
Menanglah dalam kompetisi hidup atau kalau tidak bersedia bekerja mati-matian utk memenangkan kompetisi dalam bisnis maka lebih baik mati sajalah. Demikian mungkin prinsip Dahlan Iskan dalam mengelola BUMN. Dahlan Iskan benar-benar mengobrak-abrik ketenangan hidup perusahaan BUMN yg dikelolanya dan mendorong, atau lebih tepatnya memaksa sebagian besar di antaranya, utk berubah sesuai dengan tuntutan jaman, atau tuntutan konsumen di jamannya. Jika tetap tidak bisa maka tidak ada ampun : JUST DIE, mateko ae. Tahun 2013 ini direncanakan akan ada empat BUMN yang akan dimatikan saja.
Kejamkah prinsip ini? Lebih kejam lagi jika kita tetap membiarkan keuangan negara digerogoti oleh perusahaan-perusahaan atau lembaga yang sekarat atau tidak punya semangat hidup. Merpati Airlines adalah contoh BUMN yang semestinya sudah ditutup karena merugi terus karena dikorupsi.
Untunglah bahwa Dahlan Iskan tidak jadi menutupnya dan masih memberi kesempatan pada perusahaan ini untuk berbenah. Berbenah dan berhenti merengek itu kuncinya.
Salah satu gebrakan yg dilakukan oleh Dahlan Iskan telah saya rasakan di Grand Inna Kuta Hotel.
Sejak tiba-tiba punya lembaga pendidikan di Bali sepuluh tahun yg lalu saya jadi sering harus datang utk melakukan pekerjaan ini dan itu dan utk itu mesti menginap di berbagai hotel di Bali. Kadang-kadang saya menginap di Denpasar, tapi lebih sering di Sanur atau Kuta. Bali is like home to me. Tiba-tiba saja saya ketularan orang Australia yg menganggap Bali as a second home.
Karena saya rutin ke Bali maka saya bisa merasakan perubahan yg terjadi di Bali dan juga pada hotel-hotel di mana saya biasanya menginap. Dua di antara hotel langganan saya adalah Grand Inna Bali Beach Sanur dan Grand Inna Kuta. Kedua hotel ini kebetulan milik pemerintah alias BUMN sehingga berada dalam kekuasaan Dahlan Iskan sebagai Meneg BUMN.
Sebelum Dahlan Iskan jadi Menneg BUMN kedua hotel ini boleh dikata standar pelayanannya masuk dalam kategori gak punya greget. Saya merasa pelayanan mereka seperti robot dan tanpa ‘hati’. Senyum yg diberikan pada kita adalah senyum mekanis dari orang-orang yg bosan melayani pelanggan. Seperti umumnya perusahaan BUMN atau PNSlah! Padahal sebetulnya kedua hotel ini adalah hotel-hotel terbaik dan paling top ketika pertama kali dibangun dulu. Mereka juga terletak di ‘prime location’ dengan luas bangunan dan tanah yg bukan main besarnya. Grand Inna Bali Beach Sanur Hotel yang dibangun dengan dana perang dari Jepang pada jaman Presiden Sukarno tersebut adalah hotel yg terluas dan tertinggi di Bali sampai saat ini dengan 500-an kamar. Sekedar utk diketahui, ada aturan yg melarang bangunan apa pun berdiri lebih dari lima belas meter tingginya. Ini sesuai dengan aturan adat Hindu Bali yg melarang ada bangunan yg lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi yg dikira-kira setinggi lima belas meter. Dan orang Bali masih memegang teguh aturan ini sehingga sampai saat ini tidak ada satu pun bangunan yg boleh berdiri lebih dari lima belas meter tingginya, kecuali Grand Inna Bali Beach Sanur Hotel yang berlantai 10 itu!
Tapi seiring dengan berjalannya waktu maka ratusan hotel dan villa dalam berbagai ukuran tumbuh di Bali. Memang tak ada daerah dimana pun yg pertumbuhan hotel dan villanya bisa menyaingi Bali. Dalam dua tiga tahun belakangan ini puluhan hotel kecil-kecil berskala city-hotel berdiri dan langsung siap memberikan pelayanan terbaik sesuai dengan keinginan pelancong yg juga tumbuh dan berkembang. Entah dorongan apa yang membuat perusahaan-perusahaan property menyerbu Bali dan membeli semua tanah yang bisa dibeli. Akibatnya harga tanah meroket dan bisa melonjak dua kali lipat hanya dalam waktu setahun. Booming property ini masih berlanjut sampai saat ini dan diperkirakan bubblenya baru akan mereda pada 2015. Mungkin bisa lebih cepat kalau melihat semakin tidak rasionalnya harga property di Bali saat ini.
Seiring dengan dibangunnya bandara baru Bali yang sekarang saja sudah nampak megah, saat ini Bali dikepung oleh pembangunan 60 hotel baru. Dari hotel baru ini Bali diprediksi bakal mendapat pasokan sebanyak 10.466 kamar dari 60 proyek hotel yang sedang dibangun hingga 2014. Dari jumlah itu, sebanyak 3.922 kamar atau 37% dari total pasokan baru akan beroperasi pada semester II-2012. Saking ketatnya persaingan hotel-hotel baru ini sehingga PHRI menolak pembangunan hotel-hotel baru. Di Denpasar saja ada lima hotel baru yang akan berdiri. Dan itu artinya akan ada 33 hotel yang akan beroperasi di kota Denpasar saja..
Hotel-hotel baru yang telah siap bertarung adalah Grand Whiz Hotel Nusa Dua (Bintang 3), Hotel Santika Siligita Nusa Dua (Bintang 3), All Season Benoa (Bintang 3), HARRIS Hotel Bukit Jimbaran (Bintang 4), POP! Hotel Cokroaminoto (Bintang 2), HARRIS Hotel & Residences Sunset Road (Bintang 4), dan 100 Sunset 2, Sunset Road, Bali (boutique). Kamar-kamar hotel baru ini jelas lebih baru, lebih modern desainnya, lebih lengkap fasilitasnya, lebih nyaman. Pelayanan karyawannya juga lebih sopan, lebih spontan, dan lebih terasa renyah senyumnya. Pokoknya mereka berlomba utk memberikan segala pelayanan terbaik yg akan dapat membuat para pelancong rutin seperti saya utk pindah hati dan pindah bodi ke hotel mereka. Dengan penawaran yg serba lebih dari hotel-hotel baru seperti itu lantas apa alasan saya utk tetap setia pada hotel-hotel tua macam Grand Inna Bali Beach Sanur Hotel dan Grand Inna Kuta? Kadang-kadang acara yg harus saya ikuti memang ada di kedua hotel ini sehingga mau tidak mau saya mesti menginap disana. Tapi kalau tidak maka saya akan memilih hotel-hotel baru seperi Harris, All Season, Fave dan hotel-hotel baru lainnya yg tumbuh bak jamur tersebut. Segala yg baru memang menimbulkan sensasi yg baru juga. Bahkan Westin di Nusa Dua yg termasuk hotel top tidak seheboh hotel-hotel baru tersebut, apalagi dibandingkan dengan harganya. Untuk apa nginap di hotel yg punya grand ballroom dan ruang pertemuan besar jika kita toh tidak menggunakannya? Lha wong kolam renangnya saja tidak pernah saya cemplungi.
Untuk bersenang-senang dan sensasi yg diperoleh maka hotel-hotel baru bernuansa retro atau funky nampaknya lebih disukai oleh para pelancong. Hanya para pensiunan yg suka menginap di hotel-hotel lama dengan desain ukir-ukiran kuno. 😀
Nah, bagaimana hotel-hotel BUMN bisa bersaing melawan hotel-hotel baru yg glamour dan menawarkan pelayanan yg lebih sensuous tersebut…?! Bagaimana cara ‘mbok wek’ agar dapat tetap dikunjungi ketika ‘cah-cah nom’ yg lebih menor, lebih tanggap dan trengginas datang tanpa henti? Itu tantangannya.
Dahlan Iskan sebagai pengelola hotel yg dulunya sangat cantik tapi sekarang menjadi gembrot dan membosankan tentu tidak bisa membiarkan hotel-hotelnya menjadi sekedar ‘pernah cantik’ atau berubah menjadi ‘situs sejarah’. Hotel-hotel ini MASIH memiliki modal kecantikan yg bahkan tidak dimiliki oleh hotel-hotel baru yg menor dan kenes tersebut. Kalau ke Kuta dan Sanur kita tentu ingin ke pantai dan kedua hotel BUMN ini berada persis di tepi pantai. They have their own beach. You just walk a few steps from your room and you will find yourself stepping on the soft sand of the beach. Tidak perlu jalan kaki atau menyebrang jalan.
Jadi kedua hotel ini masih memiliki pesona yg didambakan oleh para pelancong. Tapi pesona belaka tidak lagi cukup. Pelancong kini menginginkan sensasi-sensasi baru yg tidak dimiliki oleh hotel-hotel tua.
Suasananya kira-kira sama dengan membandingkan para pramugari Garuda yg rata-rata sudah ‘senior’ (tuwir, tepatnya) dibandingkan dengan pramugari Lion yg belahan rok seragam Cheong Samnya yg ketat itu bisa membuat orang yg punya penyakit insomnia tidak bisa tidur. 😀
Jadi kedua hotel itu harus bisa tampil ayu, kenes, menggairahkan, ngangeni, suejuk, dll sehingga para pelancong tetap ingin menginap disana. Jika mereka tidak lagi memiliki daya tarik utk dikunjungi maka itu artinya kiamat untuk bisnis mereka.
Untuk itu Dahlan Iskan mendorong mereka utk melakukan perubahan-perubahan yg perlu termasuk membangun kamar-kamar baru dengan nuansa modern. Toh mereka masih punya tanah yg cukup luas utk dibangun. Kamar baru di left wing Grand Inna Kuta inilah yg saya tinggali malam ini. Kamarnya terasa lebih fresh, kasurnya lebih lebar dan empuk, linennya begitu putih bersih, semua peralatan masih baru dan berfungsi dengan baik, TV-nya flat 32′. Jelas lebih baik daripada kamar-kamar di bangunan utama yg lama (sayang istri saya ke Makassar sehingga tidak bisa ikut menikmatinya).
Bagaimana dengan pelayanannya? Mereka juga merekrut staf-staf baru yang masih muda-muda, ramah, dinamis, gesit, senyumnya aduhai, seragamnya baru, dan suaranya masih terasa merdu di telinga. Saya bahkan mendapat kejutan ketika roomboy mengantar saya ke kamar, membuka kulkas yg terisi dengan berbagai minuman kaleng dan bilang bahwa harga kamar sudah termasuk minuman di kulkas. Jadi silakan dikonsumsi. Haaah…! Ini jelas pelayanan terbaru yg belum pernah saya dapatkan dari hotel lain mana pun. So generous…!
Hotel ini memang masih sepi dan gempuran hotel-hotel baru memang terasa sekali. Saat ini occupancy rate hotel ini drop sampai 20% (tapi fully booked di Harris. Itu sebabnya saya dibookingkan di hotel ini meski saya pesan di Harris). Tapi Dahlan Iskan punya kiat khusus utk menjaga agar hotelnya tetap hidup, yaitu dengan meminta semua BUMN yg dibawahinya menggunakan hotel-hotel BUMN jika ada acara. Jadi kalau Bank Mandiri, yang juga BUMN, mau mengadakan acara di Bali maka kedua hotel inilah yang nantinya akan menjadi tujuan mereka. Bayangkan berapa banyak perusahaan BUMN yang bisa digerakkan untuk mengisi kamar-kamar hotel sesama BUMN tersebut. Dengan kebijakan ini maka mereka bisa saling menghidupi satu sama lain.
Salut utk gebrakan Dahlan Iskan…!
Kuta, 11 Februari 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
reportase yang renyah..mantap
ijin share, pak.
Tulisan bagus Pak…. Tapi apa bener itu efek dahlan?