Saya mendapat hadiah sebuah buku dari Sirikit berjudul “Bunga Rampai Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Generasi Masa Depan” terbitan Unesa University Press. Buku ini sebuah antologi atau kumpulan tulisan dari para pengajar dan peneliti Universitas Negeri Surabaya (ada sebagian dari luar Unesa). Buku ini, menurut Muchlas Samani, dirancang untuk menjadi semacam buku seri Pendidikan Karakter yang dimulai dengan buku “Rekonstruksi Pendidikan”. Saat ini Unesa juga sedang menyiapkan buku “Implementasi Pendidikan Karakter di Unesa”, serta buku “Peta Karakter Siswa se Indonesia”. Seperti dikatakan oleh Muchlas Samani, Rektor Unesa, buku-buku ini adalah langkah awal dari Unesa untuk menjadikan Unesa sebagai pusat pendidikan karakter di Indonesia. Sebuah niat yang mulia.
Tentu saja ini sebuah buku yang serius dan bukan sebuah buku yang akan saya baca jika saya mau menikmati sore yang cerah. Kita mesti membaca buku semacam ini dengan sejumlah rasa ingin tahu. Tapi karena buku ini diberi kata pengantar oleh Budi Darma, dosen sastra favorit saya, maka itu menuntun saya untuk membacanya. Dan seperti biasanya tulisan Prof. Budi Darma memang sangat menarik. Saya selalu kagum dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan beliau, bukan hanya pada bidang sastra tapi juga di bidang lain yang berhubungan dengan sastra. Lagipula bidang apa yang tidak berhubungan dengan sastra?
Budi Darma membuka tulisannya dengan mengenalkan kita pada seorang pemikir besar yang, kata beliau, sampai sekarang tetap dikenang dan pemikiran-pemikirannya selalu disimak, yaitu Caesare Lambrosso. Tokoh ini lahir pada tanggal 6 November 1835 di kota Verona, kota tempat keluarga Romeo dan Juliet hidup, tinggal dan saling bermusuhan. Rome dan Juliet saya pernah baca kisahnya, tapi Caesare Lambrosso…?! Saya tidak ingat samasekali siapa tokoh ini. Padahal Budi Darma sudah membantu dengan mengaitkannya dengan legenda Romeo dan Juliet dan kata beliau Caesare Lambrosso ini adalah pemikir besar. Karena gagal mengingatnya maka saya putuskan bahwa suatu saat nanti akan saya cari dan baca riwayat Caesare Lambrosso ini di Google.
Caesare Lambrosso punya thesis bahwa seseorang yang dasarnya bajingan, dididik dengan baik pun, oleh rohaniawan yang baik pun, karena dasarnya bajingan maka akan tetap menjadi seorang bajingan. Contohnya adalah Kusni Kasdut, seorang bajingan, yang dalam istilah Jawanya, “gak mari nek gak mati” atau tidak akan sembuh kalau tidak mati. Semacam Billy the Kid dan kawan-kawannya yang memang mesti dihadiahi timah panas agar bisa berhenti merampok dan membunuh.
Sebaliknya, ada juga orang yang karena dasarnya baik, meski dikumpulkan dengan bajingan-bajingan tangguh pun, pada saatnya akan menjadi baik. Mereka menjadi jelek hanya sesaat karena keadaan-keadaan tertentu, semacam faktor eksternal yang tidak dapat dihindari. Dan Budi Darma memberi contoh Oliver Twist dalam karya Charles Dickens dan dua orang tokoh pengusaha yang dulunya bengal tapi kemudian menjadi baik dan dermawan. Siapa dua tokoh itu tidak dijelaskannya agar kita menjadi penasaran. Saya termasuk manusia yang suka penasaran. J
Tapi tentu saja pandangan hitam putih yang menganggap bahwa manusia itu bergantung pada ‘nature’nya seperti ini bisa ditentang dengan berbagai pandangan seperti tokoh Jean Valjean yang pada dasarnya baik tapi terpaksa mencuri untuk anaknya yang kelaparan, dihukum kerja keras, melarikan diri dari penjara, ditolong oleh seorang rohaniawan, tapi kemudian mencuri chandelier perak yang mahal dari biara tempatnya ditolong tersebut. Ini jenis tokoh yang non-hitam-putih, menurut Budi Darma.
Jika manusia itu hitam-putih lantas di mana peran pendidikan? Menurut Budi Darma, dalam kadarnya masing-masing pendidikan itu dibutuhkan oleh siapa pun, baik oleh orang dengan dasar bajingan maupun oleh orang dengan dasar baik hati. Tarik menarik antara ‘ajar’ dan ‘dasar’ (atau ‘nurture’ dan ‘nature’) sebagaimana yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan tidak mungkin dinafikan.
Kebijakan memasukkan pendidikan karakter ke dalam lembaga formal tidak lain merupakan reaksi terhadap gejala-gejala dekadensi moral, reaktif dan bukan epiphanif. Karena itu kebijakan pendidikan karakter lebih banyak diseret oleh situasi dan kondisi tertentu, dan karena itu pula, lebih banyak bersifat operasional, dan kurang bersandar pada filosofi pendidikan itu sendiri. Demikian kata Budi Darma dengan halus. Beliau mengutip Muchtar Buchori yang menyatakan bahwa kita memerlukan sesuatu yang lebih fundamental, bukannya sekedar undang-undang atau peraturan-peraturan belaka, tapi filosofi pendidikan itu sendiri. Semua kebijakan bersumber pada filosofi pendidikan, bukan karena semata-mata untuk menghadapi gejala dekadensi moral.
Ada hal menarik yang dituliskan oleh Budi Darma dalam kata pengantarnya. Beliau mengatakan bahwa “Pengambil inisiatif penerbitan buku ini dengan memberinya judul BungaRampai Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Generasi Masa Depan tentunya bukan karena didorong oleh keinginan untuk bercanda, tapi karena didorong oleh pemikiran yang benar-benar matang.” Mengapa beliau mengatakan ‘bukan karena didorong oleh keinginan untuk bercanda’? Kalimat ini justru membuat saya berpikir sebaliknya “You must be joking!”. J
Mengapa saya justru berpikir sebaliknya? Terus terang saya sudah sampai pada skeptisisme melihat betapa kacaunya cara berpikir para pengambil kebijakan pendidikan kita. Antara apa yang dikatakan, digagas, dicita-citakan, semuanya justru bertentangan dengan praksis yang mereka lakukan di lapangan. Gembar-gembor pendidikan karakter dan agama tapi korupsi dilanggengkan, Ujian Nasional yang merusak moral dan mental bangsa dipertahankan mati-matian seperti agama saja laiknya, program RSBI yang sudah jelas kacau balau masih saja mau dicarikan pembenaran. Lantas mau kemana mereka dengan jargon Pendidikan Karakter ini? What character are you going to develop?
Tentu saja apa yang ditulis dan disampaikan dalam buku ini banyak kemiripannya satu sama lain dan rujukannya ya berkisar itu-itu saja. Lickona dan Ratna Megawangi, misalnya, menjadi kutipan yang laris. Kalimat ‘Pendidikan karakter tentu tidak cukup hanya diajarkan melalui papan tulis, tetapi harus melalu pembudayaan, sehingga tidak terjebak hanya pada ranah kognitif, tetapi lebih menyentuh ranah prilaku.’ misalnya seolah menjadi koor bersama. Tapi ada juga pemikiran-pemikiran yang menurut Budi Darma tidak klop satu sama lain. “Pengguna buku ini tinggal memilih mana yang tepat dan bermanfaat sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing,” kata beliau.
Terus terang sampai saat ini saya sendiri masih bingung mana yang paling menentukan dalam kehidupan manusia, ‘dasar’ atau ‘ajar’? ‘nature’ or ‘nurture’? ‘genetik’ atau ‘pendidikan’? Atau mungkin saja campuran antara keduanya, atau bahkan tidak kedua-duanya? Tentu saja saya percaya bahwa pendidikan itu BISA dan SEHARUSNYA mengubah seseorang menjadi baik. Tapi banyak kisah yang menunjukkan betapa pendidikan tidak berdaya menghadapi sebuah komunitas yang sudah terlanjur bejat. Banyak kisah dalam Kitab Suci yang menunjukkan betapa seorang nabi yang dikirim Tuhan pun tak berdaya mengubah sebuah komunitas. Mereka bahkan dicaci-maki, ditantang, diuber-uber dan ada yang dibunuh. Karakter bejat kaum Sodom dan Gomorah bahkan tak mampu diperbaiki oleh manusia setaraf Nabi Luth sekali pun. Oleh sebab itu kemudian dibasmi saja semuanya karena “gak mari nek gak mati”.
Apakah anak keluarga baik-baik dan dididik baik-baik mesti bakal baik-baik pula akhirnya? Ya, ndak mesti…! Lha wong anaknya nabi saja bisa mursal kok…! Kurang apa coba…?! Dilahirkan dari benih seorang nabi dan dididik oleh nabi dalam lingkungan yang mestinya sangat kondusif tapi toh ada anak nabi yang memilih jalan hidup yang melenceng….! Kisah dalam Kitab Suci memang seolah menantang kita untuk mempertanyakan semua kesimpulan yang mungkin kita lakukan. And God is surely not joking with all His creation.
Saya belum membaca semua isi buku tapi tertarik pada tiga tulisan yaitu tulisan Anwar Holil, Mohamad Nur, dan Luthfiyah Nurlaela. Tulisan mereka bertiga sangat bagus dan masuk kategori ‘mak nyus’. Judul tulisan Anwar Holil yang merupakan konsultan DBE 3 USAID “Mendorong Siswa Berpikir Tingkat Tinggi: Pembangunan Karakter Melalui Pembelajaran” sangat inspiratif dan perlu untuk disebarluaskan. Saya bahkan menganjurkan agar buku ini menjadi buku bacaan wajib bagi para guru agar mereka memahami apa itu pendidikan karakter dan bagaimana memasukkannya dalam pembelajaran sehari-hari mereka. Buku semacam ini perlu disebarluaskan dan dibahas secara terus menerus.
Surabaya, 27 Mei 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com