
Di antara teman-teman sebaya, saya mungkin yang paling cepat pensiun. Umur 55 saya putuskan untuk tidak bekerja lagi. Tidak bekerja itu maksudnya tidak jadi pegawai lagi. 😁
Sebenarnya pada usia 40 saya sudah keluar dari perusahaan gas LNG di mana saya terakhir bekerja di perusahaan dan memulai usaha saya sendiri. Saya bosan dengan pekerjaan saya di PT Badak NGL Co yang semakin rutin and has no future. Saya mengajar di sekolah internasionalnya dan semakin tahun muridnya semakin sedikit. Terakhir kali murid saya tinggal sekitar 12 orang dengan 4 guru, 3 bule dan saya. Perusahaan yang semula mayoritas karyawannya orang asing itu kini dikuasai oleh karyawan nasional. Para pekerja kita sudah menguasai manajemen dan teknologinya dan keberadaan TKA sangat kita batasi sampai batas minimum. Makanya sekolah internasionalnya gak bakal berumur panjang. 😁
Sebelum bekerja di Bontang saya sudah pernah membuka lembaga pendidikan sendiri di Surabaya (maksudnya bimbingan belajar). Lumayan besar sih untuk ukuran saya karena kami sudah punya cabang di beberapa kota di Jawa Timur. Jadi buka usaha lembaga pendidikan dari nol sudah saya alami sebelumnya.
Sebelum keluar dari PT Badak NGL Co saya bersama adik-adik saya sudah mempersiapkan diri dengan membuka lembaga pendidikan di Balikpapan. Namanya Yayasan Airlangga. Dua tahun mempersiapkan akhirnya saya benar-benar keluar dari Bontang dan bekerja sepenuhnya di Yayasan Airlangga. Saat itu kami sudah membuka lembaga kursus, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan, dan kemudian berkembang menjadi sekolah formal, yaitu SMK dan Sekolah Tinggi Komputer.
Jadi saat saya memutuskan untuk pensiun itu saya sebenarnya sedang bekerja di lembaga saya sendiri. Jabatan terakhir saya adalah sebagai pimpinan di salah satu perti milik Yayasan sendiri. Jabatannya adalah semacam rektorlah. Soalnya kalau sekolah tinggi sebutannya bukan Rektor tapi Ketua. Kini Sekolah Tinggi Komputer tersebut telah menjadi universitas. Namanya Universitas Mulia
Kenapa saya pensiun? Karena ternyata lembaga yang saya pimpin baik-baik saja meski tanpa ada saya. Ternyata saya tidak terlalu diperlukan lagi. 😁
Karena memulai lembaga sendiri dari nol dan mengalami berbagai tantangan, dulu saya merasa bahwa kemajuan yang kami peroleh adalah karena sumbangsih pemikiran dan kerja keras saya. Saya waktu itu berpikir bahwa lembaga akan merosot dan mungkin ambruk jika saya tinggalkan. Saya punya peran yang tidak tergantikan rasanya. Bukan rasa sombong sih tapi rasa kuatir yang berlebihan. Lha kalau lembaga saya ini saya tinggalkan lalu merosot dan ambruk apa gak termehek-mehek saya harus mulai cari pekerjaan baru atau mulai pekerjaan dari nol lagi? Demikian pikir saya. Kalau waktu masih bujang sih saya gak ada rasa kuatir. Tapi kan saya sudah berkeluarga dan punya anak yang harus saya openi. Lembaga kami itu juga punya banyak karyawan yang mau tidak mau menjadi tanggung jawab moral saya sebagai pendiri. Jadi saya ada kecemasan-kecemasan semacam itu. Saya tidak bisa lagi bersikap tidak peduli dan egois memikirkan diri sendiri.
Tapi pemikiran itu berubah ketika saya harus kuliah S-2 di Malang (dan juga di Surabaya). Saya meninggalkan kampus saya di Balikpapan selama dua tahun. Ada rasa cemas ketika meninggalkan kampus. Will my institution be allright…?! Apakah kinerja Yayasan kami akan merosot tanpa saya? Akankah…, dst…dst…. Dan dua tahun pun berlalu ..
Tadaaa… ternyata kampus kami dua tahun tanpa keberadaan saya baik-baik saja tuh…! 😁 Ternyata tanpa ada saya lembaga kami baik-baik saja dan tetap berkembang. Jadi kecemasan saya sebenarnya tidak beralasan. Itu cuma ilusi dan kecemasan yang tidak perlu. 😎
Dengan fakta demikian saya lalu berpikir bahwa mungkin yang benar adalah sebaliknya, yaitu bahwa kalau saya tidak ada di dalamnya maka akan lebih baik. 😂 Who knows….?! Faktanya tanpa saya lembaga kami tetap berkembang. 😁
Dari hari ke hari pemikiran ini semakin kuat menguasai saya sehingga suatu hari saya berpikir bahwa enaknya saya pensiun saja dan tidak perlu terlibat dalam pekerjaan kampus sehari-hari. Saya tidak perlu bekerja sebagai karyawan lagi atau terlibat dalam operasional lembaga.
Nah, itulah yang terjadi ketika saya berusia 55 tahun. Saya putuskan untuk pensiun dan hanya terlibat di Yayasan saja. Di Yayasan saya tidak mengurusi operasional lembaga lagi. Saya hanya datang jika ada hal-hal strategis jangka panjang yang perlu kami diskusikan. Sebagai gantinya saya memilih untuk mengembangkan Klub Guru Indonesia yang kemudian bermetamorfosa menjadi IGI (Ikatan Guru Indonesia) pada 2009. Saya menjadi Ketua Umumnya sampai tahun 2016. Setelah itu saya pensiun juga dari mengurusi IGI. IGI juga berkembang jauh lebih hebat setelah saya tidak lagi di dalamnya. Rak tenan toh…! Kalau saya tinggal organisasi ini malah jauh lebih hebat. 😂
Intinya adalah bahwa selalu ada orang yang bisa menggantikan pekerjaan kita dengan lebih baik. Kita bukanlah orang yang tak tergantikan di mana pun kita berada. We are not indispensable or irreplaceable. Bahkan mungkin justru kita, karena sudah tuwir, harus segera digantikan agar terjadi penyegaran dan perkembangan pada organisasi, lembaga, atau perusahaan di mana kita berada. Jadi jangan merasa bahwa kita tak tergantikan. We are not that good… 🙏😁
Balikpapan, 4 Nopember 2022
Satria Dharma