Saya kembali mendapat tawaran yang sulit untuk saya tolak, yaitu menjadi salah satu pembicara dalam sebuah acara Diskusi Pendidikan di Makassar atau tepatnya di Studio Mini Redaksi Harian Fajar di Gedung Graha Pena Lt IV, di jalan Urip Sumoharjo 20, Makassar pada hari ini Selasa,2 Mei 2012. Acaranya sendiri dimulai jam 13:30 sehingga pagi ini saya bisa menikmati indahnya pantai Losari. Sebetulnya pada hari yang sama ada acara ‘Bedah Buku Hitam UN’ di Bandung dan Jakarta tapi saya lebih memilih ke Makassar. Pertama, acara bedah buku tersebut banyak yang bisa menghadirinya. Kebetulan buku itu adalah buku hasil menulis keroyokan antara beberapa penulis yang sama-sama menentang UN. Di antara mereka ada Prof. Soedijarto (UPI), Prof Iwan Pranoto (ITB), Prof Daniel M Rosjid (ITS), Elin Driana PhD (UHAMKA), Heru Widiatmo PhD (USA), Mas Darmaningtyas, Doni Kosoema M.Ed, Dhitta Puti Sarasvati M.Ed, Pak Suparman FGII, Ahmad Rizali M.Eng. Dr. Ahmad Muchlis (ITB), dll. Saya juga menulis beberapa artikel pada buku tersebut yang sebenarnya sudah saya tulis jauh hari sebelumnya. Buku ini kemudian kami bedah di berbagai tempat dan kota. Pak Ahmad Rizali dan Prof Daniel M Rosyid mendatangi Jawa Pos di Surabaya kemarin (nampaknya beritanya masuk di Jawa Pos hari ini) dan hari ini Bu Elin beserta Kang Iwan Pranoto akan mengadakan diskusi di LKBN Antara untuk bicara soal penolakan pada UN ini juga. Sebelumnya komunitas pendidikan yang digawangi Kang Iwan Hermawan FGII juga mengadakan bedah buku ini di Bandung. Sebelum ini saya dan Dhitta Puti Sarasvati sudah mengunjungi kantor redaksi Tabloid Prioritas dan hasilnya jadi liputan utama di tabloid tersebut. Jadi ketidakhadiran saya di acara “Bedah Buku Hitam UN” bisa dimaklumi.
Alasan kedua mengapa saya memilih ke Makassar adalah karena topik yang diangkat adalah tentang Sekolah Bertaraf Internasional. Untuk topik ini rasanya sudah ‘di luar kepala’ karena sudah saya bahas sejak masih dalam tahap ide oleh Depdiknas dan saya sudah keliling Malaysia untuk melihat contoh yang mereka lakukan sejak 2003. Saya bisa diskusi panjang lebar tanpa harus repot-repot mencari rujukan macam-macam. Tapi sebetulnya saya sudah bosan juga bicara tentang (R)SBI ini karena segala macam upaya sudah kami lakukan untuk mengajak pemerintah mengevaluasi dan merevisi program kacau balau ini dan belum juga mendapat tanggapan yang memadai. Kami bahkan sudah mengadakan audiensi ke Komisi X DPR-RI dan hampir semua orang di Kemdikbud sudah saya hubungi. Orang Surabaya bilang sudah ‘mblenger’ bicara soal ini.
Tapi saya ingin tahu bagaimana pandangan para pakar pendidikan dan birokrat daerah soal RSBI ini. Kebetulan pembicara panel lainnya adalah HM Roem (Ketua DPRD Sulsel), Prof Dr. Hamzah Upu M.Ed (Dekan FMIPA UNM), dan HA Patabai Pabokori (Kadis Pendidikan Sulsel). Kebetulan bahwa belum satu pun di antara para pesohor ini yang saya kenal karena saya memang tidak pernah ‘manggung’ di Makassar. Jadi ini kesempatan yang sangat bagus bagi saya untuk tampil ‘ngejam session’ bersama mereka di topik yang saya sukai. Saya ingin tahu bagaimana sebenarnya pendapat para pakar dan pemerhati pendidikan di daerah seperti Sulsel ini dalam memandang program RSBI ini. Dari sini saya berharap bisa saling tukar pandangan dan bisa berdialog lebih lanjut nantinya. Biarlah nanti saya pegang alat musik ketipung saja waktu ‘ngejam’.
Alasan ketiga, Makassar ini tempat kelahiran saya dan saya punya banyak keluarga yang tinggal di sini. Bahkan keluarga dekat saya punya perguruan tinggi swasta yang cukup besar di Makassar. Jadi pergi ke Makassar bagi saya feel like going home as well. Apalagi oleh Daeng Ramli, Ketua IGI Sulsel, saya diberi fasilitas menginap di Hotel Pantai Gapura Makassar yang terletak di pantai Losari yang sungguh eksotik. Cottagenya berdiri di atas tiang-tiang beton di atas lautan sehingga seolah berada di atas lautan dengan pemandangan pulau-pulau kecil seperti Pulau Kayangan dan Pulau Lae-Lae. Keluarga yang saya kirimi foto-foto di hotel ini langsung berseru, “Waah…! Pengeeen….!”
Topik yang ditulis besar-besar di Harian Fajar sebenarnya cukup provokatif, “SBI Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertarif Internasional”. Tapi dari judul yang provokatif ini saya bisa menduga bahwa masyarakat sebenarnya sudah mencurigai bahwa sekolah-sekolah RSBI ini tidak sesuai dengan labelnya. Wajar kalau kemudian mereka bertanya-tanya bagaimana sebenarnya mutu dari sekolah-sekolah yang memiliki label RSBI ini.
Program ini memang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidangnya masih terus berlangsung dan belum tahu kapan akan diputuskan dan bagaimana hasilnya. Tapi sebenarnya program ini sudah tidak punya alasan untuk diteruskan. Untuk sebuah rintisan maka program RSBI yang telah berjalan selama lima tahun ini memang samasekali belum menunjukkan bakal berhasil. Saya sendiri telah memperkirakan sejak awal tahun 2007 bahwa program ini tidak akan mungkin berhasil karena memang 90% pasti gagal. Saya sudah menulis cukup banyak artikel untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan program ini dan sampai saat ini pemerintah melalui Kemdikbud belum bisa menunjukkan hasil yang berbeda dengan perkiraan saya. Sebaliknya, berdasarkan evaluasi yang dibuat sendiri oleh Balitbang Kemdiknas beberapa waktu yang lalu diperoleh temuan-temuan yang membelalakkan mata. Berdasarkan paparan Prof Fasli Jalal, mantan Wamendiknas, pada Simposium British Council beberapa waktu yang lalu program RSBI yang telah berjalan di 1300-an sekolah RSBI tidak ditemukan perbedaan signifikan mutu sekolah RSBI dengan sekolah reguler (non-RSBI) untuk beberapa skor, termasuk Bahasa Inggris, siswa dan guru di sekolah reguler bahkan lebih unggul. (Siswa RSBI 7,05 reguler 8,18; Guru bhs Inggris SMP RSBI 5,1, Reguler 6,2). Ini sejalan dengan hasil penelitian Hywell Coleman yang menyatakan ‘in many cases do not result in better school-performance’. Jadi sekolah-sekolah yang semula adalah sekolah berkualitas “A” ternyata setelah menjadi sekolah RSBI lantas prestasinya menjadi jeblok. Ini bukti nyata bahwa sebenarnya program (R)SBI ini sudah gagal untuk meningkatkan mutu sekolah.
S. Hamid Hasan, ahli evaluasi dari UPI mengatakan dengan skor 0-9, perbedaan skor siswa dan guru RSBI dengan sekolah reguler yang berselisih maksimal 1 poin belum menggambarkan peningkatan mutu yang berarti (Kompas, Sabtu 18 Februari 2012). Penyebab utamanya jelas pada mutu gurunya yang tidak terbangun sesuai dengan harapan. Ada fakta yang semakin menguatkan pernyataan saya bahwa program ini gagal yaitu bahwa hasil Ujian Nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak sekolah-sekolah berstatus RSBI ternyata hasil UN-nya lebih rendah daripada sekolah-sekolah reguler lainnya. Banyak siswa RSBI yang bahkan tidak lulus dalam Ujian Nasional tahun 2010. Ini adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa program RSBI ini telah menghancurkan ‘best practice’ dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah RSBI.
Hal ini bisa dilihat dari kemampuan guru RSBI berbahasa Inggris. Dari hasil studi pada 600 guru RSBI ternyata kemampuan bahasa Inggris mereka 50,7% berada pada taraf Novice yang artinya lebih rendah dari taraf Elementary dan yang Elementary sebanyak 32,1%. Artinya bahwa kemampuan lebih dari 80% guru RSBI ini sangat mengenaskan. Bagaimana mungkin guru yang pemahaman bahasa Inggrisnya saja sama dengan orang yang baru belajar bahasa Inggris tiba-tiba diminta untuk mengajar menggunakan bahasa tersebut? Bukankah ini berarti bahwa kebijakan mewajibkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas itu oleh guru-guru dengan tingkat penguasaannya seperti orang yang baru belajar sebagai sebuah kebodohan yang keterlaluan? itu sama artinya dengan memaksa seorang bayi yang baru belajar berdiri untuk mengikuti lomba lari. Sebuah kemustahilan yang sungguh tidak masuk akal.
Evaluasi Balitbang sendiri juga menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas justru lebih menyulitkan guru menyampaikan materi dan membuat mereka stress. Komunikasi yang efektif dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak digantikan oleh penggunaan bahasa Inggris yang kacau balau dan bahkan menjadi olok-olok di berbagai forum diskusi. Hal ini jelas sekali menyulitkan siswa dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru yang berbahasa Inggris berlepotan sehingga mereka terpaksa harus ikut les lagi di luar sekolah agar dapat memahami materi yang diajarkan.
Tapi itu kan pendapat saya…
Kalau mendengar pendapat dari para kepala sekolah RSBI tersebut tentulah puja-puji tentang hebatnya program ini akan berhamburan dari mulut mereka. Mendengar pendapat yang berbeda itu perlu. Perkara mana yang mau diimani ya terserah masing-masing. Itulah sebabnya saya ingin tahu apa pendapat para pakar pendidikan dan birokrat di Makassar soal Sekolah Bertaraf Internasional ini.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com/
Alhamdulillah, mantap materinya Pak’, tapi sanyang para birokrat pembanding pada mangkir.