Pagi ini saya meneruskan membaca “Guns, Germs & Steel”nya Jared Diamond dan termangu-mangu ketika tiba di hal 299. Saya tidak bisa meneruskan bacaan saya. Dengan telak Diamond menohok saya dengan jawabannya mengapa orang-orang Erasia (sebelum berpisahnya benua Eropa dan Asia) lebih maju ketimbang orang-orang Papua dan penduduk asli Australia.
Mengapa orang Papua dan penduduk asli Australia masih menggunakan peralatan batu yg telah ditinggalkan ribuan tahun sebelumnya di Erasia dan sebagian besar Afrika? Padahal kandungan besi terkaya ada di Australia dan Papua memiliki tembaga terbanyak di dunia. Mengapa bukan mereka yg menjajah Eropa dan justru sebaliknya? Mengapa tak ada teknologi yg mereka temukan atau adopsi dari masyarakat tetangganya?
Apakah karena di dua daerah tersebut tidak pernah lahir orang-orang jenius macam Johannes Guttenberg, James Watt, Thomas Edison, Wright Bersaudara, dll? Apa mungkin para penemu itu kebetulan terlahir di wilayah yang sama, dan bukan di Papua atau pedalaman Australia?
Memang diperlukan orang-orang jenius berpikiran maju yg selalu berpikir utk membuat inovasi-inovasi baru agar sebuah masyarakat dapat berkembang. Tapi adanya para jenius saja tidak cukup. Pandangan alternatif menyatakan bahwa yg penting bukanlah masalah kemampuan inovasi individual, melainkan penerimaan seluruh masyarakat terhadap inovasi. Sejumlah masyarakat nampaknya sangat kolot dan jumud cara berpikirnya. Mereka anti perubahan dan suka berpuas diri sehingga tidak memungkinkan tumbuhnya perubahan atau inovasi dan semata berpegang pada tradisi. Itu juga kesan banyak orang Barat yg mencoba membantu bangsa-bangsa Dunia Ketiga dan akhirnya malah ciut hatinya. Sebagai individu mungkin banyak yg sangat cerdas dalam sebuah lingkungan masyarakat tapi mereka tidak berdaya menghadapi skeptisme dan penolakan utk berubah dari masyarakatnya. Akhirnya ide-ide brilian dan inovasi yg ditawarkan lenyap begitu saja dan mereka tetap bertahan dalam keprimitivan mereka.
Saya tiba-tiba ingat Pak Pur di ‘pulau baru’nya….
Bagaimana kita bisa menjelaskan mengapa orang-orang Aborigin di Australia gagal mengadopsi busur dan anak panah yg mereka lihat digunakan oleh para penghuni kepulauan di Selat Torres yg berniaga dengan mereka?
‘Necessity is the mother of invention’, kebutuhan adalah induk dari segala penemuan, katanya. Amerika menciptakan bom atom karena butuh memenangkan PD II. Jadi harus ada sesuatu yg memotivasi para jenius yg ditopang oleh kelompok masyarakatnya. Semua penemuan baru sebetulnya mengikuti penemuan sebelumnya dengan cara memperbaiki cara kerjanya atau memodifikasi cara kerja penemuan sebelumnya. Samuel Morse menemukan ciptaannya terinspirasi oleh ciptaan Joseph Henry, William Cooke, dan Charles Wheatstone, dan begitu juga penemuan-penemuan lain. Tak ada mahluk ET yg turun dari planet lain yg membawa teknologi canggih dan tinggal di pedalaman hutan atau gunung dan kemudian mampu secara tiba-tiba mengubah sebuah masyarakat primitif menjadi masyarakat berteknologi tinggi. Perubahan tersebut terjadi secara bertahap oleh adanya orang-orang cerdas tertentu yg melakukan inovasi atas penemuan sebelumnya dan kemudian didukung oleh masyarakatnya. Seorang Pak Pur yg membawa ‘teknologi’ tidak akan berkutik menghadapi masyarakat yg tidak membutuhkan inovasi dan perubahan.
Saya termangu-mangu karena sudah lama saya gregetan dengan begitu kolotnya sebagian umat Islam dan sistem pendidikan Islam di berbagai daerah. Padahal sebagian dari mereka dulunya adalah para pionir-pionir yg mampu membangun masyarakat baru dan berpikiran maju tapi kemudian terhenti dan lama kelamaan merosot menjadi terkebelakang. Siapa yg tidak mengakui betapa hebatnya Kyai Ahmad Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya yg mampu membuat umat Islam berpikiran maju pada saat itu? Tapi dimana semangat dan inovasi itu kini? Apakah tak ada lagi para jenius yg lahir dari rahim masyarakat Muhammadiyah? Ataukah para jenius itu mati tunas karena tak mendapatkan dukungan dari masyarakatnya? Apakah masyarakat Muhammadiyah telah berpuas diri dengan pencapaian terakhirnya dan akhirnya terjebak dalam upaya utk mempertahankan tradisi dan simbol-simbol semata?
Tentu saja saya tidak sedang menggugat Muhammadiyah sebagai sebuah lembaga tapi saya hanya menggunakannya sebagai contoh dari sebuah masyarakat yg dulunya pernah membuat perubahan tapi kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Apakah sudah tidak ada lagi ‘necessity’ pada Muhammadiyah atau kelompok umat Islam lain sehingga tidak lahir lagi ‘invention’ dari rahimnya? Benarkah sinyalemen Mas Nanang bahwa sistem pendidikan Islam hanya mengarahkan santrinya agar memperoleh akhirat semata sedangkan dunia adalah godaan yg perlu dihindari? We have no necessity on this world except as a vehicle to the next life. Kita cuma mampir ngombe utk meneruskan perjalanan. Mampir ngombe kok nggethu? Ora ilok.
Jadi begitulah…
Penduduk pribumi Aborigin tidak perlu menemukan besi karena dirasa dengan peralatan batu yg ada sudah cukup utk hidup. Teknologi tidak perlu dipelajari karena tujuan hidup adalah akhirat semata dan di akhirat segala teknologi sudah tersedia bagi para penghuninya. Raihlah akhirat maka semua yg lain akan ikut. Mengejar teknologi akan melenakan status ‘mampir ngombe’ dan bisa berakibat tak tercapainya akhirat. Matematika dan Fisika…?! Apa itu…?! Itu semua tidak dibutuhkan utk kehidupan akhirat. Sejak kapan Rasulullah dan para sahabat yg mulia itu menganjurkan umatnya utk menguasai Matematika dan Fisika? Bahkan di buku yg paling kuning pun tak ada disebut itu. Pilih mana, kehidupan dunia yang cuma sekejap mata atau akhirat yang abadi…?
Di titik ini saya bisa merasakan betapa frustrasinya para penemu dan pembawa inovasi dalam menghadapi gempuran kejumudan berpikir masyarakatnya.
Mengapa sikap semacam ini muncul? Bukankah umat Islam dahulu adalah umat yg paling inovatif dan progresif bahkan ketika sebagian orang Eropa masih tinggal di dalam gua? Umat Islam sudah lebih dahulu menjadi para penemu ilmu pengetahuan dan teknologi dan menikmati kejayaan sebagai umat yg menguasai dunia (dan akhirat).
Sejak kapan sikap ‘memusuhi’ dunia terjadi dan umat Islam jadi masyarakat yg tidak lagi membaca dan menuliskan ilmu pengetahuan…?!
Biarkan saya termangu-mangu dulu menghadapi gempuran pertanyaan ini utk sementara.
Surabaya, 8 Februari 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Mas Satria,
Saya sdh terima bukunya…
Terimakasih banyak.
Salam.-
Dan saya ikut termangu menelusuri tulisan Pak Satria, merasakan deep impact gempuran pertanyaan pertanyaan itu he he he!
Iya ya…..betul, bahwa kejeniusan sedahsyat apapun akan menjadi tumpul dan konyol jika berada pada waktu dan tempat yang tidak membutuhkannya.
Pasti tuwas bikin “kemeng” dan berakhir mengelus dada….
dan Kenyataannya tetap berlaku hukum atau seleksi alam untuk segala bentuk kemajuan dan perubahan. Siapa yang beruntung punya komunitas berfikiran ke depan, legowo terhadap kelebihan orang lain dan berfikiran positif akan bisa maju……yang tidak ya biar saja begitu, lama lama punah sendiri…….
NamunTuhan terkadang akan berbaik hati mengirim satu atau lebih si pembawa pencerahan yang mau berjuang kuat kuatan menyadarkan masyarakat yang lelap dalam, berupaya memberi warna perubahan walau akhirnya tak selalu menang…….
Kalau sudah ketemu jawabannya dishare lagi ya Pak…….