Ini bukan tentang mengapa Anies Baswedan dicopot tapi mengapa saya mencintai Anies Baswedan (dan sangat sedih seperti patah hati ketika ia dicopot).
Menurut saya Anies Baswedan adalah SATU-SATUNYA mentri pendidikan yang paham dan mengambil tindakan dalam hal literasi. Anies Baswedan adalah satu-satunya mentri pendidikan yg paham betapa pentingnya setiap anak memilki kebiasaan, minat, kemampuan, dan ketrampilan membaca dan menulis yg memadai dalam memasuki kehidupan Abad 21. Tanpa kemampuan dan ketrampilan literasi yg memadai maka tidak akan ada yg bisa dicapai oleh anak-anak kita untuk terlibat secara penuh dan aktif dalam percaturan dunia global nantinya. Kemampuan literasi adalah modal utamanya. Oleh sebab itu Anies Baswedan menjadikan literasi sebagai program utama dalam program kerjanya sebagai Mendikbud. Sejak Anis Baswedanlah kita sekarang melihat betapa di mana-mana siswa mulai gemar membaca dan perpustakaan menjadi berfungsi kembali sebagai jantungnya pendidikan. Hal ini tidak pernah terlihat di jaman mentri-mentri sebelumnya. Sebelumnya perpustakaan adalah gudang buku-buku lama yg sudah tidak dipakai lagi tapi sayang utk dibuang. Perpustakaan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan kita selama ini.
Anies Baswedanlah yg membuat saya begitu bergairah utk berkeliling seluruh Indonesia mempromosikan dan mempresentasikan gerakan literasi sekolah dengan menggunakan biaya pribadi. Saya melihat harapan besar pada perubahan dan peningkatan mutu pendidikan kita secara agregat melalui program Gerakan Literasi Sekolah yg diluncurkannya.
Saya ingat benar Pak Hamid Muhammad, Dirjen Dikdasmen, pada sebuah acara literasi di Surabaya berkata bahwa selama tahun 2000 s/d tahun 2015 kita telah berganti kurikulum sebanyak 3 kali. Dan pergantian kurikulum yg menghabiskan begitu banyak dana, waktu, dan pemikiran tersebut ternyata tidak membuat mutu pendidikan kita meningkat tapi justru merosot. Itu adalah fakta yg diperkuat dengan berbagai statistik dari berbagai survei.
Mengapa kita gagal meningkatkan mutu pendidikan kita meski telah melakukan berbagai upaya perbaikan? Karena kita tidak pernah peduli pada upaya utk menumbuhkembangkan kemampuan dan ketrampilan literasi siswa kita. Padahal semua negara melakukan upaya maksimal utk menumbuhkan kemampuan dan ketrampilan literasi anak bangsanya, kecuali kita! Mereka paham betul bahwa tanpa kemampuan literasi yg memadai maka semua upaya pembelajaran yg lebih tinggi tidak akan berhasil karena literasi adalah dasar dari semua pembelajaran di bidang apa pun.
Tentu saja semua mentri pendidikan kita tahu betapa pentingnya kebiasaan, minat, dan kemampuan membaca (dan menulis) siswa kita tapi HANYA Anies Baswedan yg sadar bahwa utk menumbuhkan kebiasaan, minat dan kemampuan membaca haruslah dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif DI SEKOLAH sejak dini. Itulah sebabnya ia membuat GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) dengan mewajibkan semua sekolah membuat kegiatan membaca buku non-pelajaran selama 15 menit SETIAP HARI. Kebiasaan membaca memang harus dilakukan sedini mungkin sejak di rumah tapi sekolahlah yg BERTANGGUNG JAWAB dalam menumbuhkembangkan kemampuan dan ketrampilan membaca siswa. Jika sekolah gagal dalam menumbuhkembangkan kebiasaan, minat, kemampuan, dan ketrampilan membaca (dan menulis) siswa maka sebenarnya sekolah itu telah GAGAL menjadi lembaga pendidikan siswa. Kemampuan literasi siswa adalah tolok ukur dan parameter keberhasilan sekolah dalam mengemban tugasnya sebagai lembaga pendidikan. Jika siswa dan masyarakat tidak memiliki budaya membaca maka itu adalah kegagalan kementrian pendidikan dalam membangun bangsa di bidang pendidikan dan kebudayaan. Apa artinya sebuah bangsa jika tidak memiliki budaya membaca?
Saya sdh berada di lingkaran kementrian pendidikan dan kebudayaan sejak jamannya Pak Malik Fajar, Pak Budiono, Pak Nuh, dan Mas Anies Baswedan (saya bahkan sudah jadi guru sejak tahun 1978) tapi baru di jaman Anies Baswedanlah program literasi dianggap penting dan menjadi program utama kemendikbud. Sebelumnya para mentri menganggap bahwa urusan literasi tidak penting dan dianggap otomatis akan dikuasai oleh siswa jika mereka bersekolah. Tentu saja itu asumsi yg salah besar.
Selama ini para mentri selalu membuat program-program mercusuar seperti sekolah bertaraf internasional, lomba-lomba olimpiade internasional, dan semacamnya. Program ini tampaknya prestisius tapi sebenarnya superfisial dan hanya bermanfaat bagi segelintir siswa (cream of the cream). Program ini samasekali tidak menyentuh siswa secara agregat. Akibatnya hanya sangat sedikit siswa tertentu yg merasakan manfaatnya dan meninggalkan mayoritas siswa lainnya. Dan jelas sekali hal ini membuat mutu pendidikan kita terus terpuruk di peringkat bawah.
Saya memang sedih bahwa Anies Baswedan tidak lagi menjadi Mendikbud tapi saya akan jauh lebih sedih jika program Literasi yg sdh dirintisnya ini tidak diteruskan oleh Pak Muhajir sebagai Mendikbud baru. Saya sungguh berharap agar program literasi dan penumbuhan budaya baca tulis bangsa ini akan terus berjalan dan dikembangkan di tangan Pak Muhajir.
Semoga…!
Madigondo, 30 Juli 2016.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com