Mengapa kita masih perlu membaca buku untuk mengajarkan cara membaca buku (apalagi dengan buku setebal hampir 500 halaman)? Ternyata membaca itu bukanlah aktifitas yg sembarangan. Ketrampilan membaca jelas punya tingkatan. Membaca yg benar akan dapat mengasah ketrampilan berpikir dan ketahanan mental. Ia akan membuat kita menjadi pembelajar seumur hidup. Tapi utk bisa menjadi pembaca dg level demikian dibutuhkan ketrampilan yg tinggi. Ketrampilan membaca, menurut buku ini, dibagi menjadi 4 tingkatan.
Ketrampilan Membaca Tingkat I adalah MEMBACA DASAR yg sudah kita kuasai, yaitu ketika pertama kali kita belajar mengeja kata-kata waktu pertama kali masuk sekolah. Tapi jika kita mempelajari bahasa asing dengan abjad non-latin seperti Arab, China, Jepang, maka kita akan mulai dari dasar lagi. Level ini biasanya dipelajari di SD. Pada level ini masalah yg dihadapi adalah bagaimana mengenali kata demi kata, mencoba memahami simbol hitam pada kertas putih. Simbol itu bisa berbunyi “Kucing duduk di atas lemari.” Siswa tidak peduli apakah kucing memang biasa duduk di atas lemari atau tidak.
Ketrampilan Membaca Tingkat II adalah Membaca Inspeksional atau biasa kita sebut Membaca Cepat. Pada tingkatan membaca ini kita dibimbing utk menginspeksi buku sekaligus mengasah berpikir cepat namun sistematis. Level ini bertujuan utk menemukan yg terbaik dari sebuah buku dalam waktu terbatas – biasanya relatif singkat. Nama lainnya adalah skimming atau pramembaca.
Ketrampilan Membaca Tingkat III adalah Membaca Analitis, yaitu ketrampilan utk mencerna dan mengkritisi buku secara memadai sekompleks apa pun serta jenis apa pun buku yg kita baca. Latihan pd level ini akan mengasah daya imajinatif dan penalaran secara rinci, dan sistematis.
Membaca analitis jelas berarti membaca secara menyeluruh, membaca lengkap, atau membaca dengan cara terbaik yg bisa kita lakukan. Jika membaca inspeksional adalah kegiatan membaca terbaik dan terlengkap dalam waktu terbatas, membaca analitis adalah kegiatan membaca terbaik dan terlengkap tanpa dibatasi waktu. Membaca analitis selalu sangat aktif. Francis Bacon berkata, “Sejumlah buku hanya perlu dicicipi, yg lain perlu ditelan, dan sedikit lainnya harus dikunyah dan dicerna.”. Membaca secara analitis berarti ‘mengunyah dan mencerna’. Tujuan membaca tingkatan ini adalah utk mendapatkan pemahaman dan bukan sekedar utk mendapatkan informasi atau hiburan.
Ketrampilan Membaca Tingkat IV atau yg tertinggi adalah membaca sintopikal atau membaca komparatif. Pada tingkat ini kita akan mampu menguasai satu topik dengan menimbang berbagai sudut pandang yg tersedia dalam berbagai literatur karya para maestro di bidangnya. Pada tingkat ini kita juga akan mampu mengasah kemampuan berpikir komprehensif dengan menimbang segala kemungkinan yg ada. Jadi pada tingkatan ini kita tidak hanya membaca satu buku tapi banyak buku. Jenis ketrampilan tingkat ini jelas membutuhkan energi yg besar karena merupakan aktifitas membaca yg paling aktif.
Membaca sintopikal jelas bukan seni membaca yg mudah dan peraturannya juga belum banyak dikenal. Tapi di antara semua aktivitas membaca, level inilah yg paling berguna. Manfaatnya paling besar sehingga sepadan dengan kesulitan mempelajarinya.
Membaca dengan tujuan utk menambah pemahaman ada syaratnya. Pertama, ada ketimpangan pemahaman. Pemahaman si penulis harus lebih tinggi atau superior daripada pembacanya. Dan buku tersebut harus menyampaikan keunggulan itu secara jelas bagi para pembaca potensialnya. Kedua, sampai tingkat tertentu pembaca harus bisa menguasai ketimpangan ini, meski tidak sepenuhnya, tapi paling tidak MENDEKATI tingkat pemahaman penulis. Jika itu tercapai maka akan terjalin komunikasi antara si penulis buku dan si pembaca.
Buku dahsyat ini ditujukan bagi para pembaca dan yang ingin menjadi pembaca. Secara khusus buku ini diperuntukkan bagi para pembaca buku. Lebih khusus lagi, buku ini diperuntukkan bagi mereka yg membaca buku utk menambah pemahaman, demikian katanya. Buku ini diterbitkan oleh PT Indonesia Publishing. Dan telah memasuki cetakan ketiga. Buku ini diberi kata sambutan oleh almarhum Gus Dur yg menyatakan bahwa buku ini merupakan contoh terbaik sebuah karya kreatif. Menurut Gus Dur lemahnya kemampuan membaca masyarakat membuat terjadinya kesenjangan berkomunikasi. Ada kesenjangan berkomunikasi yg disebabkan oleh senjangnya kemampuan berbahasa yang pada akhirnya menimbulkan budaya kekerasan (violence culture).
Buku ini sendiri sejak pertamakali diterbitkan (oleh Simon & Schuster pada tahun 1972) langsung menjadi best seller nasional (di AS) selama lebih dari setahun. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mengajari para remaja utk membaca telah menjadi masalah pendidikan yg sangat besar. Pemerintah AS yg mencanangkan tahun 1970-an sebagai Dekade Membaca mengalokasikan sejumlah besar dana utk mendukung peningkatan kemampuan dasar membaca. Alasan lain adalah gagalnya pengajaran membaca setelah SD di Amerika, meski pun sebagian besar sumber daya pendidikan Amerika dicurahkan utk mengajarkan ketrampilan membaca di tingkat SD. Ironisnya rata-rata siswa SMA di Amerika tidak mampu menemukan intisari sebuah bacaan, atau menetapkan tingkat signifikansi argumen-argumen dari sebuah eksposisi.
Apakah bangsa kita mengalami masalah yg sama? Secara bergurau saya menjawab, “Tidak.”. Kita tidak memiliki masalah dalam upaya meningkatkan kemampuan membava siswa kita karena kita memang tidak pernah memiliki program peningkatan kemampuan membaca siswa kita. Amerika memiliki masalah karena mereka memang mengupayakan agar siswa-siswa mereka meningkat kemampuan dan ketrampilan membaca mereka dengan berbagai program sedangkan kita tidak memiliki masalah karena memang tidak punya program tersebut. Saya menuliskan ini sambil pingin menangis menyadari betapa abainya bangsa kita terhadap kemampuan dan ketrampilan literasi bangsa.
Saya belum memasuki buku ini benar-benar tapi baru melalui ‘gerbangnya’. Tapi jelas bahwa buku ini sangat gurih.
Saya yakin buku ini akan sangat bermanfaat bagi para dosen atau akademisi yg bergerak di bidang (pendidikan) bahasa.
Surabaya, 15 April 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Saya membaca novel “The Old Man and the Sea ” karya Ernest Hemingway semasa smp karena buku itu tergeletak bebas di meja makan, di samping itu juga agar tampak gagah oleh orang-orang yang melihat saya sedang membaca buku tersebut.
Lalu, saya menbaca ” Bumi Manusia ” , “Rumah Kaca ” dan Anak Semua Bangsa ” Karya Pamudya Ananta Toer karena justru buku itu sulit di di peroleh ( saat itu termasuk buku yang dilarang beredar oleh rejim penguasa ) dan akan terdengar gagah jika saya cerita kepada teman smp saya kalau saya telah membaca ketiganya dan mampu menceritakan isi buku-buku tersebut.
Di dalam bis kota semasa sma saya merasa kurang pd jika tidak menaruh buku Kalkulus karanga Edwin Purcel diatas kedua paha saya…
Jadi jaman dulu pada mulanya adalah kebutuhan akan kebaggaan dan kegagahan… Saat ini anak saya mendapatkan pemenuhan terhadap kebanggaannya dari sebuah layar monitor kecil seukuran 4 x 5 cm handphonenya ketika sms-an..atau ketika sedang meng-up date status di facebooknya…Ternyata semua kita memang hidup dalam jamannya masing-masing, Pak Sat…Salam hormat slalu..!