“Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) itu bak mahluk Yeti.” demikian kata seorang konsultan RSBI pada sebuah simposium sekolah bertaraf internasional yg diadakan oleh British Council di Hotel Atlet Century Jakarta pada 9 Maret 2011 yg lalu. “Yeti atau disebut juga Big Foot adalah binatang mitos yg katanya hidup di pegunungan Himalaya. Tak ada yg pernah melihatnya, tak ada yg tahu seperti apa bentuknya, yang ada hanya jejak kakinya yg besar. Itu pun katanya.” tambahnya.

Saya yg duduk disampingnya sebagai salah satu pembicara panel sampai tercengang mendengarnya. Itu kali ke dua kami duduk sebagai pembicara tentang SBI di mana pada kali pertama beliau yg ditunjuk sebagai konsultan dengan optimis membesarkan hati para kepala sekolah RSBI yg hadir bahwa program tersebut adalah mungkin utk berhasil. Saya sendiri sejak awal sudah menyatakan bahwa ini program ‘Mission Impossible’ yg bahkan Tom Cruise sendiri pun pasti akan angkat tangan jika diminta utk melaksanakannya. Beliau mengatakan saat itu ‘Marilah kita membuat yg ‘impossible’ menjadi I’m possible’ untuk membesarkan hati para kepala sekolah yg pesimis dg program ini. Saya tidak menyalahkannya karena ia memang dibayar utk itu.
Tapi pertemuan kedua tersebut benar-benar sebuah antiklimaks. Di mana semua optimismenya setelah menjadi konsultan RSBI selama bertahun-tahun…?! Bagaimana mungkin tiba-tiba ia berbalik arah dan bahkan menganggap program yg diasuhnya tersebut sebagai mahluk Yeti?
Bayangkan! Jika konsultan resmi RSBI saja menyatakan bhw program ini seperti mahluk Yeti yg tidak jelas bentuknya lantas siapa lagi yg berani menjamin bhw program ini akan berhasil? Bahkan Prof Dr. Slamet dari UNY yg menyusun konsep awalnya juga menyatakan bahwa program ini tidak seperti yg digagasnya semula. Artinya beliau ‘menolak’ bertanggung jawab atas konsep yg ada sekarang. Lantas siapa lagi yg bisa menjamin keberhasilan program ini jika diteruskan?
Saya sudah menguber semua pihak yg bisa ditanyai soal program RSBI ini ke Kemdikbud sejak tahun 2007 dan tak satu pun yg bisa menjelaskan secara utuh seperti apa sebenarnya yg diinginkan dr program yg katanya prestisius dan menyedot anggaran ratusan milyar ini. Tiap direktorat di Kemdikbud membuat rumusannya sendiri-sendiri dan tak ada kata sepakat seperti apa sebenarnya SBI itu sampai hari ini! Ia benar-benar menjadi mahluk Yeti. Jadi jangan salahkan konsultan kita tersebut karena bahkan Kemdikbud sebagai pencetus dan pelaksana program ini tidak bisa menjelaskan spt apa program SBI ini sebetulnya. Semua dokumen yg ada selama ini hanya mendasarkan pada landasan hukum dan tak satu pun ada landasan akademiknya. Jadi semua pihak mendasarkan pelaksanaan program ini hanya karena adanya pasal pada UU Sisdiknas yg menurut saya diterjemahkan secara keliru. Benarkah yg dimaksud oleh pasal 50 ayat 3 pada UU Sisdiknas tentang ‘ satuan pendidikan yg bertaraf internasional’ tsb adalah seperti yg ada sekarang? Siapa yg salah, bunyi pada pasal tsb atau pendefinisiannya seperti sekarang ini?
Jika kita berdalih bahwa program SBI perlu dipertahankan karena bagaimana pun ini adalah sebuah program peningkatan mutu pendidikan maka itu sungguh menyedihkan dan apologetik karena peningkatan mutu pendidikan haruslah diterapkan pada semua program dan level pendidikan, dan bukan hanya pada program SBI. Apakah kalau program RSBI ini dihapus maka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia akan berhenti atau kita tidak akan bisa meningkatkan mutu pendidikan kita? Tentu gegabah sekali menyatakan demikian.
Program RSBI ini banyak menggunakan asumsi yg salah dalam penyusunan konsep dan programnya yg bahkan orang awam pun akan bisa melihatnya dengan nyata. Tak ada satu ahli pendidikan yg paling nekat sekalipun berani menjamin bahwa pembelajaran Sains dan Matematika dalam bhs Inggris bisa berhasil dilaksanakan oleh guru-guru kita. Survei yg dilakukan oleh Balitbang Kemdiknas sendiri pada tahun 2011 yang lalu dan disampaikan sendiri oleh mantan Wamendiknas Dr. Fasli Jalal menunjukkan bhw program pembelajaran Sains dan Matematika dalam bahasa Inggris di sekolah-sekolah RSBI gagal total dan TIDAK MUNGKIN berhasil. Padahal survei ini baru pada tataran akademis dan belum pada tataran filosofis. Jika Balitbang Kemdikbud sendiri sudah menunjukkan betapa suramnya masa depan program ini lantas kenapa kita harus ngotot utk mempertahankan program gagal ini? Apa sebenarnya yg hendak kita pertahankan? Gengsi atau apa?
Mengapa kita tidak belajar dari negara jiran Malaysia yg telah lebih dahulu meluncurkan program yg serupa dengan nama PPSMI (Program Pengajaran Sains dan Matematika dalam bahasa Inggris) sejak tahun 2003 dan setelah disurvei dalam riset berskala besar pada tahun 2010 program ini dinyatakan gagal dan pada tahun 2012 ini akan dihentikan secara total? PPSMI ini ternyata tidak menghasilkan apa yg diharapkan pencetusnya karena yg terjadi justru degradasi penurunan mutu pd sekolah yg mengikutinya. Malaysia tidak ragu-ragu untuk menghentikan program PPSMI-nya meski telah mempersiapkannya jauh lebih baik dengan kapasitas dan modalitas pendidikan yg jauh lebih baik daripada kita (baca Tempo Edisi 11-17 April 2011). Tak ada sikap permisif dan medioker utk sebuah kegagalan. Malaysia tidak ingin mempertahankan sebuah program yg gagal meski harus mencari bentuk program lain dari awal sekali pun. Hanya orang, kementrian, dan pemerintah yang bodoh yg mau meneruskan program yg jelas-jelas tidak punya masa depan seperti program RSBI ini.
Jadi apakah kita masih akan terus mencari mahluk mitos bernama ‘Sekolah Bertaraf Internasional’ ini demi sebuah gengsi?
Surabaya, 16 Januari 2011
Satria Dharma
Ketua Umum
Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Wah ternyata tak seperti yang kuduga, ck ck ck.
Barangkali kalo di stop tentu proyek yang kadung menghasilkan uang ini bisa memacetkan pundi-pundi yang ngotot SBI harus tetap di pertahankan bahkan dilanjutkan meski gak jelas juntrungannya. Klo kata saya sih SBI ini kayak makhluk Grandong hehe