Acara Diskusi Pendidikan di Studio Mini Redaksi Harian Fajar di Gedung Graha Pena siang ini berjalan dengan meriah. Ruang di sudut kantor Harian Fajar yang dijadikan ruang diskusi memuat sekitar seratusan lebih pemirsa dan siang itu terpaksa kehabisan kursi karena banyaknya peserta yang terus berdatangan. Sayang sekali bahwa HM Roem (Ketua DPRD Sulsel) dan HA Patabai Pabokori (Kadis Pendidikan Sulsel) tidak bisa hadir karena harus mengikuti safari Gubernur Sulsel ke Bulukumba. Jadi yang hadir hanyalah Prof Dr. Hamzah Upu M.Ed (Dekan FMIPA UNM) dan saya. Tapi melihat antusiasme peserta diskusi sungguh menyenangkan hati.
Prof Dr.Hamzah Upu yang Dekan FMIPA UNM memulai sesi dengan bercerita bahwa sejak tahun 2007 UNM telah membuka jurusan khusus untuk mencetak guru-guru MIPA yang dipersiapkan untuk dapat mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris. Rupanya beberapa LPTK memang sudah merespon akan perlunya guru-guru RSBI dan SBI yang harus bisa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tentu saja ini adalah program pragmatis yang menurut saya menyedihkan. Selain UNM, LPTK lain yang menyelenggarakan program yang sama adalah UNESA dan juga dilakukan di FMIPA. Program ini jelas pragmatis karena melihat adanya peluang dan kesempatan untuk membuka jurusan baru dengan menyesuaikan ‘pasar’ sekolah RSBI yang sudah mencapai 1300 sekolah tersebut. Mungkin pikir para rektor LPTK tersebut adalah “Mengapa tidak…?! Bukankah pemerintah membutuhkan guru khusus untuk sekolah khusus seperti RSBI ini…?!” Tapi tentu saja program ini adalah program ‘Trial and Error’ karena mereka belum pernah melakukan hal yang sama sebelumnya dan mungkin tidak pernah tahu di mana program seperti ini pernah dilakukan. Saya tidak pernah mendengar adanya program khusus pencetak guru untuk mengajar dalam bahasa Inggris selama ini. Jadi jika sekarang tiba-tiba ada maka jelas itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekolah RSBI yang mewajibkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tersebut. Jadi ini program ‘kagetan’ yang sifatnya ‘mumpung ada pasar’. Saya tidak yakin pengelola program ini punya rujukan akademik yang menunjang argumen berdirinya program ini.
Jim Cummins, ahli bahasa dari University of Toronto menyatakan dalam proses akusisi bahasa kedua kita harus membedakan antara Basic Interpersonal Communication Skills (BICS) dengan Cognitive Academic Language Proficiency (CALP). BICS adalah kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di restoran, dsb. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk-petunjuk non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan objek acuan) dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan. Sedangkan CALP lebih mengacu kepada bahasa yang digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal, yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu, misalnya ilmu fisika, biologi, sosiologi, seni suara, dsb.
Hasil risetnya menunjukkan bahwa waktu untuk menguasai BICS dan CALP tidaklah sama. BICS dapat dikuasai dalam waktu relatif singkat, enam bulan hingga dua tahun, sedangkan CALP memerlukan waktu sekitar lima hingga sepuluh tahun. Konteks Indonesia berbeda dari AS dan Kanada karena bahasa Inggris tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga waktu untuk penguasaan bahasa tentunya lebih lama. Selain itu penguasaan bahasa akademik bukan hanya penghafalan kosakata dan struktur bahasa, namun juga pada keluwesan dalam bertutur lisan dan tulisan, dan kemahiran dalam mendengar dan membaca serta berpikir dengan bahasa tersebut. Jadi bagaimana mungkin LPTK tersebut dapat mencetak guru-guru yang menguasai CALP tersebut jika di Kanada sendiri dibutuhkan enam tahun…?! Lagipula seberapa handal para pengajar di LPTK itu sendiri dalam menjadi model bagi para mahasiswanya jika para dosennya sendiri tidak sebegitu fasih? Beberapa teman saya yang menamatkan kuliah S-2 dan S-3-nya di Amerika Serikat, Inggris dan Australia saja tidak seberapa fasih menggunakan bahasa Inggris, apalagi ini hanya belajar di kelas dengan dosen yang mungkin juga tidak seberapa fasih.
Karena itu, program pelatihan bahasa Inggris untuk para guru bilingual dan SBI untuk menguasai CALP akan sangat sulit mencapai hasil yang diharapkan, demikian kata Dr.Iwan Syahril (http://iwansyahril. blogspot. com/2008/ 09/mungkinkah- guru-indonesia- menggunakan. html). Kemungkinan penguasaan CALP sangat kecil. Sebagian besar instruktur bahasa Inggris di Indonesia hanya menguasai BICS, sehingga kurang relevan jika mereka memberikan pelatihan bahasa Inggris kepada para guru bidang studi lainnya yang membutuhkan penguasaan CALP. Dengan pelatihan yang oleh instruktur yang tepat pun masih dibutuhkan waktu yang terlalu panjang untuk menguasai CALP. Lalu jika para guru dengan penguasaan CALP yang terbatas sudah ditugaskan mengajar, hampir dapat dipastikan murid akan semakin kebingungan dengan bahasa yang digunakan dan materi yang diajarkan. Jadi program ‘responsif’ dari para LPTK tersebut memang saya ragukan keberhasilannya.
Tapi siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban jika sebuah program dianggap gagal…?! Rasanya kita memang tidak pernah bicara soal pertanggungjawaban sebuah program. Jangankan program pelatihan guru SBI ini, sedangkan program RSBI itu sendiri saja tidak jelas siapa yang bakal bertanggungjawab jika program ini gagal.
Meski demikian nampaknya masyarakat memang masih belum menyadari bahwa program ini sebenarnya salah kaprah dan mereka masih saja berlomba-lomba untuk memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah RSBI. Tapi mungkin karena masyarakat kita memang senang dengan merk atau label ‘bertaraf internasional’ tersebut dan bersedia menanggung resiko apa pun sepanjang bisa masuk ke sekolah ‘bergengsi’ tersebut. Jika sekolah-sekolah ini sangat dimintai oleh masyarakat maka itu karena memang sekolah-sekolah tersebut adalah sekolah-sekolah dengan mutu terbaik di daerah masing-masing. Jadi ada atau pun tidaknya label tersebut maka sekolah tersebut tetap akan diburu oleh masyarakat.
Diskusi ini menjadi menarik karena ada beberapa kepala sekolah dan guru sekolah RSBI yang hadir dan tentu saja mereka membela habis-habisan program tersebut. Tapi ketika saya tanya apa sebenarnya ciri utama dari sebuah sekolah RSBI dibandingkan yang non-RSBI mereka juga tidak mampu menjawab. Tentu saja. Jangankan mereka, sedangkan para konsultannya pun tidak bisa menjawab. Saya paham sekali bahwa mereka tentu akan mempertahankan program ini karena mereka diuntungkan oleh label tersebut. Apa pun prestasi yang mereka capai (atau tidak dicapai) toh mereka sudah mendapatkan ‘award’ sebuah label sebagai sekolah yang memiliki strata tertinggi dalam sistem pendidikan nasional kita. Jadi ini sama dengan mengatakan program sertifikasi ini buruk kepada para guru yang sudah disertifikasi. Jelas mereka akan membela karena mereka diuntungkan oleh sistem.
Begitu tahu saya akan berbicara soal Sekolah Bertaraf Internasional seorang teman mengirim saya email berisi protesnya akan sekolah tersebut. Berikut ini suratnya.
“Pak Satria apa kabar? saya sering membaca tulisan bapak, kebetulan saya gabung di forum IGI via milis. Memang pak bicara soal RSBI/SBI ga ada habisnya, yg ada bikin jadi tambah jengkel, gimana tidak, wong saya ngalami sendiri. Anak saya yang kecil bersekolah di sekolah yg berlabel RSBI, tapi kenyataannya, sungguh menyedihkan. Guru bahasa Inggris yg katanya sekolah RSBI ko mengucapkan kata dalam bahasa Inggris aja salah. Murid yang harusnya benar pengucapannya malah disalahkan karena ga sesuai dengan yang diajarkan oleh guru itu, pdhal jelas-jelas guru itu salah. (Gimana tuh)? yang benar malah harus ikut salah ?
Katanya sekolah RSBI, tapi gurunya ko sering tidak masuk, salah satu penyebabnya mungkin guru stres harus mengajar dalam bahasa yg dia sendiri kurang menguasai. Akhirnya mengajar bukan lagi menjadi bagian dari tanggungjawab serta pekerjaan yang menyenangkan tetapi lebih sebagai suatu siksaan.
Selain itu pak, siswa diwajibkan menggunakan buku bahasa Inggris, sedangkan kemampuan guru berbahasa Inggris aja udah kurang, harus pakai buku bahasa Inggris, dan harus menjelaskan menggunakan bahasa itu pula, murid bukannya tambah pinter, yang ada tambah bingung.Karena ketidakmampuan guru jalan yang diambil adalah hanya memberikan siswa tugas, tugas dan tugas lagi, tanpa membahasnya . Jalan pintas yang diambil siswa agar bisa memahami materi pelajaran dari buku yg menggunakan bahasa Inggris adalah dengan membeli buku pelajaran yg sama dengan yang diwajibkan, hanya buku tersebut menggunakan bahasa Indonesia.(lalu bagaimana dengan siswa yang kurang mampu?)
Kalau memang kita belum siap RSBI, sudahlah tidak usah memaksakan diri,dampaknya selain guru banyak yang stres y siswa juga dirugikan, lalu apa yang didapat siswa di sekolah ? Kalaupun murid jadi pinter, bukan karena mereka memperoleh kepandaian dari sekolah tetapi karena mereka les di rumah, di sekolah mereka tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka peroleh, sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar, dimana siswa bisa merasakan rindu jika terlalu lama libur,dan ingin cepat masuk sekolah. Sekarang semua sudah berubah yang ditunggu adalah kapan sekolah libur ? sungguh mengenaskan nasib sekolah RSBI, Kalau kita mau obyektif jangan tanya pada kepala sekolahnya, tapi bisakah pemerintah, atau LSM yg peduli pendidikan mengadakan penelitian langsung ke sekolah berlabel RSBI, gunakan angket, atau kuesioner, tanyakan langsung pada siswa apa yang mereka rasakan dan alami siswa yang paling merasakan dampaknya secara langsung.
Itu sharing singkat saya pak berdasarkan pengalaman yg sy alami menyekolahkan anak di RSBI, sebagai orang nomor 1 di IGI, siapa tahu bapak bisa dan tidak bosan menyuarakan soal RSBI pada dinas yang berkepentingan, Kalau memang mau dipertahankan apa solusinya, kalau memang belum siap kenapa harus gengsi, dan memaksakan RSBI harus tetap.”
Ini bukan surat yang pertama dan saya yakin bukan surat yang terakhir yang akan dikirimkan pada saya untuk mengeluhkan mutu pembelajaran di sekolah RSBI.
Melihat semangat teman-teman di Makassar ini saya menjadi tertarik untuk kembali lagi suatu saat untuk berbicara dan berdiskusi tentang pendidikan lebih intens. Saya menunggu undangan lagi nih…!
Bandara Hasanuddin, Makassar, 2 Mei 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com/