglitz, yang memiliki pengalaman kerja di Gedung Putih dan Bank Dunia, menjelaskan tentang bagaimana IMF, Bank Dunia dan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional yang memiliki pengaruh besar pada perekonomian di negara-negara sedang berkembang ternyata tidak selalu benar dalam memberikan kebijakan-kebijakannya. Beberapa kebijakan tersebut justru membuat kehidupan negara-negara berkembang itu mengalami kesulitan. Hutang yang digelontorkan oleh IMF dan World Bank secara tidak bertanggungjawab ternyata justru membuat negara-negara yang mengikuti anjuran IMF dan World Bank menjadi terbenam dalam hutang yang menggunung. Ini yang dikecam oleh Stiglitz dan ia menuntut perbankan dunia untuk mencarikan cara agar negara-negara tersebut bisa lepas dari himpitan masalah yang timbul karena mengikuti nasihat mereka. Mereka tidak bisa lepas tangan begitu saja. Menurutnya, IMF dan Bank Dunia tidak mungkin ada jika tidak ada para pembayar pajak di negara-negara yang menyokong kedua lembaga tersebut. Jadi, sudah selayaknya keduanya mempertanggungjawabkan kebijakannya pada publik, yaitu para pembayar pajak. Ini adalah perkara sistem pengelolaan (governance) yang sudah diselewengkan oleh para pejabat
Dalam bukunya Stiglitz juga menyiratkan keyakinannya akan proses demokrasi, keyakinan dimana warga negara memiliki hak atas informasi yang tepat, sehingga mereka memiliki perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi itu sendiri. Sekali lagi jelas, pandangannya dia yakini akan mampu membantu mengubah? perdebatan tentang globalisasi, serta membantu mengubah proses-proses politik yang membentuk globalisasi.
Para pendukung teori ekonomi pasar bebas sangat mengagungkan keyakinan bahwa pasar itu sendiri cenderung efisien jika tanpa campur tangan pemerintah. Bahkan mereka berpendapat. Kaum miskin dapat tertolong dengan cara membiarkan pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya. Hal ini yang sangat ditentang oleh keyakinan Stieglitz. Menurutnya dalam globalisasi pasar tidak bisa lepas dari campur tangan pemerintah. Globalisasi adalah wadah berbagai macam konflik dan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat dunia. Dan pemerintahlah yang harus dapat menjadi penengah di antaranya. Pandangan ini sangat berseberangan dengan pandangan kaum liberalis atau para penganut pasar bebas – Stiglitz menyebutnya sebagai kaum konservatif- yaitu bahwa pasar akan bekerja sempurna bila pemerintah tidak ikut campur tangan.
Melalui bukunya Stiglitz memberikan beberapa usulan mengenai reformasi sistem keuangan dunia dan lembaga-lembaga keuangan yang mengurusinya serta berusaha memperlihatkan kepada dunia bagaimana globalisasi yang dikelola dengan benar, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi negara-negara berkembang maupun negara-negara maju.
Stiglitz mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang, menyarankan sistem baru cadangan global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional, dan memberikan usulan-usulan baru untuk memecahkan ketidakmampuan kita menanggulangi pemanasan global ancaman terbesar atas lingkungan hidup.
Stiglitz juga memberi argumen yang meyakinkan akan pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia PBB, Dana Moneter Internasional, dan Bank Dunia juga perjanjian-perjanjian perdagangan internasional dan peraturan tentang kekayaan intelektual supaya lembaga-lembaga tersebut benar-benar mampu menjawab permasalahan pada masa kini. Stiglietz mengecam IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya yang tidak bersungguh-sungguh berupaya untuk membantu negara-negara miskin agar keluar dari masalahnya dan sebaliknya hanya menawarkan solusi ‘satu untuk semua’ yang terbukti gagal menyelesaikan masalah-masalah spesifik dari negara-negara miskin tersebut.
Pandangan Stiglitz, memang ‘aneh’ dan berbeda dari para ekonom Bank Dunia lain. Konsensus Washington, 10 Formula yang diracik oleh ekonom John Williamson pada 1987- 1988 diadopsi oleh institusi-institusi keuangan terkemuka seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai resep untuk memulihkan kelumpuhan ekonomi sebuah negara. Stiglitz, sebaliknya, dengan lantang menyatakan negara-negara yang patuh mengikuti resep itu justru akan sulit bangkit dari keterpurukan ekonomi. Hal ini otomatis mendudukkan dirinya sebagai “pengkhianat” sekaligus kritikus tangguh Bank Dunia yang jeli menunjukkan kesalahan-kesalahan lembaga tersebut.
Dalam sebuah wawancara ketika berada di Indonesia Stiglitz mengatakan pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari konteks ideologi. Ideologi menyajikan pandangan mendasar tentang bagaimana pemerintah seharusnya berperan. Dikatakan Stiglitz, Konsensus Washington menekankan perlunya minimalisasi peran pemerintah. Sebaliknya, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia ini mencatat, selalu terdapat peran penting pemerintah di Negara yang sukses berkembang. Stiglitz membandingkan Indonesia dan Argentina yang dikatakannya sama-sama menjadi korban globalisasi. Dua negara ini sama-sama pernah menggunakan resep Dana Moneter Internasional untuk mengatasi krisis. Pertumbuhan ekonomi pasca krisis di Argentina mencapai 8 persen pertahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum cukup kuat untuk menekan kemiskinan dan penganguran. “Perbedaan dua Negara ini terdapat pada keputusan Argentina untuk menolak Konsensus Washington,” Ujar Stiglitz. Menurutnya, pembangunan ekonomi harus lebih luas dari agenda sempit kalangan neo-liberal pendukung Konsensus Washington. Konsensus Washington selama ini menjadi landasan bagi IMF, Bank Dunia dan lembaga donor lainnya dalam membantu negara-negara krisis. Pembangunan ekonomi harus dilihat sebagai katalis untuk mendorong tranformasi menuju masyarakat yang berkeadilan sosial, demokratis dan ramah lingkungan
Stiglitz percaya bahwa globalisasi itu masih merupakan sebuah resep yang manjur bagi kemajuan perekonomian dunia meski untuk itu harus diracik dengan sangat hati-hati. Globalisasi tetap bisa mendatangkan manfaat yang lebih besar daripada mudaratnya bagi semua negara jika negara-negara miskin ditingkatkan dulu kemampuannya dan kesetaraannya sebelum diajak bermain dalam perlombaan di dunia global. Stiglitz bahkan secara radikal mengusulkan agar dunia meninggalkan kebergantungannya pada Amerika mengingat Amerika seringkali lebih berpihak pada kepentingan-kepentingan ekonominya yang sempit dan menolak ajakan agar globalisasi lebih adil.
Stiglitz memang peraih nobel ekonomi yang unik!
Surabaya, 7 April 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
0 thoughts on “MAKING GLOBALIZATION WORK”