Pagi ini kami menuju ke Vang Vieng yang berjarak 4 jam perjalanan dari Viantiane. Sebetulnya saya tidak merencanakan ke Vang Vieng. Bagi saya cukup dua kota saja yang kami kunjungi di Laos, yaitu Viantiane dan Luang Prabang. Saya bahkan sudah beli tiket Vientiane – Luang Prabang untuk nanti malam sejak pertama kali kami sampai di hotel. Tapi karena kami merasa kunjungan kami di Viantiane sudah cukup sedangkan kami masih punya waktu kosong seharian akhirnya kami putuskan utk mengunjungi Vang Vieng sekalian. Toh Vang Vieng adalah hampir setengah perjalanan ke Luang Prabang. Jadi kami putuskan untuk ke Vang Vieng paginya dan menginap di sana. Esoknya baru melanjutkan perjalanan ke Luang Prabang.
Untunglah bahwa tiket yang sudah saya beli boleh ditukarkan, tanpa ada potongan sama sekali! 😊 Ini berbeda dengan di Myanmar di mana harga tiket kami dipotong 20% ketika mengubah jadwal.
Kami naik mobil van seperti L-300 dengan biaya 70.000 Kip per orang. Karena ini seperti travel maka dia menjemput semua penumpang yang akan ikut travel ini. Kami dengan dua orang turis lain dari Family Boutique Hotel yang pertama dijemput dan setelah itu baru menjemput yang lain satu persatu di hotel masing-masing. Ada sekitar hampir sejam hanya utk menjemput penumpang ke sana ke mari sampai mobil penuh. Tapi kami dapat city-tour gratis jadinya. 😄
Perjalanan ke Vang Vieng melewati beberapa desa yang nampak cukup makmur. Tidak ada rumah yang terbuat dari bambu atau kayu reyot. Paling sedikit adalah rumah berlantai dua dengan struktur tembok di bawah dan rumah kayu di atas. Persis seperti rumah-rumah di Sulsel. Jalanannya cukup lebar meski ada beberapa ruas yang sedang diperbaiki. Itu menyebabkan jalanan berdebu. Sayang sekali pemandangan tidak seindah di Jawa. Di sini sawah-sawah mengering dan pohon-pohon meranggas.
VANG VIENG
Kami tiba di Vang Vieng sekitar jam dua siang dan hari sedang panas dan kering.
Sebetulnya kami ingin bisa langsung ke Luang Prabang nanti malam agar bisa sampai esok pagi. Tapi ternyata semua travel yang kami hubungi penuh dan tidak bisa menerima penumpang lagi untuk nanti malam. Akhirnya kami pesan untuk perjalanan pagi besok. Katanya kami nanti akan dijemput di hotel dengan Tuk-tuk.
Vang Vieng sendiri adalah kota kecil mirip kecamatan tapi sangat banyak turisnya. Dulunya kota ini dikenal sebagai Tempat Pesta Paling Gila-Gilaan bagi para muda-mudi. Sekarang Vang Vieng mengubah dirinya menjadi kota yang pariwisatanya lebih ramah lingkungan dan kondisinya lebih baik.
Dulu Vang Vieng adalah surganya backpackers, turis anak-anak muda berkantong cekak. Akhirnya banyak sekali bermunculan penginapan, warung dan bar sederhana, di setiap sudut kota maupun di sepanjang Sungai Nam Song. Dulu pemerintah kurang mengatur pariwisata setempat dan ini mendorong backpackers dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong berkunjung ke kota ini. Tapi pemerintah melihat kerusakan dan kesemrawutan yang terjadi dan mulai mengatur pariwisatanya.
Sekarang juga masih banyak turis backpakingan tapi sudah mulai ada yang mau hotel yang mewah dan mahal. Maka bertumbuhanlah hotel berbintang, bar dan restoran mewah, toko-toko, dll. Kami menginap di Thavonsouk Resort Hotel hanya semalam. Hotel ini juga sudah bukan tipe backpackingan melainkan tipe butik (begitu iklannya) dengan harga hampir 700 ribu semalam. Sekarang saya lihat hotel-hotel dengan fasilitas mewah mulai bertumbuhan di desa sederhana ini.
Vang Vieng jelas bukan lokasi pariwisata keluarga. Bahkan tampaknya bukan untuk pariwisata bagi orang tua seusia kami. Para turis yang berdatangan mayoritas adalah anak-anak muda dengan bekal seadanya yang ingin menikmati suasana pesta dan juga pariwisata petualangan seperti mendaki, trekking, rafting dan tubing, kayaking dan canoeing. Kami sudah tidak memiliki semangat, dan utamanya tenaga, untuk menikmati itu semua. 😄
Kami akhirnya cuma mencoba perjalanan menyusuri sungai Nam Song yang cetek di musim panas ini dengan long boat sambil menikmati pemandangan bukit-bukit karst yang indah. Rasanya seperti di Maros atau di Guilin, China. Tapi tentu saja Guilin jauh lebih indah.
Kami juga menghabiskan waktu sore hari kami dengan berjalan-jalan di Walking Street, yaitu jalanan yang ditutup dan dipakai utk jualan. Dua ruas jalan yang kami lewati ditutup untuk jualan berbagai macam pakaian dan souvenir. Di sepanjang jalan juga berderet warung-warung dan resto. Malamnya kami keluar lagi hanya untuk menikmati makan malam dengan menu ikan sungai Nam Song yang lumayan besar dan enak. Untungnya istri saya bawa sambal kalengan asli Surabaya bermerk “Cuk” yang pedesnya mungkin level 7. 😄
LUANG PRABANG
Pagi ini (Kamis, 12/4/2018) kami meneruskan perjalanan ke Luang Prabang (bacanya ‘Luengpabang’. Huruf ‘r’-nya tidak dibaca) dengan naik mobil van lagi. Katanya sih cuma 4 jam perjalanan dari Van Vieng. Seperti kemarin waktu di Vientiane kami dijemput satu persatu dan dioper ke mobil van.
Tidak seperti di Indonesia, sepanjang perjalanan dari Vientiane ke Luang Prabang hampir tidak ada desa-desa yang dilewati. Kalau pun ada rumah itu pun berjarak dari satu rumah ke rumah lain. Tampaknya Laos memang jarang penduduknya karena Vientiane yang merupakan ibukota Laos saja kepadatan penduduknya adalah 200/km persegi. Bandingkan dengan Balikpapan yang 1.300 orang/km persegi.
Kami tiba di Luang Prabang jam 13:00. Hari terasa panas dan kering. Jalanan juga berdebu. Meski demikian kami tidak bisa bersantai,-santai karena kami harus bergegas untuk mengejar penerbangan kami ke Bangkok pada jam 16:30 nanti. Jadi kami hanya punya waktu dua jam untuk keliling-keliling kota sebelum menuju ke bandara. Saya lalu menyewa sebuah Tuktuk yang saya carter dua jam termasuk ke bandara Luang Prabang dengan biaya 100.000 Kip.
Luang Prabang adalah kota dengan predikat UNESCO World Heritage.
Luang Prabang adalah ibukota kuno Provinsi Luang Prabang di Laos Utara. Letaknya di lembah pertemuan sungai Mekong dan Nam Khan. Kota ini telah dihuni selama ribuan tahun dan merupakan ibukota kerajaan negara sampai 1975. Itulah sebabnya maka kota ini masuk dalam UNESCO World Heritage, seperti juga Borobudur. Hal ini karena di sini banyak kuil Buddha, termasuk Wat Xieng Thong yang disepuh emas, yang telah berdiri sejak abad ke-16.
Luang Prabang adalah contoh yang bagus dari perpaduan arsitektur tradisional dan struktur kota Lao dengan yang dibangun oleh otoritas kolonial Eropa pada abad ke-19 dan ke-20. Kita bisa lihat perpaduan harmonis antara gedung tua yang terawat dengan baik dan kuil di kota ini. Karena Laos dulunya adalah jajahan Prancis, jadi hampir semua jalanan dan gedung bernuansa Prancis.
Dalam dua jam tersebut kami berhasil mendatangi 3 tempat yaitu: The Royal Palce, Kuil Buddha Wat Xien Thong, dan Phosy Market.
THE ROYAL PALACE
The Royal Palace dibangun pada tahun 1904 selama era kolonial Perancis untuk Raja Sisavang Vong dan keluarganya. Lokasi istana dipilih dekat sungai sehingga pengunjung bisa turun dari pelayaran sungai mereka langsung di bawah istana dan diterima di sana. Pada tahun 1975, monarki digulingkan oleh komunis dan Keluarga Kerajaan dibawa ke kamp-kamp pendidikan ulang. Istana itu kemudian diubah menjadi museum nasional.
WAT XIEN THONG
Wat Xieng Thong adalah kuil Buddha dan salah satu biara Lao yang paling penting dan tetap menjadi monumen penting bagi semangat keberagamaan, kerajaan, dan seni tradisional. Ada lebih dari dua puluh bangunan dengan dasar termasuk sim, kuil, paviliun dan tempat tinggal, di samping taman-taman berbagai bunga, semak hias dan pepohonan.
Wat Xieng Thong dibangun 1559-1560 oleh Raja Lao Setthathirath dekat tempat sungai Mekong dan Nam Khan bergabung. Sampai tahun 1975, wat itu adalah kuil kerajaan di bawah perlindungan keluarga kerajaan dan raja-raja Laos dimahkotai dalam wat. Wat tersebut dianggap mewakili seni dan kerajinan khas Laos. Bangunan wat memiliki ukiran pintu-pintu kayu berlapis emas yang menggambarkan adegan-adegan dari kehidupan Buddha.
PHOSY MARKET
Tidak ada yang menarik apalagi istimewa dari pasar terbesar di Luang Prabang ini. Tapi pasar terbesar di Luang Prabang ini kami kunjungi sekedar untuk melihat seperti apa sih pasar ini kok sampai ditulis oleh para pelancong sebelumnya. 😄
Selesai melihat-lihat Phosy Market saya lalu meminta sopir Tuktuk kami untuk menuju ke bandara Luang Prabang. Ini adalah akhir dari kunjungan kami ke Laos. Nanti malam kami sudah akan berada di Bangkok selama dua malam sebelum balik ke Surabaya.
Sampai berjumpa di perjalanan berikutnya.
Luang Prabang, 12 April 201
Menyenangkan membaca cerita traveling orang tua seperti saya (59 thn), jadi pengen mengajak isteri keliling asia tenggara (mudah2an ada rezekinya).