Ternyata tidak rugi saya datang jauh-jauh dari Balikpapan untuk menghadiri Diskusi Terbatas tentang Kebudayaan yang diselenggarakan oleh YSNB Yayasan Suluh Nuswantara Bakti. Paparan Prof Daoed Joesoef sungguh menarik dan semua peserta terpaku mendengarkan presentasi yang disampaikannya secara lisan selama lebih dari dua jam. Saya bahkan menganggap presentasi Prof Daoed Joesoef ini adalah the best speech Ive heard this year. Pengetahuan Prof Daoed Joesoef sungguh luas dan mendalam sehingga kita seolah diajaknya berlayar ke samudra tiada bertepi mendengarkan presentasinya.
Beliau memulai presentasinya dengan mengatakan bahwa ia akan menyampaikan hal yang sama sejak 36 tahun yang lalu. Hal yang diulang-ulangnya sehingga sudah menjadi semacam khotbah yang orang tidak memerdulikannya dulu tapi kini baru disadari. Culture is the tendency of all nation now. Semua negara sekarang menoleh kepada budaya. Salah satu pertandanya adalah dipilihnya Doktor di bidang anthropology sebagai direktur utama World Bank dan bukannya seorang ekonom. Rektor Universitas Dartmouth, Amerika Serikat, Kim Yong diputuskan sebagai Direktur Utama Bank Dunia oleh Obama. Ini menandakan bahwa dunia (utamanya Amerika) telah menyadari kesalahannya menyerahkan persoalan penting dunia pada ekonom yang hanya bicara tentang welfare (kesejahteraan) tapi tidak paham tentang happiness (kebahagian). Manusia (utamanya di Barat) menjadi semakin kaya tapi sebaliknya menjadi semakin tidak berbahagia. Hal ini sebenarnya telah disampaikan oleh Hatta yang mengatakan We want to build so everybody can be happy. Padahal beliau adalah seorang ekonom sedangkan ekonomi tidak bicara tentang kebahagiaan tetapi tentang kesejahteraan. Kesejahteraan sendiri bukanlah jaminan kebahagiaan. Jadi Hatta yang ekonom tersebut punya konsep yang lebih maju ketimbang para ekonom Barat. Amartya Sen sendiri juga mengingatkan masyarakat Barat yang berpendapatan tinggi tapi tidak bahagia. Kita tidak boleh mengikuti jejak Barat yang kapitalistik dan hanya mementingkan kesejahteraan. Kebahagiaanlah yang harus kita tuju. Kesejahteraan hanyalah salah satu alat untuk mencapai kebahagiaan. Di sini saya tiba-tiba ingat akan doa umat Islam yang selalu meminta kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan bukan kekayaan atau kepandaian.
Beliau mengritik pandanganyang menyatakan bahwa kita adalah pewaris sumber daya alam. Menurut beliau kita hanya meminjam sumber daya alam ini dari anak cucu kita jadi kita harus bisa mengembalikannya dalam keadaan tetap bisa dipakai. Apa yang kita lakukan saat ini terhadap SDA kita adalah mengambilnya dengan semena-mena dan meninggalkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Beliau mengutip pepatah Jawa Bener Ning Ra Pener dan menjelaskannya sebagai explained truth dan valuable truth. Apa yang benar menurut sebuah situasi belum tentu benar dalam nilai-nilai. Membangun jembatan di atas Selat Sunda mungkin benar menurut pandangan ekonomi dan lain-lain tapi kita juga harus mempertimbangkan adanya gunung yang ada di bawah lautan yang bisa tumbuh, hidup, dan meletus sewaktu-waktu. Kita memiliki potensi besar tapi untuk memanfaatkan potensi besar tersebut dibutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah inti dari pembangunan bangsa. Sayang sekali bahwa pendidikan saat ini telah meninggalkan budaya sehingga kehilangan dayanya. Padahal Indonesia memiliki budaya yang tinggi sebelumnya tapi kini ditinggalkan tanpa diteruskan.
Beliau menjelaskan bahwa buku Serat Centhini yang ditulis oleh penulis Jawa jaman dulu adalah karya besar yang oleh Raffles disebut sebagai The Javanese Encyclopedia yang memuat begitu banyak pengetahuan, termasuk pengetahuan seks. Sayangnya justru tulisan tentang sex itu yang lebih mendapatkan perhatian pada buku ini sehingga tidak dapat dibagi-bagikan kepada siswa karena memuat hal-hal yang tabu untuk siswa.
Menurut beliau bangsa kita saat ini telah kehilangan martabat. Kita memiliki begitu banyak sumber daya tapi diam saja ketika dikirimi limbah beracun dari luar negeri. Sayang beliau tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai ini. Kasus pekerja kita yang ditembak begitu saja di luar negeri dan tidak ada yang membela juga menunjukkan bahwa kita telah kehilangan martabat. Menurutnya martabat dan karakter adalah seperti dua sisi keping koin. Martabat itu adalah pandangan orang lain pada kita dan karakter adalah apa yang kita lihat pada diri kita.
Beliau juga mengritik dan tidak setuju dengan istilah SDM (sumber daya manusia). Menurutnya itu pandangan yang kapitalistik dan memandang manusia sebagai alat produksi semata dan sama dengan batubara, gas, minyak, dan semacamnya. Menurutnya manusia itu bukan sumber daya tapi manusialah yang memberi makna pada nilai. Human is not only homo economicus.
Dalam pendekatan budaya, manusia dipandang sebagai pemberi nilai dan menempati prioritas utama dalam pembangunan. Dengan demikian maka semua budaya dan tradisi setiap suku mendapat perhatian dan dihargai sebagai bagian penting dalam perspektif pembangunan.
Pada intinya Daoed Josoef mengajak para akademisi yang hadir pada ceramahnya tersebut untuk mengembangkan komunitas budaya dimana tradisi ilmiah merupakan salah satu kegiatan kebudayaan yang harus bisa dikembangkan oleh perguruan tinggi. Hanya perguruan tinggi yang bisa mengembangkan komunitas ilmiah, seperti yang dilakukan oleh para akademisi di negara-negara Barat. Sayangnya budaya ilmiah ini tidak terbentuk meski pun komunitas tersebut ada karena komunitas tersebut tidak melakukan komunikasi yang bersifat ilmiah melainkan sekedar komunikasi sosial. Padahal komunikasi ilmiah dari para kelompok akademisi inilah yang diharapkan akan dapat tumbuh menjadi budaya ilmiah.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa di Oxford adalah tradisi yang disebut Tea Hour, yaitu waktu istirahat minum teh bagi para dosen di Oxford, di mana mereka saling berbagi informasi tentang apa yang sedang mereka kerjakan di bidang masng-masing. Mereka bertemu dan berdiskusi secara informal tapi membicarakan tentang semua riset yang mereka kerjakan sehingga budaya akademik tersebut terbangun. Dari kegiatan seperti inilah scientific community itu terbangun.
Beliau mengritik lemahnya budaya dan integritas ilmiah yang ada saat ini. Keharusan dari Dikti untuk mengadakan publikasi ilmiah akan mubazir selama civitas academika tidak perduli terhadap karya koleganya dan selama mereka tidak menghayati integritas ilmiah. Tidak adanya publikasi ilmiah memang merendahkan martabat keilmuan perguruan tinggi namun ia hanya salah satu akibat saja. Selama komunitas ilmiah tidak terwujud maka akan hilanglah satu-satunya modal yang kita perlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Selama 67 tahun merdeka komunitas ilmiah itu belum terwujud dan embrio komunitas ilmiah relatif lemah. Jumlah perpustakaan umum minim dan jurnal ilmiah belum menjadi fakta intelektual yang mapan. Yang ada baru arisan kerja dan kesibukan di saat pemilihan pengurus komunitas ilmiah itu. Yang ada saat ini hanyalah sejumlah akademisi penyandang gelar kesarjanaan tanpa semangat ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, kalau pun bukan mandul.
Salah satu species dari budaya adalah ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu mesti dikembangkan. Ilmu pengetahuan adalah uraian tidak langsung dari kenyataan. Pengetahuan dibawa ke otak dan ketika otak diaktifkan maka ia menjadi akal atau penalaran. Upaya untuk mengembangkan otak menjadi akal itulah yang disebut pendidikan. Otak adan akal adalah dua hal yang berbeda. Otak adalah organ tapi akal bukan.
Salah satu paparan yang sangat menarik dari beliau adalah ketika menjelaskan bahwa Tuhan memiliki dua jenis Buku yang harus dibaca. Buku tersebut adalah :
– Kitab Suci dalam agama masing-masing.
– Alam Semesta sebagai buku yang harus dibaca.
Untuk dapat membaca dua jenis Kitab tersebut manusia membutuhkan dua hal agar dapat memahaminya dan memperoleh manfaat darinya. Untuk membaca Kitab Suci diperlukan keimanan sedangkan untuk mengakses alam semesta dibutuhkan Ilmu Pengetahuan. Ilmu itu sendiri bukanlah kelanjutan dari pengetahuan. Ilmu adalah produk dari suatu pembelajaran tertentu. Jika cara pembelajaran tersebut salah maka ia tidak akan menjadi ilmu.
Beliau kemudian menjelaskan tentang lima ayat Al-Quran pertama yang diturunkan ke nabi Muhammad SAW, yaitu ayat Iqra dst. Dengan fasih beliau menjelaskan bahwa meski pun manusia ketika itu sudah hidup selama ribuan tahun dan telah memiliki pengetahuan tapi ayat tersebut menyatakan bahwa Allah akan mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. Dan ternyata Allah memang membukakan 2 jenis Bukunya baik melalui Kitab Suci Al-Qutan mau pun melalui ilmu pengetahuan. Sejak turunnya Islam itulah maka segala jenis pengetahuan kemudian mengalir dengan derasnya sampai dengan sekarang. Dan itu dimulai dengan lahirnya para ilmuwan Islam dari segala penjuru sampai berabad-abad lamanya yang kemudian baru diikuti oleh ilmuwan Barat lama kemudian. Itulah sebabnya beliau mengatakan bahwa Islam adalah the religion of reason, agama yang bernalar.
Bagi kita, sebagai bangsa, ilmu pengetahuan adalah sesuatu hal yang baru, bahkan asing, yang tidak kita hayati sebagai sebuah sistem nilai (kebudayaan) yang kita warisi dari nenek moyang kita. Kita tidak serta merta menghayati tradisi akademik, yaitu the ongoing communication of scientific knowledge as it should be.
Daoed Josoef mengakhiri presentasinya dengan mengingatkan kepada para ilmuwan yang hadir pada dialog tersebut untuk benar-benar menghayati pentingnya peran mereka sebagai masyarakat atau komunitas akademis atau ilmiah untuk menumbuhkan budaya ilmiah secara sungguh-sungguh. Jika perguruan tinggi gagal menumbuhkan budaya ilmiah tersebut di lingkungannya maka kita akan gagal untuk menjadi bangsa yang memiliki budaya ilmiah.
Surabaya, 13 Mei 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com