Para teroris itu menurut saya adalah orang-orang yang memendam rasa kecewa, marah, putus asa, tertindas, dan tak berdaya. Perasaan ini lalu berkembang menjadi kebencian yang memuncak. Ia lalu ingin membalas pada orang-orang atau kelompok yang ia anggap sebagai sumber atau hal yang menyebabkannya tidak berdaya atau tertindas tersebut. Kalau kebetulan ia bergaul dengan orang-orang yang berpaham agama sesat, yang menyuntikkan paham jihad dengan membunuh orang yang dianggap tidak seakidah, maka ia bisa terjerumus dalam perbuatan terorisme. Ia akan melampiaskannya dengan membom orang-orang tak bersalah yang ia anggap sebagai representasi dari musuhnya yang telah menganiaya dan menindasnya. 🙁
Apa yang terjadi setelah mereka melakukan pengeboman yang mereka anggap sebagai perbuatan jihad tersebut? Mereka mungkin akan merasa menyesal dan ingin menebus kesalahan tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh beberapa pelaku pengeboman yang tidak ikut mati bersama bomnya sendiri.
Apa yang terjadi jika korban pengeboman yang tidak bersalah mendatangi para pelaku pengeboman tersebut? Mungkin mereka akan ketakutan karena besarnya rasa bersalah mereka. Dan itulah yang terjadi pada kisah Febby Firmansyah, survivor Bom Marriott Jakarta 2003, ketika mendatangi anggota jejaring teroris yang terlibat dalam bom itu. Para napi teroris itu ketakutan melihatnya, ada yang sampai bersimpuh seolah mau bersujud. Tapi Febby menenangkan mereka.
Febby berkata,”Sujud itu hanya untuk Allah SWT. Bangunlah. Aku datang untuk memberi tahu bahwa aku memaafkan kalian”. 🙏
Alih-alih membenci dan membalas dendam pada orang yang telah merusak tubuh dan hidupnya Febby justru memaafkannya. Ia memilih cinta dan kasih sayang dan membunuh benci dan dendam di hatinya. 👍🙏
Saya sungguh tersentuh dengan kisah ini. Saya jadi teringat pada kisah saya sendiri dulu ketika masih muda dan terlibat dengan kelompok anak-anak kampung saya yang masih suka dengan hal-hal yang sangar. Saya pernah memukul dan mengeroyok seseorang dari kampung lain yang berkunjung ke kampung kami. Kami marah karena mereka datang berombongan ke kampung kami dengan naik motor, berbaju keren, bergaya orang kaya, dan mengapeli gadis cantik di kampung kami yang kami sendiri tidak berani mendekatinya karena gak level. Dia gadis pindahan dari kota lain, cantik, bergaya, dari keluarga klas menengah dan selalu didatangi oleh teman-teman lamanya yang jauh lebih keren daripada kami. Bagi kami itu terlalu demonstratif dan tidak bisa diterima. Siapa yang tidak marahā¦?! Heā¦! Sing bener ae, rekā¦! Si gadis cantik itu sekarang anak kampung kami. Sheās ours now. 😎 Kalau kami belum berani mendekatinya bukan berarti kami tidak mau dengannya. Kami hanya belum berani. Ada saatnya nanti keberanian kami akan muncul. Dan sementara itu ya jangan sok jagoan datang-datang ke kampung kami bawa teman-teman bergayamu naik motor keren seolah kami tidak mampu (sebetulnya kami memang tidak mampu beli motor sih! Faktanya tak satu pun di antara kami yang punya sepeda motor. Saya saja baru bisa beli motor setelah jadi guru). 🙁
Inti cerita, kami marah, jengkel, tersinggung, dan akhirnya sepakat akan mengadakan perhitungan dengan kelompok anak-anak orang kaya ini. Ketimpangan sosial dan derajat ini harus diselesaikan dengan cara kampungan (lha pancene arek kampung!). 😄
Siasat kami sepakati kalau nanti mereka datang lagi pas pulangnya akan kami hadang dan akan kami hajar. Kami sudah pilih salah satu orang yang menurut kami paling menjengkelkan karena suara tertawanya tampak paling keras dan paling tampak puas diri. 😏 Mereka berdelapan dengan empat sepeda motor tapi kami bisa mengumpulkan lebih banyak anak daripada mereka. Lha wong kami di kampung sendiri. 😊
Sore itu kami pun sepakat. This is the dayā¦! Kami pun berkumpul di depan Gang VIII Darmorejo. Semua teman tampak menguat-nguatkan hati mereka walau pun saya yakin banyak juga yang penakut. Saya salah seorang di antaranya. 🤓
Ketika mereka selesai āmengapeliā gadis kampung ‘milik’ kami itu mereka pun pulang dengan menaiki motor mereka masing-masing keluar dari gang beriring-iringan. Kami pun mencegat mereka. Saya tidak ingat siapa pertama kali yang mencegat mereka tapi yang paling saya ingat adalah saya yang PERTAMA KALI MEMUKUL laki-laki yang kami benci tersebut. 🙄
Apa yang terjadi setelah itu�!
Saya tidak tahu persisnya karena setelah memukul anak itu (dari belakang) dan dia jatuh. Saya langsung tersadar dan jatuh kasihan melihatnya. Kenapa saya memukulnya? Apa salahnya pada saya? Saya tersadar saat itu juga begitu melihatnya jatuh dari motor kena pukulan saya di kepalanya. It was surely a shock for him (and for me afterwards). Saya lalu lari meninggalkan lokasi.
Yang saya tahu kemudian teman-teman saya juga berlarian mencari selamat masing-masingā¦! Lho kok jadi pengecutā¦?! Ya begitulah kami. Beraninya main keroyok dan setelah memukul cari selamat sendiri-sendiri. 😬 Meski pun kami akhirnya berkumpul dan balik ke lokasi semula tapi kejadian itu tidak berlanjut. Mereka balik lagi membawa banyak teman lain dan kami juga kembali ke lokasi berhadap-hadapan tapi tidak terjadi tawuran seperti yang saya takutkan. Sekedar info, dulu waktu SMA klas 1 saya pernah mengalami tawuran antar kampung yang jauh lebih seru di Makassar. 🙁
Setelah peristiwa itu saya jadi SANGAT MENYESAL telah memukul orang yang tidak punya salah pada siapa pun di antara kami. Itu terjadi karena PROVOKASI seorang teman yang dianggap sebagai bos di antara kami dan baginya itu adalah hal yang sudah sewajarnya dilakukan. Anehnya saya kok bisa ikut-ikutan kena peer pressure. 🙁
Sampai sekarang saya masih menyesal telah memukul orang yang tidak saya kenal itu. Saya tidak tahu bagaimana bisa minta maaf padanya. Jika bertemu dengannya saya akan benar-benar minta maaf dan menebusnya dengan apa yang ia inginkan dan bisa saya lakukan. Tapi penyesalan saya ini akan terus saya bawa (atau tepatnya mengikuti saya sampai saat ini).
Nah, bayangkan betapa menyesalnya orang-orang yang pernah mengebom orang-orang yang tidak bersalah macam para teroris tersebut…! 🙁
Bersambung…. (nek kober). 🤓