Saya berhasil menyelesaikan buku “Mohon Maaf… Masih Compang-Camping” siang ini sambil menemani istri saya ‘ngacapruk’ sama teman-teman ‘kera Ngalam’nya. Ini buku luar biasa…! Buku ini mestinya dijadikan buku ‘Must Read’ (bukan ‘Must Eko’) bagi semua staf dan pimpinan di Unesa supaya mereka semua paham apa yg sudah, sedang dan akan dilakukan di Unesa. Dengan membaca buku ini semua ‘penumpang’ di kapal besar Unesa akan bisa memiliki cara pandang (mind-set) yg sama agar kapal besar ini benar-benar akan dapat berlayar jauh dan cepat tanpa harus menghabiskan waktu utk menjelaskan ulang berkali-kali. Kesamaan cara pandang, visi, misi, SWOT, dan penetapan strategi serta prioritas akan sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah ‘kapal besar’ macam Unesa ini (meski pun konon SPP-nya termurah di Jawa Timur). Kalau saya jadi rektor pengganti Mas Muchlas maka buku ini akan saya perbanyak dan bagikan pada semua pimpinan, baik itu PR, Dekan, Kajur, Kabag, Kasub, BEM, dan semua staf di Unesa sebagai buku wajib baca dan pahami. Kalau perlu saya akan minta Pak Muchlas utk ‘menatar’ semua pimpinan tersebut agar paham ke mana sebenarnya kapal besar Unesa akan berlayar dan bagaimana ‘rules and policy’ yg akan dijalankan.
Saya bahkan berpikir alangkah indahnya jika buku ini dijadikan sebagai souvenir atau hadiah bagi semua rektor PTN (dan juga PTS) agar mereka bisa belajar dari buku ini. Buku ini berisi visi, misi, program, kiat dan strategi dari seorang rektor yg luar biasa dalam mengemban tugas selama empat tahun di Unesa. Buku ini bukan hanya berisikan pemikiran terbaik dari seorang Doktor di bidang pendidikan dg nilai Cumlaude tapi sekaligus bagaimana ia mengaplikasikannya di sebuah perti besar dan bagaimana ia mengatasi berbagai kesulitan dan tantangan-tantangan di lapangan. Meski bisa melakukan lompatan besar hanya dalam empat tahun kepemimpinannya Mas Muchlas tetaplah seorang yg sangat rendah hati dan tidak pernah mau menonjolkan prestasi-prestasi yg telah dicapainya. Beliau mengakui bahwa upayanya utk meningkatkan iklim akademik di Unesa belum berhasil. Dan itu sepenuhnya merupakan tanggung jawabnya…! Beliau bahkan menganggap dirinya sebagai ‘lebih bodoh daripada keledai’ yg tidak ingin terantuk yg kedua kalinya. Beliau samasekali tidak ingin mencari-cari alasan dari kegagalan tsb meski kita semua tahu bahwa upaya utk menumbuhkan iklim akademik di LPTK adalah seperti mimpi yg utopis saja. Terlalu banyak faktor yg mempengaruhi rendahnya mutu dan atmosfir akademik di Unesa dan waktu empat tahun jelaslah terlalu singkat utk membangun sebuah iklim akademik pada perti yg selama ini tidak pernah dituntut utk itu (it was even never an issue).
Selain bisa digunakan sebagai rujukan dan pembanding bagi para pimpinan perti lain, buku ini juga merupakan sebuah pertanggungjawaban moral dari seorang pejabat dalam mengemban tugasnya yg terangkum dalam sebuah buku yg indah dan enak dibaca. Meski buku ini sarat dengan pemikiran-pemikiran brilyan dan disertai dg rujukan-rujukan referensi tapi buku ini ditulis dengan bahasa yg ‘ngepop’ dan ringan. Kita tidak perlu berkerut kening selama membacanya apalagi terengah-engah karena beratnya pembahasannya. Tapi buku ini mampu membuat saya tercenung dan terus memikirkan isinya karena memang sungguh berbobot dan menarik. Bayangkan jika tradisi menuliskan pertanggungjawaban selama menjabat dalam sebuah buku diwajibkan bagi para pimpinan perti maka atmosfer akademik dan budaya literasi akan berkembang dg pesat. Buku ini adalah sebuah contoh yg sangat baik dan patut diikuti oleh semua pimpinan perti. Kalau saya jadi Dirjen Dikti maka saya akan membagikan buku ini pada semua rektor perti dan mewajibkan mereka membuat buku semacam ini. Buku semacam ini perlu utk dijadikan sebagai ‘manual book’ bagi para penerus mereka dan juga sebagai pertanggungjawaban moral mereka selama memimpin perti. Ini adalah implementasi dari prinsip “Talk the Walk”, tuliskan apa yg hendak kamu lakukan (meski ini adalah menuliskan apa yg telah dilakukan)
Saya sungguh gembira bisa berteman dan bergaul dg seseorang yg memiliki kualitas intelektual, sosial, dan emosional seperti Mas Muchlas. Beliau itu ibarat sumur atau mata air inspirasi yg akan selalu memancarkan air penyejuk dan penyegar bagi dahaga intelektual kita semua. Sungguh saya berharap agar beliau masih akan berusia panjang dan menyebarkan berkah seperti Prof. HAR Tilaar, dosen pembimbing doktoralnya yg masih terus produktif dan menjadi sumur inspirasi dan pemikiran intelektual bagi bangsa di usianya yg sudah lebih dari sepuluh windu itu. Semoga…!
Surabaya, 1 September 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com