Saya bangun sebelum Subuh dan mendapati anak sulung saya, Yubi, belum tidur. Ia tentu belum tidur karena tadi malam saya pulang dari Madiun ia belum pulang. Ia tentu baru pulang dan belum sempat tidur. “Aku mau bicara nanti ya Pak.” Katanya. “Sure.” Kataku. Sejak kemarin kami di Madiun ia sudah bilang mau bicara tentang kuliahnya. It must be something important for him…
Sekedar informasi, Yubi saat ini telah berusia 23 tahun dan ia baru di Semester 3 di jurusan Psikologi Universitas Ciputra Surabaya. Teman-temannya rata-rata sudah sarjana. Selama ini Yubi selalu pindah-pindah kuliah. Univ. Ciputra adalah kampus ketiganya. Begitu lulus SMA ia mendaftar dan diterima di jurusan Bahasa Inggris, Unair. Kami orang tuanya tentu senang dan bangga bahwa ia bisa diterima di Unair jurusan bahasa Inggris. Apalagi saya juga dari jurusan bahasa Inggris IKIP Surabaya dulunya. Ini namanya anak mengikuti jejak bapaknya. 🙂
Tapi begitu menginjak semester 5 tiba-tiba ia merasa bosan dan minta keluar dari Unair. Ia pingin merasakan kuliah keluar negeri katanya. Sebagai orang tua yang demokratis dan percaya bahwa anaklah yang harus memutuskan sendiri apa yang baik bagi hidupnya maka kami pun mengiyakan. Toh kami cuma perlu menyediakan dananya dan ia sendiri yang akan menjalani kuliahnya. Maka ia pun kuliah di Limkokwing, Malaysia, jurusan Event Management, dengan beasiswa. Kami sempat mengunjunginya di apartemen kontrakannya di Putrajaya, Kuala Lumpur sana.
Tapi begitu menginjak semester 3 tiba-tiba ia merasa bosan dan minta keluar dari Limkokwing dan ingin kuliah di Surabaya saja. Tentu saja kami heran dan kecewa dengan keputusannya tersebut. Begitu mudahnya ia bosan dan menyerah. Tapi sebagai orang tua kami tetap mendukungnya dan pulanglah ia kuliah di Universitas Ciputra di jurusan Psikologi (juga dapat beasiswa sebenarnya). Meski pun sama-sama tinggal di Surabaya ia ingin tinggal di apartemen dekat kampus saja dan kami turuti juga. Namanya juga orang tua yang baik. 🙂 Kami sungguh berharap bahwa kali ini penyakit bosannya akan hilang dan ia akan menyelesaikan kuliahnya sampai sarjana. Kami ingin ia bertanggung jawab pada hidupnya dengan menyelesaikan kuliahnya.
Saya dan ibunya sebenarnya sering mendiskusikan masalah anak-anak kami, termasuk sikap Yubi yang labil tersebut. Menurut kami anak-anak perlu keluar dari zona nyaman. Zona nyaman inilah yang membuatnya tidak mandiri dan tidak bertanggung jawab terhadap hidupnya. Kemarin di Madiun kami sudah sepakat untuk meminta Yubi dan Yufi, adiknya yang sudah lulus SMA tahun kemarin, keluar dari zona nyaman dan mulai bertanggung jawab pada hidup masing-masing. Mereka harus merasakan perjuangan hidup mereka sendiri lepas dari zona nyaman yang ada di rumah dan keluarga. Kami berdua sudah sepakat untuk memanggil mereka masing-masing dan akan meminta mereka untuk mulai mengubah gaya hidup mereka. Ada beberapa hal yang harus mereka lakukan untuk menjamin bahwa mereka akan bertanggung jawab atas hidup mereka. Salah satunya adalah kami ingin agar Yubi serius pada kuliahnya kali ini karena kami sudah melihat gelagatnya yang mulai tidak serius kuliah. Kebetulan ia memang sudah bekerja di perusahaan Marlboro untuk membuat event-event. Jadi ia kuliah sambil bekerja dan punya gaji sendiri. Tapi toh masih selalu minta uang bulanan dan lain-lain pada kami. Kami masih selalu mengiyakan karena toh statusnya masih kuliah dan sudah selayaknya dibiayai oleh orang tuanya.
Nah, tiba-tiba pagi ini ia ingin bicara soal kuliahnya pada kami. Opo maneh iki…?!
Selesai sholat Subuh ia datang ke kamar kami dan mengutarakan ingin keluar dari kuliahnya… (What…?!)
Yubi lalu menjelaskan betapa ia ingin keluar dari zona nyamannya selama ini dan ingin merantau ke Bali. Ia merasa bahwa dunia akademik bukanlah dunianya dan menyelesaikan kuliah adalah siksaan baginya. Ia tidak ingin mengecewakan kami lagi dan ingin keluar dari rumah dan mencari jalan hidupnya sendiri. Dan jalan hidup yang akan ia lakukan adalah lepas dari bayang-bayang orang tua. Ia ingin bertanggung jawab pada hidupnya. Ia ingin merasakan pahit getirnya kehidupan mulai dari nol. “Seperti Bapak dulu,” katanya. Ringkasnya, ia ingin mulai bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dengan berhenti kuliah, merantau ke Bali mencari jalan hidupnya sendiri mulai dari nol di luar bayang-bayang kehidupan ayahnya. Kebetulan ia mendapat tawaran pekerjaan di Bali di bidang event management dan itu adalah sebuah kesempatan bagus untuk memulai hidupnya sendiri…
Ketika menyampaikan itu ia merasa sungguh berat karena ia merasa telah mengecewakan orang tuanya berkali-kali dan kali ini ia akan mengecewakan kami lagi karena tidak meneruskan kuliahnya di Ciputra. Tapi kalau ia teruskan kuliahnya maka ia merasa akan lebih mengecewakan kami karena hatinya sudah tidak di sana dan itu pasti akan buruk hasilnya. Jadi ia memberanikan diri untuk minta ijin keluar dari kampus untuk memulai hidupnya sendiri…
Pada saat itu juga saya merasakan kelegaan yang luar biasa…! Alhamdulillah…! Segala puja dan puji hanyalah bagimu ya Allah! Pucuk dicinta ulam tiba. Inilah momen yang kami tunggu-tunggu, yaitu saat ketika anak kami menyatakan ingin bertanggungjawab sepenuhnya pada kehidupannya dan lepas dari kami sebagai orang tua. Keputusannya untuk hidup mandiri lepas dari kami adalah hadiah terindah bagi kami. Anak yang berani hidup mandiri adalah harapan dari semua orang tua. Tidak ada yang lebih menyusahkan orang tua selain anak yang tetap bergantung pada orang tuanya di usia yang semestinya mereka harus sudah mandiri.
Semula Yubi kuatir dan cemas bahwa kami akan merasa kecewa dengan keputusannya untuk keluar dari kuliahnya. Padahal, sebaliknya, ini adalah hadiah terindah darinya untuk kami orang tuanya. Secara spontan saya langsung berkata, “Ini baru anaknya Bapak! I’m proud of you, Son.” Bagi saya keputusan Yubi untuk hidup mandiri ini jauh lebih membahagiakan saya daripada kelak menghadiri wisuda sarjananya. 🙂 Gelar kesarjanaan (bahkan PhD sekali pun) bukanlah sesuatu yang hebat bagi saya. Nothing special in degrees. It’s what you do to the people which counts. Bukan gelar yang penting dalam hidup tapi kebermanfaatan bagi umat manusia yang tinggi nilainya bagi kami. Saya tidak heran jika Yubi tidak berminat pada kuliah karena sebenarnya itu juga nurun dari bapaknya. It’s in the blood. Hehehe…!
“Aku ini suka belajar tapi tidak suka kuliah,”katanya. “Just like your Dad,” kata saya dalam hati. Saya dua kali meninggalkan kuliah master saya di Surabaya dan Malang karena bosan dan tidak tertarik untuk meraih gelarnya.
Ia lalu minta wejangan dari kami untuk menghadapi kehidupan barunya nantinya dan kami berpesan agar ia tidak meninggalkan sholatnya dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Ibunya minta agar ia berhenti merokok dan ia berjanji akan berusaha (seperti sebelum-sebelumnya juga).
Dear all, saya sungguh berbahagia pagi ini. Ingin rasanya saya menraktir kalian makan siang nanti. Tapi biarlah keinginan itu saya simpan dalam hati saja. Selamat menikmati hari Minggu yang cerah…! 🙂
Surabaya, 31 Juli 2016
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com