Dua hari ini saya mendaras buku “Kita dan Mereka” dari Agustinus Wibowo dan saya benar-benar merasakan kenikmatan dalam membaca buku yang mencerahkan ini. Ini benar-benar buku yang cocok untuk menemani saya berpuasa di bulan Ramadhan ini. 😁
Semula saya menganggap Iqbal Aji Daryono ’ndobos’ alias promosi berlebihan ketika menulis pengantar tentang buku ini dengan mengatakan bahwa buku ini ‘sedalam Jarred Diamond’ dan ditulis ‘selincah Yuval Noah Harrari’. Emang ada penulis Indonesia yang bisa menulis sedalam Jarred Diamond dengan buku fenomenalnya ‘Guns, Germs, and Steel’? pikir saya. Ternyata setelah saya mulai membaca buku ini saya langsung terpesona. Buku ini benar-benar dalam dan luas. Buku ini juga ditulis dengan lincah dan menarik dan seandainya Agustinus punya sense of humor dan ungkapan nylekit seperti Yuval Noah Harari maka buku ini tentu bisa menandingi ‘Homo Deus’ dan ‘Sapiens’nya. Selamat datang Jarred Diamond Indonesia…! 🙏😁
Agustinus adalah penulis buku perjalanan yang sangat memikat. Baca saja bukunya ‘Titik Nol’ yang memukau tersebut. Tapi dia mengaku bahwa ini buku yang tersulit yang pernah ia tulis sejauh ini. Ia butuh waktu 6 tahun yang penuh perjuangan untuk menyelesaikan buku ini. Katanya buku inilah yang paling menguras tenaga dan pikirannya. Bukan hanya itu, ia juga harus membaca ratusan buku referensi – lebih dari 250 buku – untuk menelusuri sejarah: negara, bangsa, agama, ideologi, ras, dan masih banyak lagi. Bayangkan beratnya menulis buku ini dengan kedalaman dan keluasan informasi yang disajikannya. Kita sebagai pembaca benar-benar dimudahkan untuk memahami apa yang ditulis pada ratusan buku yang dipakai sebagai referensi oleh Agustinus tersebut. Agustinus telah meringkasnya dan menyusunnya lalu menuliskannya dengan sangat indah. Rugi kita kalau tidak membaca buku ini. 😁
Buku ini berbeda dengan buku-bukunya sebelumnya. Ini bukan buku tentang perjalanan fisik tapi lebih merupakan kumpulan esai yang digabungkan dengan pengalaman pribadi dan perenungan mengenai masalah identitas.
Sejak kecil Agustinus yang keturunan Tionghoa itu selalu dirundung pertanyaan “Siapa aku?” Dan seiring perjalanan hidupnya, pertanyaan tentang identitas itu terus meluas menjadi: Mengapa orang bisa saling membenci dan membunuh demi membela identitasnya? Mengapa manusia harus terkotak2 dalam identitas? Mengapa harus ada negara, bangsa, garis batas, agama, ideologi? Bagaimana semua itu tercipta? Dan ia harus melakukan begitu banyak perjalanan dan membaca selama bertahun-tahun untuk bisa menjawab dan menyuguhkannya dalam bukunya yang menarik ini.
Menurut Agustinus setiap kata yang terukir dalam halaman-halaman buku ini adalah perjalanan fisik dan batin. Mengapa? Karena buku ini lahir dari kegelisahannya oleh pertanyaan yang menghantuinya sejak kecil sebagai bagian dari komunitas diaspora: “Siapa diri saya sebenarnya?” Pertanyaan ini mengantarnya pada perjalanan pencarian panjang ke banyak negara, sebagiannya adalah daerah konflik yang sangat berbahaya. Ia juga harus mengarungi lautan dengan begitu banyak cerita, data, dan pengalaman spiritual yang sangat dalam untuk memahami makna dari pertanyaan besar “Siapa saya?”
Memahami siapa diri kita sesungguhnya adalah pertanyaan yang relevan bagi kita semua. Kita hidup dalam dunia global yang semakin sulit dipahami. Dunia di sekeliling kita berubah begitu cepat. Di tengah dunia yang penuh dengan konflik berdarah dan permusuhan atas nama identitas yang terus menerus terjadi. Apa makna dari ini semua? Dan bagaimana kita bisa melangkah menuju dunia yang lebih damai? Adakah jalan menuju ke sana?
Dalam buku ini Agustinus menyarankan kita semua untuk banyak melakukan pencarian, pembacaan dan perjalanan agar dalam memahami identitas kita sendiri tidak menjadi sempit dan picik. Ketika kita menjadi picik dan sempit maka kita bisa saling membunuh dan berperang hanya karena identitas.
Saya menyarankan teman-teman untuk membaca buku yang sungguh menarik ini sebagai teman dalam berpuasa Ramadhan. Mari kita laksanakan perintah Tuhan yang pertama bagi umat Islam, yaitu “Iqra’”. Buku ini memang tebal tapi jangan terintimidasi oleh tebalnya buku ini. Begitu Anda mulai membaca maka Anda akan langsung diajak bertualang dengan cara yang sangat menyenangkan. Anda tidak akan terasa dalam membacanya. Saya sendiri semula mau membaca buku ini sedikit demi sedikit. Cukuplah kalau 30 halaman sehari. Tapi ternyata saya bablas dan sulit untuk berhenti karena begitu menariknya buku ini. 😁
Belilah buku ini dan bacalah…! 🙏😁
Surabaya, 14 Maret 2024
Satria Dharma