Orang-orang yang merasa hidupnya gagal, atau tidak mendapatkan kesenangan dan capaian seperti orang-orang di sekitarnya kadang merasa iri pada orang-orang yang ia anggap lebih berhasil, lebih nyaman, dan lebih bahagia hidupnya ketimbang dirinya. Bagi mereka life is not fair dan sekaligus merasa terdzolimi. Rasa kecewa, marah, putus asa, tertindas, dan tak berdaya itu kemudian bisa berubah menjadi kebencian pada orang, kelompok, atau ideologi yang dianggap sebagai sumber yang menyebabkannya tidak berdaya atau tertindas tersebut. Jika orang-orang ini berkelompok kemudian digosok-gosok oleh seseorang yang dianggap berani menyuarakan ‘kedzoliman’ maka mereka bisa melakukan tindakan anarki yang paling kejam sekali pun. Para teroris yang tega membom orang-orang yang tidak bersalah adalah contoh orang-orang semacam ini. Kebencian adalah biang kejahatan terbesar dalam hidup ini. Iblis iri dan benci pada Adam dan ia bertekad untuk menjerumuskannya dalam neraka hanya untuk membuktikan bahwa ia lebih baik daripada Adam.
Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, saya dan beberapa teman sekampung dulu pernah mengeroyok dan menghajar seseorang yang tidak bersalah hanya karena iri dan benci pada kehidupan orang yang tampak nyaman, sukses, bahagia, dan memiliki segala yang diinginkan. Mereka mengapeli gadis cantik dan classy di kampung kami yang kami sendiri merasa tidak level dengannya. Kami menganggap itu sebagai pelanggaran teritori karena gadis pindahan baru ini kan sudah menjadi bagian dari kampung kami sehingga semestinya gadis cantik semlohai ini sudah menjadi ‘aset’ kampung kami. 😎 Sudah selayaknya jika ‘aset’ dan ‘sumber daya alam’ kampung kami itu kami yang menikmati. Eh, lha kok ini ada warga asing yang menggrogotinya…! Lha kok nyimut…?! 😜 Lha kami sebagai warga pribumi asli (sekaligus muslim) dapat apa? Mosok kami cuma gigit jari melihat sumber daya semlohai kami yang terbatas itu dieksplorasi dan dinikmati oleh pihak asing? No waylah yaow….!
🤓 Jadi kami kemudian memutuskan untuk mengenyahkan pihak asing yang mencoba merampas aset berharga kampung kami tsb dengan cara kampungan yang kami miliki, yaitu dengan mengeroyoknya.
Entah mengapa tidak terpikir oleh kami waktu itu untuk sama-sama mengeksplorasi dan mengelola sumber daya tsb. 😄 Istilah ‘kolaborasi’ memang belum kami pahami waktu itu. Yang kami kenal hanya ‘arek mayak kudu dipayu’ alias ‘hajar dulu urusan belakangan’.
Alhasil saya membawa beban rasa bersalah sampai sekarang karena pernah memukul orang yang tidak bersalah. Seingat saya sumber daya semlohai yang kami perjuangkan itu akhirnya pindah dari kampung kami dan tak satu pun dari kami yang berhasil dekat dengannya. Lha wong pancen gak level, Cak! Bondo sekop pingin oleh emas batangan. Ya mana bisa… Ngaca dikitlah, Bro. 😄
Apakah saya pernah dipukul orang padahal tidak bersalah? Ya. Saya juga pernah dipukul oleh jagoan sekolah SMA saya tanpa tahu apa kesalahan saya. Suatu hari ketika mau balik dari kantin kembali ke kelas tiba-tiba saja seorang kakak kelas berwajah seram yang terkenal sebagai jagoan sekolah yang saya lewati memanggil saya. Begitu saya balik dan bertanya ada apa tanpa ba bi bu saya langsung dipukul. Katanya saya melangkahi dia dengan tidak sopan waktu lewat tadi. Tidak sopan…?! Hellooooow….! Emangnya di kantin sekolah kita perlu table manners…?! 🙄
Hampir saja saya mengerahkan semua korak terminal anak buah saya untuk membalas perbuatannya ini (kalau saya punya). Ada banyak ‘korak’ (istilah preman jaman dulu) di terminal Joyoboyo yang bersedia dibayar untuk tawuran. Tapi saya sadar bahwa kita tidak boleh terlena oleh kehidupan duniawi, eh, maksud saya itu tidak ada gunanya. Lagipula saya tidak punya anak buah korak, tidak punya uang, dan juga tidak suka bergaul dengan para korak. Saya harus memikirkan masa depan saya, maksudnya kembali ke kelas dan ikut pelajaran Hitung Dagang pada jam ke enam dan ketujuh. Saya tidak pernah membalas perlakuan kakak kelas yang semena-mena tersebut. 😊
Apakah saya dendam dengan perlakuan jagoan neon tersebut. Lha iyalah…! 😬 Kalau bisa ya saya mau membalasnya setimpal dengan perbuatannya tersebut. Sebetulnya saya pernah menghajarnya habis-habisan. Suatu ketika saya bertemu dengannya sendirian di sebuah gang sempit. Begitu melihat saya ia langsung ketakutan dan mau lari. Tapi saya mencengkram kerah lehernya dan saya beri dia hook dan uppercut yang telak ke dagunya sehingga ia terjengkang. Tapi itu hanya dalam khayalan saya saja. 😎 Khayalan saya tidak pernah menjadi kenyataan karena saya tidak berani membalas dan saya juga harus melanjutkan peran saya sebagai siswa SOS yang miserable. Tapi saya tidak pernah lupa pada jagoan neon yang telah ‘mendzolimi’ saya ini. I forgive but I don’t forget.
Berpuluh tahun kemudian saya bisa bertemu kembali dengan Si Penindas ini. Kami bertemu kembali justru di tempat yang tidak terduga, yaitu di rumah saya sendiri baru-baru ini.
Sekitar dua tahun yang lalu saya mengadakan syukuran di rumah dan saya mengundang teman-teman alumni SMA. Hadir juga beberapa alumni kakak kelas yang diundang oleh teman saya. And there he is….! Hadir juga Si Jagoan Neon di rumah saya. Tapi dia bukan hanya lupa tapi juga tidak mengenal saya. Dia datang karena diundang oleh teman saya yang kenal baik dengannya. Tapi sang korban tentu saja masih mengingat pelakunya. 😉 Saya langsung ingat perbuatannya dulu. Kalau mau membalas perbuatannya dulu maka sekaranglah saatnya, demikian pikir saya. Saya bisa menggunakan alasan yang sama dengannya dulu, yaitu ‘kurang sopan’. Kurang sopan itu bisa karena ia makan sambil bicara di rumah saya, tertawa terlalu keras, letak kaki kiri dan kaki kanan tidak simetris waktu duduk, dll. Alasan bisa dicari. Sekaranglah saatnya…! 😬
Apa yang saya lakukan…?!
Ya menghormati dia sebagai tamu sayalah, Bro! Mosok akan saya pukul sebagaimana dia memukul saya dulu? Yang bener ajalah…! 😄 Lagipula saya akan sulit menjelaskan padanya kenapa saya memukulnya sekarang.
“Karena kamu dulu pernah memukul saya waktu di SMA…!”
“Yang mana ya…?! Saya dulu tiap hari memukuli satu anak berbeda.”
“Saya anak SOS satu kelas di bawahmu…!”
“Oh, kamu yang berbadan kecil, berwajah kucel, jerawatan, mekithik… ”
“Bukan…bukan…! Saya tampan, keren, disukai oleh gadis-gadis….”
Dan ia akan memandang wajah saya lekat-lekat untuk mencari sisa-sisa ketampanan jaman SMA saya yang jelas tidak ada. Jadi lupakan saja soal membalas dendam tersebut dan biarlah ia berlalu…
Saya lalu memandangi wajah kakak kelas saya Si Penindas tersebut. Wajah sangarnya masih tersisa di balik guratan garis-garis mukanya yang kehitaman dan penuh kerut. Tapi kini ia tampak kuyu dan lelah. Senyum dan tawanya tampak agak berat dan lelah. Jelas bahwa hidup tidak terlalu ramah terhadapnya. At least not as beautiful as mine. 😎 Saya menjadi jatuh kasihan padanya. Seketika itu juga rasa marah saya yang tersisa padanya langsung lenyap. Tak ada sedikit pun ada tersisa rasa marah saya padanya.
Apakah kakak kelas saya ini pernah merasa menyesal telah memukul saya dulu, orang yang rumahnya kini ia datangi dan nikmati hidangannya? Mungkin tidak lha wong ia ingat saya, korban kesewenang-wenangannya, aja tidak. Saya juga tidak pernah terlintas untuk mengingatkannya. Olaopo… 😊
Saya mau mendoakannya saja semoga Tuhan mengampuni semua kesalahannya dan memberinya kehidupan yang lebih baik di masa depan. Amin…!
Bandung, 13 Oktober 2018