Saya sedang mengendarai mobil di jalanan Surabaya ketika mendengar acara Dialog Pendidikan di radio El-Shinta dengan nara sumber Prof Dr. Arief Rahman. Topiknya tentang Ujian Nasional. Sayang saya tertinggal sehingga hanya mendengarkan tanya jawabnya saja. Tapi jelas sekali bahwa Prof Arief Rahman membela Ujian Nasional dan tidak setuju jika Ujian Nasional dihentikan. Beliau hanya menganjurkan agar UN tersebut disempurnakan tapi tidak jelas bagaimana usulannya untuk menyempurnakan UN tersebut. Apa yang mau disempurnakan kalau sudah salah arah dan salah kaprah seperti sekarang ini?
Ingin sekali saya rasanya nimbrung di acara tersebut dan mendebat pendapat Prof Arief Rahman. Ketika ditanya oleh pendengar apa sebenarnya tujuan UN dijawabnya Ujian adalah sebuah sistem untuk mengetahui seberapa baik siswa menguasai pelajaran yang telah diberikan padanya dan Ujian Nasional adalah sebuah sistem evaluasi secara nasional untuk mengetahui seberapa baik siswa memahami dan menguasai kurikulum secara nasional. Dengan jawaban ini sebenarnya UN itu sudah TIDAK LAYAK dilaksanakan secara nasional karena jelas sekali bahwa BANYAK DAERAH di seluruh Indonesia yang siswanya belum mendapatkan materi pembelajaran seperti yang diujikan pada UN tersebut. Jika Ujian adalah untuk menguji apa yang telah dipelajari siswa maka siswa yang belum memperoleh materi seperti yang akan diujikan tentulah TIDAK LAYAK untuk diuji. Apa yang mau diuji jika siswa belum mempelajari materi yang akan diujikan? Apakah Prof Arief Rahman tidak tahu bahwa SEBAGIAN BESAR siswa di berbagai daerah belum mendapat kesempatan untuk mempelajari materi yang diujikan dalam Ujian Nasional karena rendahnya mutu pendidikan di daerah tersebut sehingga dengan demikian sebenarnya TIDAK LAYAK untuk diuji dengan Ujian Nasional? Apakah Prof Arief Rahman tidak tahu bahwa banyak siswa kelas 9 di Sumbar Timur yang bahkan belum hafal perkalian (apalagi penghitungan yang lebih rumit dari hafalan perkalian)? Apakah beliau tidak tahu bahwa banyak siswa Kelas 7 di Sumba Timur (dan tentunya di banyak daerah terpencil di Indonesia) yang bahkan belum lancar membaca dan masih mengeja terbata-bata? Lantas patutkah mereka diuji dengan Ujian Nasional dan dihukum tidak lulus karena tidak menguasai materi yang memang belum pernah mereka pelajari? Ingin sekali rasanya saya menyodorkan pertanyaan ini pada beliau.
Beliau juga menyatakan bahwa tidak lulus itu wajar dan dalam hidup itu wajar ada yang sukses dan ada yang gagal. Saya sungguh sedih dan gemas mendengar pernyataan ini. Ini pernyataan yang sungguh normatif dan tidak layak dipakai menjawab untuk situasi yang tidak normal seperti Ujian Nasional ini. Masalahnya adalah Ujian Nasional ini sungguh TIDAK ADIL bagi siswa yang tidak mendapatkan mutu pendidikan yang bertaraf nasional. Jadi meskipun hanya sedikit yang tidak lulus (berkat bermacam-macam cara yang layak dan tidak layak) maka jika ada siswa yang belum layak ikut UN tapi diwajibkan untuk ikut UN maka jika ia tidak lulus UN maka itu tetaplah ketidakadilan. Sungguh aneh jika ternyata 99% siswa kita bisa lulus UN SD, umpamanya, padahal bahkan masih banyak di antara mereka yang belum lancar membaca!
Bagaimana mungkin Papua yang masih menghadapi masalah buta huruf diwajibkan memiliki standar kelulusan yang sama dengan Jakarta? Bagaimana mungkin kinerja sekolah di pelosok Indonesia yang gedungnya mau roboh dan gurunya sangat kurang dan jarang datang, tak punya buku, siswa-siswanya masih belum lancar membaca diminta bisa bersaing dengan sekolah di Jakarta (dan dihukum karenanya)?
Semestinya Ujian Nasional pertama-tama dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi bukan untuk mengukur kinerja siswa dulu. Siswa itu kan hanya menerima pelayanan pendidikan dan bukan pelaku yang menentukan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri. Lantas kenapa siswa yang harus menerima resiko dan hukumannya jika pelayanan pendidikan di daerah atau sekolahnya buruk? Kenapa bukan Dinas Pendidikannya yang dicopot jabatannya lebih dahulu? Mereka lebih pantas untuk menerima resiko dari buruknya pelayanan pendidikan kita ketimbang siswanya yang tidak tahu harus berbuat apa agar bisa mengejar ketertinggalan dengan siswa Jakarta.
Standar Nasional sendiri mencakup 8 hal, yaitu :
* Standar Kompetensi Lulusan
* Standar Isi
* Standar Proses
* Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
* Standar Sarana dan Prasarana
* Standar Pengelolaan
* Standar Pembiayaan Pendidikan
* Standar Penilaian Pendidikan
Lha kalau standar-standar ini tidak pernah dipenuhi tapi ujiannya (Standar Penilaian Pendidikan) yang diberlakukan secara nasional bukankah itu sembrono?! Bukankah ini yang menyebabkan MA melarang UN diberlakukan? Kalau standar yang lain belum diberlakukan maka semestinya janganlah siswa diwajibkan mengikuti UN dulu. Semestinya hanya daerah-daerah yang telah mampu menerapkan semua standar nasional tersebut yang perlu diuji dengan sebuah ujian nasional. Sekolah-sekolah yang belum bisa menerapkan ke tujuh standar pelayanan minimum lainnya tentu tidak perlu diuji dengan sebuah ujian yang berstandar nasional. Ujian yang berstandar nasional SEMESTINYA hanya boleh diberikan JIKA instrumen masukan dan proses pendidikannya sudah berstandar nasional juga. Jadi Ujian Nasional itu UJUNG dari sebuah proses panjang dari sebuah upaya peningkatan kualitas pendidikan yang berstandar nasional pula. Jika instrumen masukan dan proses yang diberikan tidak berstandar nasional maka mengukurnya dengan sebuah ujian nasional adalah kesalahan fatal. Menjadikannya sebagai syarat kelulusan adalah sebuah kekejaman dan ketidakadilan (bagi mereka yang tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang berstandar nasional).
SEMESTINYA siswa-siswa dari sekolah yang belum mencapai standar minimal seperti yang ditetapkan oleh BSNP ini selayaknya TIDAK DIPERBOLEHKAN mengambil ujian nasional. Tanpa perduli apakah siswa-siswa tersebut telah memperoleh standar pendidikan yang nasional atau belum adalah sebuah kesalahan fatal dalam prinsip pengujian atau evaluasi. Prinsip test what you teach tidak digunakan dengan pemberlakuan ujian nasional kita saat ini. Sebagian besar siswa di daerah-daerah terpencil (bahkan juga di P. Jawa) belum memperoleh haknya akan sebuah pendidikan yang berstandar nasional tapi mereka telah dievaluasi dengan sebuah ujian yang berstandar nasional. Jadi pernyataan Prof Arief Rahman di atas sebenarnya bisa digugat dengan pertanyaan :Apakah Anda yakin bahwa Ujian Nasional itu menguji apa yang telah diajarkan pada semua siswa yang mengikuti Ujian Nasional? Jika Prof Arief Rahman tidak yakin maka selayaknya beliau tidak mendukung Ujian Nasional. Tapi jika beliau merasa yakin bahwa siswa telah memperoleh semua materi yang diujikan pada mereka (sehingga mendukung UN) maka saya ingin menganjurkan beliau untuk berkeliling melihat faktanya sendiri. Sungguh aneh jika beliau yang sudah berpengalaman begitu luas tidak melihat fakta ketimpangan ini di seluruh Indonesia.
Penerapan UN sebagai resep untuk meningkatkan mutu pendidikan sendiri mencerminkan sebuah kebijakan yang tidak didasarkan pada akar persoalan pendidikan yang sebenarnya. Bukan lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum yang menjadi permasalahan pendidikan kita tetapi karena rendahnya kualitas guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional.
Menurut laporan Balitbang Depdiknas sendiri hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan guru SD di Indonesia yang memiliki kualifikasi untuk mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan sekolah Depag. Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar. Jadi inilah sebenarnya akar persoalan pendidikan kita dan bukan karena mereka perlu ujian yang berstandar nasional. Bahkan hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) yang dilakukan oleh Kemdikbud baru-baru ini semakin menegaskan bahwa kompetensi guru dalam mengajar secara nasional masih sangat rendah (nilai rata-rata nasionalnya 42 dan Jogya sebagai propinsi terbaik nilai rata-ratanya hanya 50,1). Berdasarkan statistik dari Kemdikbud sendiri 1 dari 6 sekolah di Jateng (ini pusatnya Jawa lho!) bermutu buruk dan 1 dari 2 sekolah di NTT memprihatinkan.
Lha kalau sekolah buruk masih begitu banyak kok ya lantas mau diuji dengan sebuah ujian standar yang hanya bisa dikerjakan oleh sekolah-sekolah berkualitas baik!
UN adalah masalah besar. Sangat keliru jika menganggap UN adalah masalah kecil. Justru UN adalah sistem yg membuat pendidikan Indonesia mengalami kemerosotan dan berubah sekedar menjadi bimbingan test untuk ujian belaka. Semua tujuan belajar telah direduksi menjadi sekedar agar siswa Indonesia lulus mengerjakan soal-soal UN. Masalah moral bangsa dalam hal kejujuran ditimbulkan oleh kecurangan UN ini. Semua upaya utk menjadikan pembelajaran menjadi aktif, kreatif dan menyenangkan menjadi sia-sia karena adanya keharusan UN ini. Semua pembelajaran yg bermakna ditinggalkan karena keharusan utk menerapkan UN yg tidak bermanfaat bagi siswa ini. UN adalah kepentingan pemerintah dan merupakan keputusan politik, bukan utk kebutuhan siswa itu sendiri. Saya akan sangat heran jika Prof Arief Rahman tidak melihat betapa besarnya dampak buruk yang dihasilkan dari UN ini.
Apa sebenarnya yang hilang ketika kita menjadikan ujian nasional sebagai tujuan pendidikan itu sendiri?
Gerald Bracey telah membuat daftar hal penting dalam pendidikan yang justru bakal menghilang jika kita menggunakan lstandardized tests sebagai ujian, yaitu :
creativity, critical thinking, resilience, motivation, persistence, curiosity, endurance, reliability, enthusiasm, empathy, self-awareness, self-discipline, leadership, civic-mindedness, courage, compassion, resourcefulness, sense of beauty, sense of wonder, honesty, integrity.
Dari sudut matematika, Prof. Iwan Pranoto dari ITB mengritik keras soal-soal yang diujikan dalam UN karena menurutnya kecakapan bermatematika yang diukur dalam UN itu adalah jenjang terendah, komputasi panjang dan rumit yang hanya membutuhkan ketelitian. Tapi itu adalah kecakapan kedaluarsa yang salah satunya adalah routine cognitive skill atau recall. Ini memang sesuai pada 30 tahun yang lampau, karena kalkulator atau komputer belum tersedia dengan mudah. Menurutnya sekarang ini, justru kecakapan yang seharusnya dikembangkan dan diukur adalah expert thinking dan complex communication, yang merupakan high order thinking (HOT). Nah, justru UN yang dibela dengan sangat yakin oleh Prof Arief Rahman itu soal matematikanya justru mengukur kecakapan yang sudah bukan masanya itu. Itu cocok sebelum ada kalkulator dan Google. UN Matematika itu seperti mengatakan bahwa kalkulator dan Google itu harus diajak bertanding untuk dikalahkan, bukan untuk dimanfaatkan. Seharusnya UN justru harus mengembangkan kecakapan yang tak dapat dilakukan oleh mesin.
Menurut Prof Iwan Pranoto kecakapan yang kita uji pada UN saat ini secara otomatis akan menjadi fokus pada proses pembelajaran di sekolah. Artinya, dengan kita meneruskan UN matematika yang berpusat pada level 1 atau lebih rendah (versi PISA) secara tak langsung kita menganjurkan pembelajaran level ini. Ini bak meminta anak2 kita memanjat pohon yang salah dan buahnya juga sudah busuk.
Menurut Dr Yong Zhao, dengan memaksakan standardized test sebagai ujian bagi siswa sekolah adalah sama dengan menetapkan tujuan pendidikan yg tidak bermakna, tidak berpijak pada realita, dan sewenang-wenang. Ujian yg beresiko tinggi bagi siswa memerosotkan semangat pendidikan, meracuni lingkungan pendidikan, dan menurunkan semangat para pendidik. Dengan memaksa sekolah dan guru utk mengajarkan hanya pada yg akan diujikan pada ujian telah mempersempit pengalaman belajar dari jutaan anak dan sekaligus menghilangkan kesempatan anak-anak utk memperoleh pendidikan yg nyata mereka butuhkan, khususnya pada anak-anak yg kurang beruntung secara sosio-ekonomi.
Ujian semacam itu (dan segala upaya yg diarahkan utk mencapainya) jelas membuat pemerintah (dan masyarakat) menyia-nyiakan sumber dana dan sumber-sumber lainnya yg berharga yg semestinya bisa dipakai utk meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Sebuah kemubaziran berskala nasional oleh sebuah bangsa secara bersama. Sebaliknya, Ujian Nasional ini telah mendorong begitu banyak sekolah dan daerah untuk mencuranginya dengan berbagai cara. Kita telah mendorong sekolah-sekolah yang tidak beruntung untuk melakukan kecurangan demi agar bisa lolos dalam UN yang memang selayaknya tidak perlu mereka ikuti. Kita menanamkan benih-benih kecurangan ini pada guru dan siswa demi sebuah sitem evaluasi yang sungguh tidak tepat untuk dilakukan.
Saya sungguh berharap Prof Arief Rahman suatu saat meralat dukungannya pada Ujian Nasional ini. Begitu banyak mudharat yang kita dapatkan karena UN ini dan sampai saat inibelum ada bukti-bukti secara akademik yang mendukung pernyataan bahwa Ujian Nasional ini bisa memperbaiki mutu pendidikan kita.
Surabaya, 25 Mei 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
saya sependapat dengan Bapak . . .
kalau boleh saya mohon info alamat email prof arief rahman —- karena ada sesuatu yang perlu saya infokan dan mohon tanggapan beliau