Ini tulisan ketiga saya. Judulnya saya ubah agar para pembaca bisa langsung paham apa ide yang hendak saya sampaikan. Intinya adalah bagaimana agar para sarjana yang kita hasilkan tidak menjadi ‘idle’ dan mampu memberi peran penting bagi bangsa.
PEMANFAATAN dan PEMBERDAYAAN para sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan sangat strategis karena beberapa faktor.
1. Setiap tahun ada RIBUAN perguruan tinggi yang meluluskan mahasiswanya (Pada 2017, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.) Dan sebagian besar dari para lulusan ini masih sulit terserap oleh dunia kerja. “Jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya mencapai satu juta jiwa, yang menganggur ada ratusan ribu,” kata Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Prof Intan Ahmad dalam pertemuan dengan Kopertis Wilayah III DKI Jakarta di Jakarta, Selasa (26/6/2018). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 5,67 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas dengan rentang pendidikan S1 hingga S3 yang mencapai 737.000 orang. https://news.okezone.com/…/ratusan-ribu-lulusan…
2. Masalah besarnya sarjana yang menganggur ini sampai sekarang masih belum terpecahkan. Mereka adalah para intelektual yang tersia-siakan pengetahuan dan ketrampilannya. Adalah merupakan kewajiban dari perguruan tinggi masing-masing untuk membantu lulusannya untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan di mana pun memungkinkan.
3. Sementara itu masih banyak daerah di seluruh Indonesia yang masuk dalam kategori tertinggal. Presiden Jokowi menetapkan ada 122 kabupaten yang dianggap sebagai daerah tertinggal 2015-2019. Penetapan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (perpres) Nomor 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019. Perpres itu ditandatangani pada (4/11/2015) lalu, seperti tertuang dalam situs Setkab, Kamis (10/12/2015).
4. Dalam Perpres disebutkan, daerah tertinggal yakni daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Daerah tertinggal ini jelas membutuhkan penanganan oleh tenaga-tenaga yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang baik.
5. Adanya kesulitan bagi daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkannya dengan mengangkat pegawai baik yang berstatus ASN atau pun honorer karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 pasal 8 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013, perihal penegasan larangan pengangkatan tenaga honorer bagi Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia.
6. Melihat ironi adanya limpahan tenaga kerja berstatus sarjana yang begitu besar sedangkan di lain pihak masih banyaknya daerah yang memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengentaskan dan mempercepat pembangunannya maka perlu adanya sebuah TEROBOSAN. Perlu dicari sebuah terobosan untuk mempertemukan kedua kebutuhan ini dengan sebuah program pemanfaatan dan pemberdayaan para sarjana yang tersedia. Para sarjana ini dapat dimanfaatkan dan diberdayakan untuk membantu tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan di daerah yang selama ini masih tertinggal.
Sekian dulu pagi ini. Silakan kalau ada komentar atau masukan. Mari kita diskusikan hal ini dengan semangat MEMBANGUN BANGSA bersama. 🙏
Satria Dharma
Balikpapan, 18 Nopember 2020