Saya baru saja mendapat sebuah buku pemberian Mas Rukin Firda dg judul di atas. Buku ini adalah kumpulan tulisan pengalaman para peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) yg bertugas di Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Begitu masuk di dalam pesawat menuju Surabaya saya langsung membaca buku itu dan tenggelam di dalamnya. Pesawat baru meninggalkan landasan tapi mata saya sudah basah membacanya. Sungguh mengharukan!
Lokasi para sarjana baru tersebut benar-benar jauh dan terpencil dan utk mencapainya bahkan ada yg butuh berhari-hari perjalanan dengan transportasi seadanya menyeberangi beberapa sungai. Di beberapa tempat tak ada listrik apagi sambungan telpon. Kondisnya sangat kekurangan. Itu sebabnya beberapa di antara mereka rontok sebelum menyelesaikan tugasnya.
Yang mengharukan adalah semangat belajar anak-anak Sumba Timur utk belajar yg diceritakan. Mereka seolah anak-anak yg kehausan akan pendidikan dan menemukan oase pada para guru SM-3Ttersebut. Mereka tidak segan-segan mendatangi guru mereka malam hari dengan berbekal senter hanya utk minta pelajaran tambahan!
Berikut ini potongan kisahnya.
“…. Untuk apa mereka ikut datang ke tempat tinggalnya malam hari?
“Kami ingin belajar Matematika lagi, Ibu,” kata mereka serempak.
Hah! Semuanya? Satu kelas? Antara kaget dan haru, dia mencoba menegaskan.
“Kalian semua ke sini utk belajar matematika?,” tanyanya.
“Ya, Ibu” jawab mereka serentak.
Sungguh besar semangat mereka utk belajar. Pagi tadi sudah belajar, ditambah pelajaran sore hari, dan kini minta belajar lagi malam hari…
Dan tahukah bagaimana cara mereka belajar di malam hari? Yaitu dengan mengarahkan senter mereka ke papan tulis dan buku mereka bergantian karena tak ada listrik…!
Pertama kali masuk kelas ia menghadapi kejutan karena meski siswanya sudah duduk di kelas IX tidak sedikit dari siswanya yg belum hafal perkalian, apalagi pembagian!
Bayangkan! Siswa kelas terakhir SMP bahkan perkalian saja belum hafal.
Desma yg mengajar di SMPN 1 Pahungu Lodu mendapat kejutan lain. Ketika mengajar bhs Inggris di kelas IX D. Ketika ia menuliskan kata ‘hungry’ di papan dan meminta seorang siswa utk mengartikannya dalam bhs Indonesia dan apa jawabnya…?!
“Anjing,” jawab siswanya yakin.
Dan airmata saya pun kembali menggenang membayangkan ini.
Shalikah yg mengajar di SMP Pinupahar suatu ketika datang ke sekolah dalam keadaan hujan. Dan ternyata siswanya telah menunggunya dalam keadaan basah kuyup minta tetap diajar. Itu membuatnya sungguh terharu. Melihat siswa bayah kuyup tubuh dan pakaiannya tapi tetap belajar dengan penuh antusias di kelas.
Melinda yg mengajar di SMPN Satu Atap Tamburi sering mendapati siswa-siswa SD kelas 5 dan 6 menjadi siswa ‘sit-in’ dengan ikut mendengarkannya mengajar di kelas 7 dengan melongok lewat jendela. Setiap kali ia mengajar beberapa kepala kecil akan numpang nongol di jendela kelasnya.
Suatu kali ia iseng bertanya pada salah satu siswa.
“Namamu siapa?,” tanyanya.
Lama, tidak ada jawaban. Ia bertanya lagi.
“Siapa namamu?,”. Belum juga dijawab.
Seorang siswa kelas 7 kemudian memberitahu bahwa pertanyaan Ibu Guru salah.
Salah…? Apanya yg salah?
Sambil tersenyum si siswa kelas 7 kemudian mendekati siswa yg ditanyai tadi dan bertanya.
“Siapa kamu punya nama?”
Kali ini si bocah perempuan tsb menjawab.
“Eni,”
Ketika ditanya mengapa mereka suka melihat Ibu Guru mengajar dari jendela mereka menjawab.
“Kami ingin ibu mengajar kami, seperti kepada kakak-kakak itu.”
Rupanya para guru pendatang tsb dianggap sebagai guru yg menyenangkan cara mengajarnya dan berbeda dg guru lokal yg dianggap keras dan kejam. Guru lokal juga dianggap kurang disiplin.
“Dulu, datang ke sekolah jam 09:00, belajar sedikit, main bola, lantas pulang sebelum jam 12:00,” kata seorang siswa di SMPN Tamburi.
Nur Khayati yg mengajar kelas 7 menjumpai kenyataan bahwa 7 dari 19 siswanya ternyata benar-benar belum bisa membaca dg lancar. Mereka harus mengeja setiap kata dengan tempo yg sangat lambat. Setelah menutup pelajaran di luar dugaannya ke tujuh siswa tersebut mendatanginya dan berkata.
“Ibu Guru, kami ingin bisa membaca dengan cepat. Ajari kami, Ibu,”
Saya sempat bertemu dengan dosen Unesa yg menjadi pembimbing sarjana tersebut dan mendapat cerita bahwa tidak semua kisah di Sumba Timur menyenangkan atau mengharukan. Ada sekolah yg memusuhi guru SM-3T dan tidak ingin lagi dikirimi guru utk kesempatan berikutnya. Ketika ditelusuri ternyata para guru tersebut dimusuhi karena menolak utk mengerjakan soal Ujian Nasional bagi siswa sekolah tsb dan dianggap tidak mau membantu sekolah. Guru-guru ini dianggap ‘tiada guna’.
Cerita tentang dampak Ujian Nasional memang selalu menyedihkan sekaligus membuat geram baik di NTT atau di mana pun. Meski sudah tahu kondisi pendidikan yg mengenaskan di NTT tapi pemerintah masih juga bebal memaksakannya dan tidak peduli pada dampaknya.
Ini adalah penanaman karakter curang secara terstruktur oleh pemerintah yg akan membunuh semangat belajar siswa yg begitu besar di Sumba Timur.
Gembar-gembor ttg Pendidikan Karakter yg katanya ingin ditanamkan pada siswa Indonesia ternyata hanya wacana yg justru sangat bertentangan dengan praktek pendidikan kecurangan yg terjadi secara nasional. Benih-benih kecurangan yg terjadi karena pemaksaan Ujian Nasional ini insya Allah akan berbuah lebat di kemudian hari dan harus ditanggung dosanya oleh para pejabat pemerintah baik yg ada di Kemdikbud mau pun di DPR kelak di akhirat. Merekalah yg menyediakan bibit dan memaksakan menanamnya.
Batavia, CGK-SUB, 24 Mei 2012.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Pak Satria Dharma,
Sebaiknya tulisan2 bapak yg menarik ini dikirimkan ke banyak media (TV lebih luas gaungnya).
“Siapa yg menguasai informasi, maka dia menguasai dunia”.
Sedih juga pak melihat orang2 di Senayan ribut sendiri, sementara masyarakat di daerah perbatasan mengalami kesulitan.
Bahkan gejala dis-integrasi masyarakat daerah perbatasan ternyata tidak juga membuka mata dan telinga pengambil keputusan di Senayan.
Saya hanya ‘numpang’ baca ulasan tulisan Pak Satria ini saja, sudah berkaca – kaca menahan air mata yang akan jatuh, dada saya pun ikut sesak, adrenalin saya jadi naik. Uff…..! sungguh, pikiran saya di bawah ke Sumba Timur, mengingatkan saya kembali tahun 1992 mengajarkan baca tulis pada ‘dua anak’ kepala suku dari Suku Anak Dalam (Suku Kubu) di Muara Bungo. Pasti masih banyak lagi ya, Pak Satria, anak – anak di pelosok negeri ini yang dengan semangat mau belajar meski banyak rintangan yang dihadapi.