
Teman saya Hotben Situmorang menanggapi posting saya yang berjudul “MANA YANG LEBIH PENTING? beragama Islam (menjadi muslim) atau berakhlak atau berprilaku islami?” dengan kisahnya.
Dia bercerita pengalamannya ketika mendampingi rombongan kasek asal Papua ke Sun shine Coast. Mereka tinggal di rumah penduduk bernama Edy yang seorang ateis dan beristrikan penganut Buddha. Edy yang ateis menganggap ritual agama yang dilakukan istrinya adalah sampah. “To me it’s rubbish”, katanya. 😎
Menurut Eddy orang beragama melakukan hal ritual dan kebaikan karena mau meraih sorga, imbalan, bukan karena dari dirinya yg memang harus melakukan itu walau sorga tdk ada. Menurutnya lagi, apa yg dilakukannya semata-mata sebagai nilai dirinya yg berbeda dgn mahluk lain, bukan karena sorga atau apapun itu. Nilai diri yg dihidupinya harus berbuat baik utk alam ini dan untuk sesama supaya kehidupan semakin baik. Kehidupan yg lebih baik tentu hanya diharapkan dari mahluk yg disebut manusia.
Saya senang membaca kisah tersebut dan setuju dengan Eddy. 👍😁
Orang memang bisa berbuat baik apa pun agamanya, bahkan jika tidak beragama sekali pun. 🙏 Kebaikan hati Itu memang universal. Berbuat baik kepada sesama dan alam Itu memang pilihan pribadi kita saja. Tapi saya tidak setuju dengan pendapatnya bahwa membakar hio yang dilakukan istrinya adalah rubbish. Itu adalah ritual yang dipercaya oleh istrinya yang dia anggap dapat mendekatkan dirinya pada Tuhan yang Maha Kuasa. Tentu saja karena saya sendiri orang yang mengimani adanya Tuhan Sang Pencipta dan mengikuti ajaran agama dengan segala ritualnya. Jadi saya juga menghormati ritual yang dilakukan oleh penganut agama lain sepanjang itu tidak merugikan orang lain. Apa yang ‘rubbish’ di mata kita mungkin sangat berharga bagi orang lain. Uang yang banyak, wanita-wanita cantik, dan segala yang bersifat materi bagi ateis bisa dianggap ‘rubbish’ oleh para rohaniawan. 😁
Tapi saya sangat setuju pada Edy bahwa tanpa mengimani adanya Tuhan yang menjanjikan sorga pun manusia bisa melakukan kebaikan-kebaikan di dunia ini. Faktanya kan di dunia ini lebih banyak orang yang tidak beriman ketimbang yang beriman dan toh ada sangat banyak kebaikan-kebaikan yang kita temui dalam hidup kita yang jelas sebagian besarnya mungkin justru dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman seperti kita. Lha wong binatang saja bisa melakukan kebaikan-kebaikan yang menakjubkan bagi kita. 😁 Dalam melakukan kebaikan manusia ada yang dituntun oleh ajaran agamanya,ada yang dituntun oleh naluri dan akalnya. Kalau binatang jelas karena nalurinya. Artinya secara naluriah mahluk hidup di dunia ini BISA berbuat baik. 🙏
Jadi tinggalkan pemikiran bodoh yang menyatakan bahwa hanya orang beriman yang bisa melakukan kebaikan di dunia ini. Apalagi mau menyatakan bahwa kejahatan di dunia ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman semata. Itu pemikiran yang sungguh bodoh.
Mau beriman atau tidak kita semua punya potensi dan kompetensi untuk berbuat baik mau pun jahat. Mana yang akan kita pilih, berbuat baik atau berbuat jahat? Perkara apa pun alasan atau motivasinya maka itu pasti akan kembali pada diri kita masing-masing.
Jadi intinya bukan apakah kita beriman atau tidak tapi apakah kita akan melakukan kebaikan atau kejahatan dalam hidup kita sehari-hari. Lagipula apa gunanya keimanan yang kita miliki jika kita justru memilih melakukan perbuatan jahat dalam hidup kita? Maka itu akan benar-benar ‘rubbish’ seperti kata Edy. Lebih ‘rubbish’ lagi jika kita menyombongkan diri dan menganggap diri lebih hebat sebagai manusia beriman yang soleh di hadapan orang yang kita anggap tidak beriman, ateis atau pun komunis. Dunia tidak butuh kesolehan kita. Dunia butuh perbuatan baik kita secara nyata yang berdampak pada sesama.
Surabaya, 17 Desember 2021
Satria Dharma