
Seandainya saya tidak punya istri yang ada saat ini maka saya tidak akan punya rumah yang cantik dan megah seperti sekarang ini. Saya tidak akan punya mobil baru seperti sekarang ini. Saya tidak akan punya anak-anak yang membanggakan seperti sekarang ini. Saya jelas tidak akan sebahagia seperti sekarang ini. I owe everything to my wife. Karena istri sayalah maka hidup saya begitu indah kini. Tolong gak usah suit-suit…Iki temenan, rek! 😍
Seandainya saya masih bujang atau berpikir untuk terus membujang maka jelas saya tidak akan pernah berpikir punya rumah sendiri. Olaopo…! La wong awak mek siji ae lho…! 😀Saya mungkin akan tinggal di rumah dinas saja sampai pensiun dan setelah itu mungkin sewa apartemen sak mblengernya. Seorang istrilah yang mendorong saya untuk punya rumah.
Sejak masih bujang punya rumah sendiri sudah menjadi cita-cita saya nomor satu setelah menikah : kalau punya istri saya harus punya rumah sendiri. Titik. Saya tidak mungkin tinggal di rumah orang tua. Sudah sak ketapruk orang tinggal di sana. 🙄
Tidak bisa menafkahi istri secara layak juga menjadi kecemasan saya sejak saya masih bujang. Kalau pekerjaan dan penghasilan saya masih belum mantap maka saya masih takut untuk berkeluarga (meski pun sebenarnya saya sudah menjadi guru PNS sejak kuliah di IKIP Surabaya). Entah mengapa penghasilan saya sebagai guru PNS waktu itu saya rasa belum layak untuk saya jadikan sebagai modal berkeluarga. Itulah sebabnya saya menikah di usia yang rodok kematengen, meh 35 tahun. 😀
Berbeda dengan adik saya, Agung Sakti Pribadi yang benar-benar pemberani tulen. Baru lulus cengkling dari FH Unair dan belum bekerja saja sudah berani menikahi teman kuliahnya. Arek iki pancen Rambo. 😀 Dengan penuh keyakinan dan tanpa banyak perhitungan dan pertimbangan dia menikah ala Galih dan Ratna dan setelah itu mengajak istrinya merantau ke Balikpapan. Empat kakaknya dilangkahinya. Saya benar-benar takjub dengan keberanian adik saya tersebut. Terimalah rasa hormat (dan cemasku) untukmu…! 🙏😀
Setelah bekerja di Bontanglah baru timbul keberanian saya untuk menikah. Pendapatan saya lebih besar daripada jadi guru PNS sebelumnya. Dari segi penghasilan wis ayemlah. Sebagai pegawai tetap saya juga berhak dapat rumah dinas jika saya menikah. Artinya nothing to worry where I should live anymore. Madecer sudah di depan mata (madecer itu lawan dari madesu masa depan suram). Setelah itulah baru keberanian saya untuk golek bojo muncul. Eng…ing…eng… (sementara itu Galih dan Ratna tinggal sama tante di Balikpapan menunggui rumahnya yang kosong dan cari-cari pekerjaan jadi wartawan honorer di Kaltim Post sing bayarane gak sepiro. So romantic…!). 😀
Setelah menikah maka hampir semua keputusan soal rumah tangga dan isinya menjadi tanggung jawab istri saya. Dia yang menentukan kapan rumah direnovasi, kapan kamar mandi diganti klosetnya, kapan tanah sisa di belakang dibangun, dapur diatur rak-raknya, lantai keramik ruang tamu apa merek dan warnanya, dan lain sebagainya. Dia yang berwenang sepenuhnya. Saya terima bersih. 😎
Saya sungguh beruntung punya istri yang punya rasa seni sehingga kalau Anda mengagumi apa-apa yang ada di rumah saya maka itu semua adalah hasil karya istri saya. Maksudnya, dialah yang memilih, membeli, dan memasangnya apa dan di mana. Saya manut saja karena she’s the expert sedangkan saya si Culun yang tidak punya taste dan bakal merusak keindahan kalau coba-coba mau ikut mengatur. 😀
Maksud saya begini lho…! Saya hanya mau berpesan sama teman-teman yang sudah punya istri. Satu pesan saja, yaitu: Manuto nang bojomu. Njarkan saja dia menguasai segalanya. Kalau kebutuhannya sepuluh juta beri dia dua puluh juta. Ojok kakehan perhitungan. 😎 Yang penting kamu menguasai hatinya. Nanti everything will be okey. Wistalah…! Saya sudah berpengalaman 26 tahun dalam hal ini. Wis expert…
Wistalah…ojok mbantah aku. 😎