
Status saya yang berjudul EVERYTHING IS YOURS BUT YOU ARE MINE yang saya posting kemarin tiba-tiba menjadi viral. Sampai saat saya menulis ini status saya itu sudah mendapat like sebanyak 3.500 kali, dikomentari ratusan kali, dan telah disebarkan sebanyak 1.300 kali lebih (and still counting). Dan sebagian besar dari mereka adalah para wanita. Ya, Allah Puangngataala…! Ada apa ini…?! Saya sungguh tidak mengira bahwa status begitu saja bisa mendapatkan perhatian begitu besar dari para wanita padahal saya nulis itu sekedar untuk menumpahkan sedikit nostalgia dan romantisme saya pada istri karena kebetulan kami merayakan wedding anniversary kami yang ke 26. Tentu saja ini pencitraan seperti kata Mas Nanang. Kera Ngalam satu ini tahu betul bagaimana saya nggedabrus karena satu guru satu ilmu dengan saya (podo-podo muride Kho Ping Ho). Meski semua status sebenarnya adalah pencitraan (yang artinya our writings are the image how we want to be pictured or seen) tapi tulisan status saya tersebut sebenarnya bisa dilihat dari perspektif lain.
Hampir semua wanita tampaknya suka kalau harta benda suami itu sebaiknya berada dalam kekuasaan istrinya. Saya bisa mengerti. Tapi tentu saja tidak semudah itu, Fergusowati. Suami dan istri butuh waktu untuk saling mempercayai satu sama lain untuk tiba pada titik tersebut. Tetapi sebaiknya semakin cepat semakin baik. Jangan sampai sudah berkeluarga bertahun-tahun masih juga saling curiga soal penghasilan dan harta. Sebaliknya, tidak banyak laki-laki yang suka menyerahkan kekuasaan penggunaan harta sepenuhnya pada istrinya. Saya juga kok. Saya juga tidak sepenuhnya menyerahkan semua harta pada istri saya. Kalau rumah, mobil, asuransi, dan lain-lain memang atas nama istri. Tapi sebetulnya ini karena saya memang malas mengurusi surat menyurat dan dokumen. Saya harus mengakui itu. Saya terlalu pelupa sehingga membebani sisa otak saya dengan urusan dokumen dan surat menyurat jelas akan membuat saya lebih cepat pikun. Istri saya sebelas tahun lebih muda daripada saya sehingga kapasitas memorinya tentulah lebih jos gandoz daripada saya, selain bahwa dia memang sangat primpen juga dalam menyimpan apa-apa. Belakangan ini kami sudah merencanakan untuk membaliknamakan sertifikat rumah atas nama anak-anak semua.
Sama dengan laki-laki atau suami lain, saya juga menyerahkan semua gaji saya pada istri. Tapi sebenarnya saya punya penghasilan lain non gaji yang lebih besar dari gaji yang tidak saya serahkan pada istri. Penghasilan itu menjadi deposito dan tabungan atas nama saya sendiri yang juga diketahui oleh istri saya. Tapi istri saya itu tidak pernah mau tahu berapa jumlah tabungan saya dan saya juga sebaliknya tidak mau tahu berapa jumlah tabungan istri (but I know for sure it’s less than mine). Apa yang ia perolehnya dari gaji saya sudah lebih dari cukup kalau hanya untuk kebutuhan sehari-hari (termasuk biaya manicure pedicure kalau pas kami ke Bali). Di luar kebutuhan sehari-hari adalah tanggung jawab saya sebagai suami. Kalau ia butuh dana dalam jumlah besar maka ia tinggal minta pada saya dan saya transfer ke rekeningnya. Kalau saya repot saya minta ia mentransfernya sendiri. Toh ia tahu pin m-banking saya. Kami tidak pernah mau bertengkar soal uang atau siapa harus bayar apa dan berapa. Tidak jadi masalah uang keluar dari kocek siapa karena toh kami sama-sama pegang uang. Uang saya adalah uang istri saya juga tapi uang istri saya biarlah menjadi uangnya sendiri. Toh jumlahe yo gak sepiro akeh. J
Ada beberapa orang yang bilang bahwa saya termasuk suami yang takut istri. Kalau yang ini saya terpaksa harus mengakui. Ya! Saya seorang suami yang takut istri.
Apa yang saya takutkan dari istri saya…?!
Saya takut istri saya menderita.
Saya takut istri saya tidak bahagia.
Saya takut istri saya menjadi jelek dan tak terawat selama menjadi istri saya.
Saya takut istri saya suka pada laki-laki lain selain saya.
Saya takut istri saya membayangkan kehidupan yang lebih nyaman dengan orang lain.
Saya takut istri saya lebih bahagia ketika saya tidak ada.
Saya takut istri saya berharap agar saya segera menghadap Tuhan dan masuk sorga. Blaen kan…! (Saya mah memang berharap agar lebih dulu menghadap Tuhan ketimbang istri karena bayangan ditinggal istri itu sungguh unbearable)
Saya yakin bahwa ketakutan itu sesuatu yang wajar dan bukan hal yang berlebihan.
Bagaimana denganmu, Ferguso…?! Emoji
Surabaya, 30 Nopember 2018
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com