Usai sholat Maghrib saya rebah-rebahan di tempat tidur yang nyaman bersama istri. Saya ingin menikmati istirahat setelah seharian menyelenggarakan acara Temu Alumni Unesa. It was a wonderful time and I met many of my old friends. Sungguh meriah dan menyenangkan. Suara saya kini jadi serak karena terlalu banyak bicara, bergurau, dan tertawa. Begitu menyenangkan…!
Pada saat itulah tiba-tiba Iwan Fals bernyanyi ‘Bongkar…!” dengan penuh semangat. Lagu itu berasal dari nada panggil telpon genggam saya.
Sebuah telpon utk saya. Dan itu langsung terasa sebagai sebuah gangguan.
Saya seringkali mendapat telpon dari berbagai bank, lembaga keuangan, perusahaan saham, dan hotel-hotel yg menawarkan jasanya. Biasanya kalau nomornya tidak saya kenali maka telpon saya serahkan istri saya utk menjawabnya. Kalau itu telpon penawaran jasa tadi maka istri saya akan menjawab saya sdg istirahat dan tidak ingin diganggu. Setelah itu nomor telponnya akan saya masukkan dalam daftar yg akan saya tolak jika menelpon lagi. Jadi begitu mereka menelpon lagi akan langsung saya tolak. I save my time.
Dulu saya masih punya waktu untuk menerima dan menolak tawaran mereka sendiri. Itung-itung latihan berkomunikasi untuk menolak tawaran seseorang. Tapi skrg saya sudah bosan menerima tawaran semacam itu bertubi-tubi dan otak saya langsung mensortirnya sebagai ‘gangguan’. Padahal sebenarnya suara gadis-gadis di telpon tersebut sungguh menarik dan sebagian malah menggoda kita utk mengajak mereka ngobrol di luar topik (sepakbola, umpamanya). Terkadang saya dan istri membahas hal ini dan merasa kasihan pada mereka. Mereka jelas telah berupaya melatih diri sebaik-baiknya agar suara mereka terdengar menyenangkan dan menarik perhatian kita. Lagipula, bukankah mereka baru akan mendapat penghasilan kalau upaya mereka tembus? Lha kalau ditolak terus kapan dapat bonus nih? 🙂
Biasanya tawaran itu dengan entengnya saya jawab, “Maaf ya Mbak, saat ini sy sdg meeting.” Setelah itu bojoku tak piting dewe ben gak dianggap berkata bohong.
“Ben dino kok miting…?! Sopo ae sing dipiting, Cak?!”
Tapi telpon yg datang petang itu ternyata dari seorang teman SMA. Setelah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kami bertemu kembali beberapa waktu yg lalu dan sekarang cukup sering bertemu. Dengan cepat ia menyampaikan keinginannya utk mengajak saya bertemu di sebuah resto tak jauh dari rumah saya karena ada sebuah peristiwa penting baginya dan ia ingin mengundang saya secara khusus.
Sebetulnya saya sedang ogah utk keluar rumah lagi dan sudah menggunakan kostum tidur saat itu. Tapi undangan seorang teman lama yg terdengar mendesak seperti itu tidak bisa saya tepis.
Setelah menunggu sholat Isya’ saya segera meluncur ke resto yang ia maksud. Ternyata teman saya ini hanya berdua dengan anak laki-laki satu-satunya. Istrinya sedang pergi ke Jakarta. Jadi hanya kami bertiga.
Tanpa melepaskan genggaman tangan ketika bersalaman ia menjelaskan bahwa hari ini ia sedang berulangtahun dan ia ingin sekali mengundang saya hadir pada hari bersejarah tersebut. Ia kemudian menjelaskan bahwa pada jam-jam ini 56 tahun yang lalu ibunya sedang meregang nyawa utk melahirkan dirinya. It was a very…very important moment for him. Dan ia ingin mengenangnya bersama satu-satunya teman yang ingin ia undang saat ini. Oh my God….! Aku merinding, Cak! (Lha nek awakmu gak sido lahir ojok nyalahno aku lho yo…!) 😀
Terus terang saya terkejut dengan pengakuannya bahwa saya adalah teman satu-satunya yg ingin ia undang dan juga satu-satunya teman yg ia kagumi saat ini. Waks…! (sebetulnya saya berharap yg ngomong begitu para penelpon yg biasa mengganggu saya tersebut. Hehehe…). Rupanya ia telah membaca sebagian tulisan saya dalam buku “Twenty Years of Joy and Happiness” yg saya berikan padanya kapan hari dan sangat terkesan dengan isinya. Jadi ia mengungkapkan kekagumannya pada buku saya tersebut.
Saya sebetulnya antara merinding dan besar kepala saat itu dan saya ingin sekali membayari menu yg ia pesan. Tapi ia menolak keras dan bilang bahwa ini adalah hari spesialnya dan ia ingin menraktir saya.
Sepanjang perjalanan pulang (dan sampai tulisan ini saya buat) saya masih tercenung dan ‘dheleg-dheleg’. Antara terharu dan merasa menyesal. Saya menyesal karena sebetulnya this friend is actually not one of my best friends. Kami teman satu kelas sejak masuk SOS (atau IPS sekarang) dan ia terkenal suka hura-hura dan agak arogan. Tongkrongannya sangat dandy dan jaman ketika saya sepeda onthel pun tak punya ia sudah naik motor trail berwarna kuning menyala yg sangat gagah rasanya. Saya sering membayangkan betapa gagahnya saya kalau punya motor trail kuning menyala seperti dia. Tongkrongan dan gaya saya tentu akan berbeda saat itu. Saya akan bersikap acuh tak acuh terhadap sekeliling karena sadar bahwa orang-orang asyik memperhatikan penampilan saya. I would be a star shining very brightly and everybody would envy me. Tapi sayang saya betul-betul payah dan kucel saat itu. Lha wong untuk bisa ke sekolah saja saya mesti numpang teman saya yg bernama Imron Wahyudi kok! Apalagi penampilan…! Pokoknya payah deh. Gak usah saya ceritakan deh daripada saya terharu sendiri.
Teman saya ini memang berasal dari keluarga kaya dan ia nampaknya sangat dimanja. Penampilannya keren abis dan koceknya tebal. Pokoknya ia adalah idaman para gadis di sekolah kami. Hotshot…!
Sayangnya sikapnya agak ‘hostile’ pada saya…!
Ia sering mengejek dan mengolok-olok saya yg memang kucel dan berpenampilan payah tersebut. Entah apa sebabnya ia begitu sengit pada saya saat itu. Padahal katanya Meggy Z semut pun akan menggigit jika diganggu. Apakah saya kemudian menggigitnya? Ya, enggaklah! Emangnya saya semutnya Meggy Z.
Tapi saya memang jengkel padanya dan pernah berniat utk mengajaknya duel utk menyelesaikan permasalahan di antara kami. Daripada terus menerus diolok-olok mending kita selesaikan saja secara jantan, demikian kata hati saya. Ringo cannot take an insult anymore and better asks for a duel. Satu lawan satu. Tapi itu juga tidak pernah terjadi karena saya bisa menghibur diri saya sendiri dengan mengatakan bahwa itu dilakukannya karena iri pada saya. Haaah…! Iri pada Satria yg payah dan kucel tersebut…?! Apa kata dunia…?! (Dan ayam pun tertawa… Tapi ayam tersebut memang jenis ayam tertawa. Jadi biarkan sajalah)
Tentu saja ia iri pada saya. Saya membayangkan diri saya memiliki semua hal yg membuat teman-teman saya iri pada saya. Saya tampan, perlente, cerdas, bisa ngaji, bisa nggambar, bisa steno, ngetik 10 jari, simpatik, ramah dan pemurah, nyah-nyoh wah-weh, lemah lembut pada wanita, kaya raya, anaknya pejabat teras, punya motor trail warna kuning menyala, rambutnya gondrong dan indah, sepatunya berhak tinggi, ambune wangi (parfum asli dan bukan minyak si Nyong-nyong), kalau ulangan nilainya minimal 90, kuku tangannya bersih dan selalu dipotong pendek, kaos kakinya gonta-ganti dan tidak pernah bau, buku tulisnya merk Kiky (eh! belum ada ding. Jamanku masih Leces waktu itu). Pokoknya saya adalah pria yg memang patut ‘diireni’ sama teman-teman (apa ya bahasa Indonesianya?). Intinya, teman saya itu berbuat ‘hostile’ karena iri sama saya. Titik. Orang iri itu kan karena ada sesuatu yg memang patut dijadikan iri. Oleh sebab itu sudah sepatutnya jika saya ‘mengasihani’ teman yg iri pada diri saya tersebut. Saya paham bahwa tidak banyak orang yg seberuntung saya dan saya harus merendahkan hati pada orang yg kurang beruntung. Dengan menyetel suasana hati saya sedemikian rupa maka saya berhasil meredam keinginan hati saya untuk menonjok mukanya saat itu. Apa susahnya menghibur diri sendiri sih…?!
Peace Bro….!
Jadi duel-meet yg saya rancang tidak pernah terjadi. Ringo memasukkan pistolnya ke sarungnya dan kembali angon sapi.
Dan kini kami bertemu kembali setelah lebih dari tiga puluh tahun berpisah.
Dan tiba-tiba ia menyatakan bahwa saya adalah teman yang ia kagumi.
Rak tenan toh…!
Gua bilang juga apa…!
I told you so. I knew I was right.
(Minta ijin utk lompat-lompat dan lari keliling lapangan sebentar ya)
Apakah saya masih berniat utk menonjok mukanya…?! Sebetulnya dulu hal itu sudah seringkali saya lakukan setiap kali saya ingin melakukannya. Tapi itu hanya dalam imajinasi saya dan ternyata itu sudah cukup memuaskan. Wakakak…!
Saya tercenung dan tersadar bahwa everybody can change. Teman saya ini sekarang menjadi teman yg sangat baik dan rendah hati. Ia selalu berupaya utk menyenangkan hati teman-temannya dan menunjukkan sikap selalu ingin membantu (walaupun sebenarnya ia yg lebih perlu dibantu)
Saya sungguh menyesal bahwa dulu saya pernah jengkel dan berniat meninju mukanya. Meski hal itu tidak pernah terjadi dalam kenyataan kami tapi itu toh kenyataan saya. Artinya saya pernah menyimpan rasa marah pada teman yg ternyata begitu baik pada saya saat ini.
Bayangkan betapa menyesalnya saya jika itu benar-benar terjadi…!
Untunglah dulu saya berhasil menghibur diri sendiri dengan menenangkan hati saya sendiri. It worked well…!
Jadi pagi ini saya kemudian kok jadi pingin mendendangkan lagunya Basofi Sudirman.
“Tak semua laki-laki…
Bersalah kepadamu.
Contohnya aku…”
Surabaya, 7 Januari 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
….sampeyan ki yo pinter nglucu tah?
Keren tulisannya sy merasa membaca cerpen dan tertawa sendiri. Terima kasih energi positif dari tulisan-tulisannya pak satria